Headlines
Loading...
Oleh. Maret Atik

Emakku hanya wanita biasa yang tinggal di pelosok desa. Pendidikan yang sempat dikenyam hanya sampai SR (Sekolah Rakyat), setaraf SD sekarang. Namun, meski hanya orang kampung, emakku memiliki pola pikir yang cukup visioner. Berjodoh dengan guru SR-nya, menjadikan emakku semakin memiliki wawasan yang lebih dibandingkan wanita yang sezaman dengan beliau. 

Di saat kebanyakan orang tergila-gila dengan harta, emakku malah rela hidup sederhana demi menyekolahkan anak-anaknya. Gaji PNS zaman itu tak seberapa, tetapi orang tuaku bertekad, agar pendidikan anak-anak mereka bisa jauh lebih tinggi dari bapak yang cuma diploma. 

Sejak kecil, emak lah yang dengan telaten mengajariku bacaan salat, membaca Alqur'an, dan mengajariku calistung. 

Emak sangat tegas kalau bab salat. Pernah suatu ketika, ketahuan aku malas-malasan salat, emak 'ngancam' enggak mau dicium tangan saat aku akan berangkat sekolah. Aku takut banget dong, karena sudah tertanam, bahwa rida orang tua itu syarat mutlak untuk mencapai kesuksesan. Padahal waktu itu, aku belum baligh

Namun hasilnya, aku menjadi anak yang sudah tidak perlu lagi dioprak-oprak untuk salat sejak kelas 3 SD. Dan emak juga sangat menghargai usahaku. Awalnya aku diberi handuk kecil untuk sajadah (waktu itu sedang tren pada anak-anak usia sebayaku, salat dengan handuk kecil sebagai sajadahnya. Aneh ya bagi anak-anak sekarang? 😁). Aku sangat senang bukan kepalang waktu itu. Apalagi tak lama kemudian aku dibelikan sajadah beneran, yang masih ada hingga sekarang. Walaupun aku tahu, itu yang murahan di kelasnya, aku tetap bangga memakainya.

Bahkan mukena pertamaku, adalah hasil jahitan tangan emak sendiri. Kain putih 2 meter dilipat, lalu dijahit dengan tusuk delujur di salah satu tepinya, disisakan untuk lubang kepala. Jadilah mukena atasan. Bawahannya pun sama, dijahit dengan tusuk delujur, lalu diberi color warna hitam yang gampang putus, jadi harus sering diganti jika putus. Alhamdulillah, meski hidup di desa, emak adalah orang yang sangat perhatian dalam soal ibadah. 

Hingga aku berumah tangga, emak terus mendampingiku. Meski kadang, saat egoku muncul, aku tidak suka jika emak turut campur dalam urusanku. Itulah dinamika kehidupan. Namun, aku tidak pernah membenci emak. 

Berbagai karakter emak pun tumbuh dalam diriku. Emak lah yang sedikit banyak telah andil membuatku ingin hidup merantau, mandiri tanpa harus menyusahkan orang tua. Alhamdulillah, cita-cita itu tercapai. Meski merantau hanya di kabupaten sebelah. Karena setelah menikah, aku memilih hidup bersama suamiku, tidak membersamai beliau. 

Padahal waktu bapak pensiun dulu, emak bersikeras menambah luasan rumah, maksudnya buat aku. Tapi ternyata impian emak kandas. Aku lebih memilih mengikuti suamiku yang hidup di daerah yang tidak terlalu pelosok. Alasanku, aku butuh sekolah tertentu untuk anak-anakku. Dan memang sekolah itu tidak ada di desa kelahiranku, ataupun di daerah sekitarnya. 

Meski rumah suamiku hanya berjarak satu jam perjalanan dengan motor, nyatanya aku juga tidak sering pulang menjenguk orang tuaku. Kesibukan kerja dan dakwah serta mengurus keluarga benar-benar menyita waktu cukup banyak. Namun, orang tuaku justru yang sering berkunjung menjengukku dan cucu-cucunya. Apalagi sekarang, setelah bapak wafat, emak tinggal seorang diri, maka lebih fleksibel saat ingin bepergian. 

Di usia yang sudah tidak muda lagi, emak masih enerjik, masih suka kumpul-kumpul di pengajian. Jika sedang ada rezeki lebih, emak juga menyempatkan menengokku dengan naik kendaraan umum. Banyak yang heran, di usia yang sudah dua pertiga abad itu, emak masih lincah naik kendaraan umum, melewati 3 jam perjalanan, karena jalur kendaraan umum memang memutar, jadi lebih jauh. 

Ah, itulah, aku yang cuma satu jam perjalanan malah jarang nengok emak, kalah sama emak.

Hingga suatu ketika aku melahirkan anak keempat, emak juga yang merawatku. Membantu memasak untuk anak dan suamiku. Karena di persalinan keempat ini, proses penyembuhanku cukup lama. Namun emak tidak mengeluh, tetap saja setia membersamai kami. 

Suatu ketika, Allah mentakdirkan emak jatuh saat mengepel lantai, hingga kedua lengan emak patah. Otomatis, segala keperluan emak harus dilayani. Ada rasa sedih, karena emak menjadi sangat down, merasa tidak berguna. Namun, di saat itu lah, aku merasa, bahwa itu adalah kesempatan emas untuk membalas kebaikan emak. Meski tentu tak sebanding. Aku merawat emak hanya sebulan kurang, sedangkan emak sudah merawatku sejak dalam kandungan, hingga aku setua ini. Tapi setidaknya aku sudah berupaya berbuat baik kepada emak. 

Satu hal yang belum mampu aku persembahkan untuk emak; menjadi wanita karir seperti impian emak. Karena aku merasa lebih berat untuk meninggalkan keluargaku demi mengejar karir. Aku lebih bahagia menjadi ibu yang mengasuh anak-anak. Biarlah aku hanya menjadi guru anak-anakku, dan menjadi gurunya umat, dengan menjadi seorang pengemban dakwah. 

Dan ternyata, lambat laun, emak pun membiarkan aku menikmati pilihanku. MasyaAllah... begitu luasnya hati orang tua. Sungguh tak mampu diri ini membalas semua kebaikan emak. Hanya Allah saja yang mampu membalas kebaikannya. Semoga kelak, kità bisa berkumpul lagi di Surga-Nya. Aamiin. [ry].

Baca juga:

0 Comments: