Headlines
Loading...
Oleh. Rina Herlina

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan." (TQS: Al-Ahqaf : 15) 

Ibu betapa mulia kedudukanmu, engkau telah bersusah payah dalam merawat dan membesarkanku, bahkan hingga hari ini aku masih merepotkanmu. Maafkan anakmu ini.

Wahai Ibu, aku berutang budi padamu. Sejak aku kecil tak henti-hentinya menyusahkanmu. Aku yang terlahir dengan watak keras kepala, seringkali menyakiti mu. Padahal perjuanganmu dalam membesarkanku tidaklah mudah. Saat aku seringkali bertengkar dengan ayah dan melawannya, engkau hadir sebagai penengah. Bahkan tak jarang justru kaulah yang jadi pelampiasan amarah ayah. 

Ibu, mengapa hatimu selembut itu? Terkadang aku berfikir mengapa ada manusia sepertimu, yang selalu tersenyum sekalipun kehidupan sedang tidak baik-baik saja. Engkau bak pelita yang selalu menyinari gelapnya kehidupanku. Saat aku mulai tersesat dan tak tentu arah, kau hadir menyadarkanku dan membawaku larut dalam pelukmu. 

Ah Ibu, aku malu. Engkau mampu membungkus semua keluh kesahmu dalam sikap eleganmu. Saat aku beranjak remaja dan kenakalanku semakin menjadi, bahkan pihak sekolah pun sampai geleng-geleng kepala, juga ayah yang kembali murka, namun apa yang terjadi dengan dirimu, engkau tersenyum dan membentangkan kedua tangan seraya memelukku erat, sambil berkata lirih 

"Sayang, sudah ya jangan selalu membuat Ayah marah, lbu takut ayah khilaf dan gelap mata hingga melukaimu, berubahlah sayang, Ibu yakin kamu bisa"

Yang ada di hati dan do'a mu hanya aku, itu yang ku tahu. Itulah mengapa Allah begitu memuliakan kedudukanmu. Karena memang engkau pantas mendapatkannya. Aku saja yang tidak pernah menghargai itu. Aku selalu egois, padahal aku tahu perjuanganmu untuk membesarkan kami begitu berat. Bahkan saat kami kecil, kau sampai harus ikut banting tulang membantu mencari nafkah.

Masih ku ingat jelas kala itu, saat aku masih duduk di Sekolah Dasar. Kau lebih awal bangun daripada kami untuk menyiapkan jualan. Selepas salat Subuh, kau mulai berkeliling kampung menjajakan hasil keterampilanmu. Bahkan saat itu aku juga selalu merepotkanmu, kau berjualan sambil menggendong adekku yang masih kecil. Ah Ibu begitu lelahnya jiwamu kala itu. Kata maaf ku tak akan cukup mengobati setiap luka dan perih saat kau membesarkanku. Ada banyak luka yang sudah ku goreskan di hati mu, meski engkau selalu memaafkan ku.

Kini anakmu ini sudah dewasa bahkan sudah menjadi seorang ibu. Sekarang baru aku memahami, betapa beratnya menjadi seorang ibu. Ada banyak hal yang harus dikorbankan, dan semua itu pasti dilakukan oleh perempuan yang bergelar seorang ibu. 

Masa muda ku yang urakan dahulu, tentu aku tak ingin jika anakku menirunya Ibu. Ah sesulit ini menjadi seorang ibu. Namun engkau tak pernah menunjukkan kesulitan itu. Padahal sekarang aku mengerti betul, bahwa dulu kau begitu kesulitan untuk mengajariku. Karena sikap aroganku yang selalu melukaimu. Maafkan aku ibu.

Kini wajahmu semakin tua, namun dirimu tak kunjung bahagia. Ada banyak luka yang coba kau sembunyikan, ada banyak do'a yang selalu kau panjatkan di sepertiga malam mu. Bu dirimu berhak bahagia, rengkuhlah bahagiamu, jangan kau pikirkan lagi kami. Sudah cukup pengorbananmu selama ini, jemputlah bahagiamu.

Tak apa, tak usah kau risaukan lagi perasaan kami. Jika memang kau merasa sudah saatnya menyerah, maka menyerahlah. Sudah cukup pengorbanan dan pengabdianmu selama ini yang tidak pernah dihargai. Lepaskan Bu, relakan. Sungguh aku tidak ingin lagi mendengar dirimu disakiti olehnya yang tidak pernah menghargai ketulusanmu. Sudah cukup Bu, aku mohon berhentilah menjadi manusia berhati emas. Karena keberadaanmu tidak akan pernah berarti di mata manusia yang tidak memiliki hati.

Songsonglah bahagiamu, meski tak bersamanya lagi. Ada kami anak-anakmu yang selalu menghargai perjuanganmu. Kami bahagia jika dirimu bahagia. Pergilah ke tempat dimana engkau akan dihargai, tak peduli sebanyak apapun luka yang coba kau sembuhkan hingga saat ini, semua itu tak akan pernah bisa merubahnya. 

Biarkan dia menyesali kebodohannya, karena sudah menyia-nyiakanmu. Meski aku tahu, hatimu tak akan bisa setega itu, karena Allah memang menciptakan mu dengan luar biasa. Kau adalah seorang ibu tangguh yang pernah ku temui, kau korbankan kebahagiaanmu demi hidup bersama seseorang yang tidak pernah memperlakukanmu dengan baik layaknya seorang istri.

Ah Ibu, aku sampai bingung, tak tahu lagi harus seperti apa mendeskripsikan sosok mu. Kau segalanya bagiku, aku berharap dan meminta pada Rabb-ku agar bisa menemanimu disisa usia mu. Aku ingin mendampingimu, menemani masa tuamu, menjadi pelayan terbaik untukmu. Seperti halnya engkau dulu yang selalu memberikan pelayanan terbaik untuk anak-anakmu, yang tidak pernah mengeluh atas kerewelan kami, bahkan tetap tersenyum sekalipun jiwa dan raga sedang lelah, atau bahkan saat dunia terasa runtuh. Senyum itu selalu ada dan selalu menenangkan. Karena bagiku, senyummu pertanda bahwa duniaku masih baik-baik saja. [Ys]

Baca juga:

0 Comments: