Headlines
Loading...
Oleh. Nur Fitriani

Data PBB 2020 mencatat lebih dari 149 juta (22%) balita di seluruh dunia mengalami stunting, di mana 6,3 juta balita stunting adalah balita Indonesia. Menurut UNICEF, stunting disebabkan anak kekurangan gizi dalam 2 tahun usianya, ibu kekurangan nutrisi saat hamil, dan sanitasi yang buruk. Saat ini prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6%, sementara target yang ingin dicapai adalah 14% pada 2024. Untuk itu diperlukan upaya bersama untuk mencapai target yang telah ditentukan. Salah satunya dimulai dari unit yang terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga (kominfo.go.id, 26/10/2023).

Menurut Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin ada tiga upaya yang dilakukan kementrian kesehatan untuk mencegah stunting di Indonesia. ketiga intervensi ini kata Menkes akan dimulai pada wanita sebelum kehamilan. Pertama adalah pemberian TTD (tablet tambah darah) bagi para remaja putri. Kedua, pemeriksaan kehamilan dan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil. Ketiga, pemberian makanan tambahan berupa protein hewani pada anak usia 6-24 bulan. Anggota komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo menyoroti penanganan stunting di Indonesia yang belum optimal. Rahmad pun menyebut makan tambahan untuk mencegah stunting di kota Depok, Jawa Barat yang sempat menjadi sorotan karena temuan makanan di bawah standar. Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia , Hasbullah Thabrani mengungkapkan masalah indikasi penyelewengan dana penanganan stunting di tingkat daerah (beritasatu.com,1/12/2023

Kasus stunting pada anak-anak bukan masalah gizi yang tidak tercukupi. Namun bagaimana sebuah keluarga itu memenuhi kebutuhan gizinya. Kemampuan ini berkaitan erat dengan kondisi perekonomian keluarga. Sementara, faktanya banyak keluarga terjebak dalam kemiskinan ekstrim. Sehingga jangankan memikirkan masalah gizi untuk sekadar makan layak, banyak keluarga yang kurang mampu. Kemiskinan ekstrim ini adalah kemiskinan sistemik akibat penerapan sistem kapitalisme. Kapitalisme memposisikan Negara sebagai regulator yang abai terhadap kebutuhan rakyat. Kapitalisme menghasilkan penguasa yang picik. Memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya diri. Hasilnya adalah penguasa akan setengah hati mengurus rakyat. Di sisi lain prinsip kebebasan kepemilikan kapitalisme membuat pemilik modal mudah menguasai sumber daya alam. Padahal kekayaan ini adalah harta yang seharusnya digunakan untuk mengurus rakyat seperti menyediakan pelayanan kesehatan gratis, menyediakan lapangan pekerjaan dan sebagainya. Kasus stunting tidak akan benar-benar selesai jika masyarakat terus dipimpin oleh sistem kapitalisme. Penguasa hanya akan sibuk bermain-main dengan angka sementara anak-anak dalam kondisi stunting yang semakin memprihatinkan.

Akan sangat berbeda jika negara di tengah masyarakat adalah negara Islam, yakni negara khilafah. Khilafah bukan negara abai seperti kapitalisme namun negara periayah/pengurus. Khilafah akan mengurus rakyatnya dengan optimal dengan upaya terbaik. Jika ada masalah dengan keluarga, khilafah akan berupaya dengan keras untuk menyelesaikannya dengan tuntas. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya. Dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.’’ (HR. Bukhari).

Untuk mengatasi status stunting maka khilafah akan memastikan setiap anak individu per individu terjamin kebutuhan gizinya dimulai dari keluarga, khilafah akan memastikan setiap kepala keluarga mendapatkan pekerjaan sehingga mereka dapat memberi nafkah kepada keluarga mereka dengan makruf. Lapangan pekerjaan di dalam khilafah terbuka luas dan mudah diperoleh. Sebagai contoh sumber daya alam. Kekayaan alam di negeri-negeri kaum muslimin melimpah ruah. Sehingga ketika kekayaan dikelola mandiri tentu akan menyerap tenaga ahli dan tenaga terampil dalam jumlah yang besar. Selain itu di sektor pertanian, industri, perdagangan barang dan jasa akan membuka lapangan pekerjaan yang memadai. Dengan bekerjanya seorang ayah, sebuah keluarga memiliki kemampuan daya beli barang dan jasa. Selanjutnya khilafah akan memastikan bahan pangan mampu dijangkau daya beli masyarakat. Khilafah akan menghilangkan distorsi pasar (penimbunan, mafia pangan dan kartel, dan sejenisnya). Distorsi ini merusak pasar karena membuat harga melambung tinggi sehingga tidak bisa dijangkau oleh masyarakat. 

Dengan demikian anak-anak telah tercukupi gizinya dari dalam keluarga. Di sisi lain khilafah juga akan memberikan fasilitas pelayanan kesehatan dengan gratis. Dalam Islam kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar publik yang mutlak ditanggung negara. Bukan sektor komersial seperti dalam sistem kapitalisme saat ini. Semua warga baik miskin/kaya, muslim/kafir dzimmi mereka mendapat pelayanan yang sama sehingga para ibu akan mudah memeriksakan kondisi kesehatan anak-anak mereka termasuk konsultasi gizi. Para ibu juga mudah mendapatkan edukasi dari dokter anak bagaimana cara merawat dan memenuhi kebutuhan gizi anak. Adapun sumber dana untuk menjamin agar pelayanan kesehatan gratis berasal dari pos kepemilikan negara dan pos kepemilikan umum baitul maal. Pos kepemilikan negara berasal dari jizyah, usyur, kharaj, ghanimah fa’i, dan sejenisnya. Sementara pos kepemilikan umum berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam. Dana dari kedua pos ini begitu besar lebih dari cukup untuk penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai dan gratis. Inilah solusi tuntas dari kasus stunting dari kacamata khilafah.

Wallahualam bissawab. [An]

Baca juga:

0 Comments: