Headlines
Loading...
Oleh. Dewi Irawati 

Ibu, izinkan aku menuliskan sedikit kisah ketegaranmu. Sebagai bukti cintaku padamu, Ibu. Mungkin ini tak bisa membalas jasamu yang tak ternilai. Tapi setidaknya dunia tahu bahwa kau wanita terbaik bagiku. 

Ditanganmulah masa depan anak-anakmu hingga bisa menjadi seperti sekarang ini. Kau mengandung, melahirkan, dan membesarkan kami dengan segenap jiwa dan ragamu. Begitu besar pengorbananmu untuk anak-anakmu. Meski tak mudah jalan yang kau tempuh, menjadi orang tua tunggal. Kau adalah ibu sekaligus ayah buat anak-anakmu. 

Masih tersimpan kenangan indah bersamamu, sewaktu kita masih hidup bersama dalam satu atap. Susah dan senang kita lewati bersama. Satu hal yang membuatku kagum padamu, kau tak pernah mengeluh sedikit pun! Apalagi menangis, tak pernah kumelihat air mata menetes di pipimu, sungguh tak pernah. Sungguh, kau begitu pandai menyembunyikan kesedihanmu. Padahal aku tahu, begitu berat beban hidup yang kau pikul saat itu. Mengasuh dan membesarkan empat orang anak seorang diri. 

Mencari nafkah dan mengurus rumah adalah kegiatan sehari-hari yang selalu kaujalani tanpa seorang ayah dari anak-anakmu. Kau begitu sabar menghadapi kenakalan-kenakalan kami. Semua kau hadapi dengan tenang. 

Ibu, kau bekerja membanting tulang demi anak-anakmu. Panas terik matahari atau dinginnya hujan tak kauhiraukan. Getirnya hidup tak membuatmu menyerah, terus melangkah untuk masa depan kami. Bahkan hinaan dan cercaan sering kaudapati dari orang-orang yang tak berempati. Namun semua kauhadapi dengan penuh ketabahan. Tapi tak sedikit pula yang memujimu berkat ketabahanmu. Aku salut dengan ketabahanmu yang tak dapat kulukiskan. 

Saat aku sakit, tanganmulah yang dapat menyembuhkanku. Sesuap nasi yang kauberikan begitu berarti. Obatnya adalah belaian dan pijatan tanganmu yang penuh keajaiban. Hal itu benar-benar aku rasakan. Bahkan saat aku menghadapi persalinan ketiga anakku, kau selalu ada di sampingku. Kembali tangan ajaibmu mengusap bagian tubuhku yang sakit, dan seketika itu berkuranglah sakit yang kurasa. 

Saat menjelang tidur, kauhiasi dengan cerita dan dongeng pengantar tidur. Kami pun terhibur dan senang mendengar dongeng dan ceritamu. Kami berempat pun menikmati cerita itu. Walaupun diulang-ulang namun tak pernah bosan untuk mendengarnya. Hingga kini cerita itu masih tersimpan di memoriku. Andai waktu itu bisa diputar kembali, aku ingin mengulang kenangan indah itu. 

Sesekali kudengar kau bersenandung, sambil memasak di dapur di depan tungku yang menyala. Senang sekali kumelihat dan mendengarnya. Mungkin itu salah satu caramu untuk mengusir kesedihanmu. Kaujalani hidup ini seperti air mengalir, seperti tanpa beban. Kau begitu tegar.

Ibu, kaulah wanita hebat dalam hidupku. Kau tak tergantikan oleh siapa pun, oleh apapun. Begitu besar kasih sayangmu kepada kami. Kau tak pernah memaksakan kehendakmu. Sebaliknya kau selalu memberi. Memberi yang terbaik untuk anak-anakmu. 

Kau tak membatasi cita-cita kami, tapi kau selalu mendukung apa yang kami inginkan. Di tengah keterbatasan finansial, kau izinkan kami untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Padahal di kampung, waktu itu hanya anak orang yang mampu yang bisa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang pendidikan yang tinggi. Bisa lulus sekolah lanjutan tingkat atas, itu sudah cukup bagi mereka, setelah itu mungkin menikahkan anak gadisnya atau membiarkannya bekerja. Tapi kau berbeda dengan ibu-ibu di sekitarmu. Kau selalu mendukung cita-cita anak-anakmu untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. 

Aku bangga padamu, Ibu. Ketegaran dan semangat hidupmu membuat kami menjadi anak-anak yang tangguh dan mandiri. Tak berpangku tangan atau mengharap belas kasihan orang lain. Kau berusaha sekuat tenaga. Kaukorbankan tenaga bahkan nyawa sekalipun.

Pernah suatu ketika ketika aku masih kecil, kau hendak melahirkan adikku. Waktu itu bayi yang kau kandung sudah siap untuk dilahirkan. Tapi masih sempat kau pergi ke pasar demi membeli perlengkapan yang belum ada. Darah pun mengalir. Rasa sakit kautahan, tak kaurasakan. Ah, begitu kuat dan tegarnya dirimu ibu. Aku tak dapat menggambarkan ketabahanmu. 

Ibu ... ketegaranmu, kesabaranmu, seperti Siti Hajar, yang begitu tabah menghadapi segala kesulitan dan kepahitan di padang kehidupan yang gersang. 

Satu lagi yang membuatku kagum, kau selalu menjaga salatmu. Kau begitu takut melewatkan kewajiban itu. Bahkan sampai detik ini pun kau masih mengingatkanku tentang salat. Salat, jangan pernah ditinggalkan karena itu kewajiban.

Ibu, aku ingin berterima kasih padamu. Tapi ucapan saja tidaklah cukup. Bahkan jika aku membalas pengorbanan dan cinta kasihmu dengan seluruh baktiku, tak 'kan mampu membayar semua pengorbananmu untukku. Cinta kasih dan pengorbananmu tak terbalas oleh apa pun. 

Ibu, biar pun kasih sayang dan pengorbananmu begitu besar kepada kami, namun kau tak pernah mengharap kembali balasan dari anak-anakmu. Karena cintamu begitu tulus. Dan tak ada yang menandingi ketulusanmu itu.

Ibu, kini usiaku sudah empat puluh tahun lebih. Itu artinya, usiamu juga bertambah. Tangan dan kakimu sudah tak sekuat dulu lagi. Jalanmu juga sudah tak secepat dulu lagi. Namun semangatmu tak pernah padam. Kasih sayangmu kepada kami juga masih sama seperti yang dulu, kasih sayang sepenuh hati. Kami pun sangat menyayangimu, Ibu.

Ibu, maafkanlah anakmu ini jika pernah menyakitimu, pernah mengecewakanmu, pernah membuatmu marah. Maafkan juga jika selama ini aku masih belum bisa berbakti kepadamu.

Ibu, aku ucapkan terima kasih atas kasih sayangmu dan pengorbananmu. Semoga Allah selalu menjagamu dan memberkahi hidupmu.

Ya Allah terima kasih atas karuniamu, kauberikan kami seorang ibu yang tegar dan tangguh, hingga kami ada di dunia hingga detik ini. Berkahilah ibuku dalam hidupnya, ampunkanlah dosa-dosanya, sayangilah ibuku seperti ia menyayangi aku sewaktu kecilku,  berikanlah ibuku tempat yang indah di surgamu kelak. Kumpulkanlah kami bersama-sama di sana ya Allah. Hanya doa itu yang sanggup aku mohonkan di setiap sujudku. Semoga Allah mendengar dan mengabulkan doaku. Amin.

"Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, "Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim."
(QS. Al-Ahqaf ayat 15) 
[Ni]

Baca juga:

0 Comments: