OPINI
Judi ‘Online’ Menyasar Anak, Buah Sistem Rusak
Oleh. Rus Ummu Nahla
Di era digital, masyarakat begitu mudah mengakses segala informasi, ragam hiburan, gim, sampai perjudian. Adalah benar, bila ada ungkapan, teknologi ibarat pisau bermata dua, yang memiliki sisi baik dan buruk. Bisa baik, jika dalam penggunaannya demi kebaikan dan kemaslahatan. Sebaliknya, bisa buruk dan menakutkan jika dalam penggunaannya menghasilkan kejahatan dan kemudaratan. Semua ini berpulang di tangan siapa, teknologi itu dipegang dan dikendalikan?
Begitu pun tentang judi ‘online’, yang saat ini kasusnya terus meningkat di Indonesia, menurut data PPATK, selama periode 2017—2018 ada sekitar 157 transaksi judi ‘online’ dengan nilai perputaran uang mencapai Rp190 triliun (katadata.co.id, 27/11/2023). Judi ‘online’ sudah menggejala bukan hanya kepada orang dewasa bahkan hingga ke anak-anak di bawah umur.
Laporan terbaru PPATK menemukan 2,7 juta orang Indonesia terlibat judi ‘online’ – sebanyak 2,1 juta di antaranya adalah ibu rumah tangga dan pelajar – dengan penghasilan di bawah Rp100.000. Yang disebut adalah anak-anak dengan jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA dan mahasiswa (OkeZone, 28/9/2023).
Efek Judi
Merebaknya judi ‘online’ di tengah masyarakat hingga menyasar ke anak-anak, tentu sangat memprihatinkan dan tak boleh diabaikan. Pasalnya, judi merupakan candu berbahaya terlebih pelakunya adalah anak-anak. Efek berbahaya dari judi bukan hanya individu dengan terganggunya psikologis seseorang, melainkan juga berefek sosial kemasyarakatan dan bermuara menjadi persoalan negara. Banyak yang nekat melakukan tindakan abnormal dan kriminal lantaran ingin berjudi dan kalah judi. Realitas menunjukkan, candu judi menyebabkan anak enggan berpikir, labil, dan mudah emosi hingga taraf melakukan kekerasan.
Adapun upaya pemerintah dalam memberantas judi ‘online’, dinyatakan telah melakukan berbagai cara, mulai dari memblokir dan mengawasi situs-situs yang memuat judi ‘online’ hingga menutup akses keuangan yang dipakai untuk transaksi judi ‘online’. Akan tetapi langkah tersebut sampai saat ini belum terlihat mampu memberantas judi ‘online’ tersebut. Karena pada faktanya, situs-situs judi ‘online’ masih liar bertebaran di setiap beranda iklan. Pada faktanya pula, masih banyak pelaku tertangkap, namun tak jera untuk kemudian kembali mengulangi perbuatannya. Melihat realitas ini, pemerintah terkesan kurang serius dalam menangani persoalan, terutama dalam tahapan implementasi sanksi yang dimungkinkan terbukanya celah negosiasi untuk memperingan hukuman.
Soal ‘Minded’
Judi, baik ‘online’ maupun ‘offline’ berawal dari sebuah pola sikap yang terbentuk dari sekularisme—kapitalisme. Dalam pandangan ini, judi merupakan salah satu cara instan dalam memperoleh uang. Makna kebahagiaan dalam sekularisme diukur dari banyaknya materi yang diperoleh, meniadakan aspek ‘ruhiyah’. Selain itu, sekularisme—kapitalisme menuntut seseorang harus memiliki banyak uang karena kebutuhan dan persaingan hidup. Alhasil, realitas dalam kehidupan kapitalisme selalu mengerucut soal uang, uang, dan uang.
Melihat realitas ini, bermula dari cara pandang hingga menghasilkan pola sikap. Pola sikap erat kaitannya dengan bentuk pemahaman. Pemahaman dengan sentuhan agama, akan mampu membuat orang terbentengi dirinya dari hal yang buruk atau kemaksiatan. Dengan kata lain, benteng keimanan harus sudah dibentuk sejak awal. Menanamkan rasa takut kepada Allah Swt. manakala melakukan kemaksiatan yang memiliki konsekuensi dunia dan akhirat. Akan tetapi saat ini peranan itu justru dihilangkan dalam kurikulum pendidikan.
Langkah yang diambil semestinya lebih komprehensif, dengan upaya preventif kolektif dan ketegasan hukuman kepada para pelaku perjudian di setiap levelnya. Semua pihak, terutama keluarga yang dibentuk dari pemahaman Islam, agar kemudian dapat melakukan kontrol ke masyarakat, dan hal ini akan lebih efektif apabila didukung negara sebagai pemegang kekuasaan. Hanya, hal tersebut hanya mampu dilakukan apabila antara negara dan masyarakat memiliki cara pandang yang sama, yakni Islam. Yang memandang judi baik ‘online’ maupun ‘offline’ merupakan perbuatan haram yang terkategori kemaksiatan.
Butuh Penerapan Syariat Islam
Dalam Islam negara adalah pengurus atau penguasa yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Negara tidak akan lepas tangan terhadap urusan rakyat termasuk dalam memberantas perjudian. Apalagi perkara tersebut merupakan perkara yang diharamkan oleh Islam. Seiring dengan itu, negara akan melakukan upaya edukasi kepada masyarakat, tentang haramnya melakukan perjudian baik ‘online’ maupun ‘offline’. Bukan hanya itu, sedari awal negara Islam akan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Alhasil sejak dini anak-anak dipahamkan tentang nilai-nilai Islam. Dari penanaman ini akan terbentuk pola pikir dan pola sikap bahwasanya kebahagiaan itu adalah mendapatkan rida Allah Swt..
Jika masih kedapatan ada yang melakukan, negara akan memberlakukan sanksi tegas bagi para pelaku judi yaitu berupa hukum takzir. Sanksi takzir merupakan bentuk hukuman yang kadar hukumannya ditetapkan oleh penguasa, yaitu berupa pengasingan, cambuk, denda, pengucilan, penyaliban, pelenyapan harta, hingga hukuman mati.
Dan hukuman ini akan dipublikasikan di tengah-tengah masyarakat untuk memunculkan rasa takut sehingga masyarakat yang lain akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan yang sama. Bukan hanya itu, selain sifatnya sebagai jawabir (pencegah), sanksi Islam juga merupakan sebagai jawazir (penebus dosa), artinya eksekusi hukumannya di dunia dapat meniadakan hukumannya di akhirat kelak.
Dengan demikian, semua itu membutuhkan penerapan syariat Islam oleh negara. Hanya, penerapan hukum yang satu sangat erat kaitannya dengan sistem hukum yang lain. Seperti sistem ekonomi dan sistem sosial kemasyarakatan. Alhasil, kekafahan penerapan Islam menjadi syarat ideal yang harus diterapkan oleh negara. Yang ini hanya bisa diwujudkan oleh negara Khil4fah, sebagaimana dicontohkan Baginda Nabi Muhammad saw. dan ‘Khulafa Ar Rasyidin’.
Wallahualam bissawab. [Ni]
0 Comments: