Headlines
Loading...
Oleh. N.S Rahayu

Ingatanku kembali ke sosok Ibu yang demikian tegar menghadapai ujian yang seakan tidak pernah berhenti. Ibu adalah sosok yang kukagumi karena keuletan dan kecerdasannya. Ia adalah wanita sederhana yang tidak ‘neko-neko’ yang sepenuhnya mengabdikan diri pada bapak dan keluarga. Ibu tak pernah marah saat anak-anaknya nakal atau membuat kesalahan, marahnya selalu disertai doa. Aku ingat dan mencoba trus menginggat itu agar lisan selalu penuh harapan.

Misal Aku bermain setelah sekolah dan pulang menjelang sore [meski belajar kelompok), maka Ibu akan menampakkan raut marah, tangannya langsung mencubit pahaku, namun lisan yang terucap adalah, 

“Bocah wedok kok pinter men, mulih-mulih wes surup.” 
[“Anak perempuan kok pandai sekali, pulang-pulang sudah sore.”)

Kata pinter itu selalu terselip saat ibu marah di saat apapun. Aku terus menginggatnya, mungkin itu doa seorang Ibu yang memiliki harapan pada anak-anaknya menjadi pintu kesuksesan bagi anaknya. Seorang Ibu tidak ingin lisannya berucap buruk pada anak-anaknya, meski sang anak melalukan kesalahan.

Ibuku juga mengajarkan bagaimana hidup sederhana untuk menggapai impian. Latar belakang keluarga ibu dan bapak dari keluarga yang kurang mampu, meski keduanya bekerja sebagai guru, makanan sehari-hari yang kuingat adalah sambel tempe bosok untuk sarapan, siang dan sore sayur dengan kuah yang banyak tambah krupuk, makan telur atau ayam terjadwal, biasanya setelah gajian.

Tapi tiba-tiba saat aku kelas 6 SD, bisa pindah ke kota dan menempati rumah sendiri dengan dinding kayu jati, sementara teman-teman guru lainnya masih tinggal di rumah pinjaman atau di rumah orang tua.

Dulu aku sempat ill fell/ sakit hati, karena teman lainnya bisa makan enak, baju bagus, disayang orang tua dengan memberikan ragam fasilitas, sementara aku hidup sangat sederhana sekali. Tapi saat sudah besar baru bisa kupahami semua kesederhanaan itu, Ibu ingin memberikan kehidupan yang layak ke depannya, pendidikan yang tinggi bagi anak-anaknya. Betul-betul Ibu mengencangkan ikat pinggang hingga mimpi memiliki rumah impian untuk bernaung keluarga terwujud. Ibu aku sangat mencintaimu. 

***

Hingga setelah Ibu melepas putra-putrinya dengan bahteranya sendiri, Allah kembali memberi ujian pada Ibu dan Bapak. Sekitar tahun 2000 saat saya bercanda dengan anakku yang masih berumur 2 tahun, seorang tetangga lama mendatangiku. Tiba-tiba ia menyapa dengan kegundahan yang bisa kurasakan.

“Dik, sudah tahu info tentang rumah Ngawi [rumah ortu).” Saya gelengkan kepala.

“Ada apa to Mbak, kok kayaknya terjadi sesuatu, kemarin habis dari sana sehat semua,” jawabku tanpa memiliki perasaan apapun. Namun raut gusarnya membuat saya ikut merasakan ada sesuatu yang telah terjadi.

“Yang sabar ya Dik, rumah Ibu kobongan/kebakaran.” Bagai terkena pukulan, badanku yang awalnya berdiri kuat, tiba-tiba luyu tanpa daya, kaget membayangkan apa yang terjadi. Sang pemberi info seketika memegangi badanku takut aku tak mampu menopang badan lagi dan pingsan.

“Semua keluarga selamat kok Dik, sudah aman,” timpalnya. Angin segar merasuk dalam jantungku, alhamdulillah ya Allah. Aku ingin segera berlari ke rumah Ibu, ingin tahu keadaan yang sesungguhnya, tapi suami belum pulang dari kerja.

“Mau kesana sekarang to Dik? Kuantar.” Sang tetangga baik hati ini menawarkan jasanya yang langsung kuiyakan. Sambil menggendong putriku yang masih berumur 2 tahun.

***

Berjubel orang menonton bak sedang ada tanggapan/hajat, kusibak mereka, tetangga yang lain memberiku jalan ke akses rumah. Terlihat rumah Ibu sudah menjadi arang hitam dengan asap yang masih mengepul kehitaman, aku abaikan, itu hanya rumah, materi, aku langsung mencari Ibu, Bapak, Kakak, suami dan anaknya. Alhamdulillah ketemu semua dengan raut muka yang masih syok, Ibu duduk pasrah memegangi satu buntalan erat-erat, bapak duduk diam terpaku memandangi kepulan asap bekas rumah, begitu pun kakak yang mengendong putranya, pasrah, semua pasrah atas kejadian ini.

Aku pun membisu dalam kesedihan, terbayang bagaimana Ibu menabung demi rumah itu dulu, menahan semua hinaan rekan dan tetangga karena saking hematnya, hanya untuk memiliki rumah impian. Ibu pernah katakan, “Biar hanya Ibu saja yang rasakan gak enaknya berpindah-pindah kontrakan, anak-anaku harus lebih pintar agar bisa punya rumah sendiri, Ibu hanya bisa kasih bekal pendidikan.” Pesan itu terus terngiang dalam benakku.

Kini rumah impian itu sudah habis terbakar berikut isinya, tapi ibu tetaplah pahlawan keluarga yang selalu berpikir cerdas, cepat meski kondisi darurat. Karena begitu melihat api yang cepat menjalar karena cuaca pas kemarau dan angin juga semilir membantu kobar api makin besar. Ibu meminta Kakak untuk menyelamatkan diri berikut anaknya dan selamatkan berkas-berkas penting saja, gak usah coba padamkan api, karena juga tidak ada gunanya justru bisa mencelakakan. Ibu pun juga langsung mengamankan berkas-berkas penting [seagai pensiunan). Buntalan yang didekap erat itu ibarat nyawanya saat itu. 

Tiga mobil Pemadam Kebakaran baru bisa menghentikan kobaran api tanpa rumah kiri kananya ikut terbakar.

Aku dan kakak begitu mengkhawatirkan kondisi Ibu dan Bapak, kami takut kebakaran itu akan membuatnya down dan jatuh sakit. Ibu dan Bapak tinggal di rumah kakak tak jauh dari rumah yang kobong. Aku selalu duduk dekat Ibuk dan Bapak, menghibur untuk bersabar dan  mengikhlas semua yang sudah terjadi. Nanti Allah pasti ganti dengan yang lebih baik.
“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu amat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'." (Q.S Al-Baqarah: 45).

Ketegaran Ibu membuat Bapak tenang, karena yang nampak masih sedih adalah bapak. Ibu berucap, 
“Rumah dan isinya habis tidak apa-apa, selama kartu pengambilan pensiun dan berkasnya aman, kita akan bisa makan, tidak merepotkan orang lain. Semua terjadi atas kehendak Allah, Ibuk bisa ikhlas.” 

Tiba-tiba Bapak membuka suara berat sambil memikirkan sesuatu, “Sebenarnya, seminggu sebelum kobongan, Allah Swt. sudah mrimpeni/memberi pesan lewat mimpi kalau Aku mau nanggap wayang yang ditonton oleh orang banyak sekali. Ternyata ini yang terjadi, rumahku kobong dan dilihat orang banyak silih berganti.” Bapak tersenyum dalam kepasrahan sambil manthuk-manthuk/mengangguk-angguk, seakan membenarkan titah Allah, memang harus melepas meski sulit.

Ternyata dalam kehilangan materi Allah berikan nikmat-nikmat lain pada Ibu dan Bapak yang membuat aku dan saudara lainnya melihat betapa sayangnya Allah pada kami. 

Kebakaran rumah itu hanya meninggalkan pakaian yang melekat di badan, namun langsung ada saja yang memberikan baju bekas pakai yang masih layak sampai baju baru, sarung, rukuh, sajadah, dan segala rupa kebutuhan lainnya. Banyak juga tetangga, rekan, kenalan, bahkan yang belum kenal menyisipkan amplop berupa uang. Masya Allah, kami menangis dalam syukur, Allah mendatangkan kerabat hingga silaturahmi yang sudah lama terputus pun akhirnya terjalin lagi. Allah juga berikan ganti uang bantuan dari para saudara, kerabat, dan tetangga hingga terkumpul hampir Rp 20.000.000. Jumlah itu cukup untuk membangun rumah sederhana untuk berlindung.

Ibu, engkaulah guru terbaik dalam hidupku. Apa yang engkau tanamkan mampu untuk menghadapi segala tantangan dalam hidup ini. Bukan sekedar kata, namun contoh langsung yang aku bisa merekamnya dan sampaikan pada anak-anakku sebagai pelajaran hidup. Sampai kapanpun aku tak kan mampu membalas semua pengorbanan Ibu, hanya doa di setiap salat kupanjatkan selalu untukmu.

Rabbighfir li, wa li walidayya, warham huma kama rabbayani shaghira.

Artinya: “Tuhanku, ampunilah dosaku dan (dosa) kedua orang tuaku. Sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu aku kecil.”

Ngawi, 14 Desember 2023

Baca juga:

0 Comments: