OPINI
Kampanye Dimulai, Jangan Sampai Rakyat Tercerai berai
Oleh. Netty al Kayyisa
Kampanye peserta PEMILU resmi di mulai pada hari Selasa, 28 November 2023. Bawaslu selalu menghimbau agar tidak ada black campaign dengan menyebarkan berita hoak atau yang mengandung unsur SARA. Ketentuan kampanye juga sudah ditetapkan dalam UU no. 7/2017 dan PKPU no. 15/2023.
Tetapi apakah menjamin dengan himbauan dan UU yang sudah ditetapkan akan berjalan sesuai dengan harapan? Tidak ada black campaign atau saling menyudutkan?
Buktinya ketika muncul berita heboh tentang asam sulfat, banyak yang menjadikan cacian atau guyonan. Seiring dengan itu juga terhembus opini yang berusaha menggiring untuk mengunggulkan satu calon daripada calon yang lain.
Sebagaimana yang dilansir dalam cnbcindonesia, 30 November 2023, menukilkan apa yang disampaikan oleh salah satu media asing di Jepang, Nikkei Asia, yang menyoroti keunggulan capres no 2 dalam sebuah survey. Bukankah ini upaya menggiring pada opini mengunggulkan seorang calon? Pada faktanya belum tentu terjadi hal demikian.
Kampanye satu paket dari pesta demokrasi yang harus diwaspadai. Moment kampanye ini bisa menyebabkan perpecahan ditengah umat hanya karena beda pilihan. Beda yang didukung. Saling menjatuhkan dan menjelekkan. Mengunggulkan yang satu, merendahkan yang lain.
Di sisi lain, kontestan PEMILU juga berebut perhatian umat. Mencitrakan diri baik, dekat dengan ulama, bahkan membela rakyat. Padahal jika berkuasa, lupa akan janji-janjinya. Dan ini berlangsung sepanjang pesta demokrasi yang diselenggarakan di negeri ini.
PEMILU hanya ajang tipu-tipu. Menipu rakyat dengan janji-janji manis tak pernah terwujud. Penuh intrik. Karena kemenangan bukan bersumber dari kemampuan tapi dari pencitraan. Penampilan bagus dan berkesan. Kewibawaan yang dibuat-buat hingga pembelaan terhadap rakyat yang hanya saat kampanye saja. Setelahnya, bukan urusan saya.
Berbeda dengan Islam. Kepemimpinan adalah amanah. Yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Yang hanya bisa diemban oleh orang yang memilki kemampuan saja. Orang-orang yang lemah bahkan dilarang untuk memikul bahkan memintanya.
Dalam satu riwayat disebutkan, Abu Dzar al Ghifari pernah meminta jabatan kepada Rasulullah. Dengan menepuk bahu Abu Dzar, Rasulullah bersabda,
“Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan adalah amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambil dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.” Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab sahihnya.
Siapa yang tidak mengenal Abu Dzar? Beliau adalah sahabat dekat Rasulullah yang pemberani. Mengumumkan keislamannya di tengah orang-orang Quraiys, hingga babak belur dikeroyok massa pada saat itu. Kedekatan Abu Dzar dengan Rasulullah, tak serta merta menjadikan beliau mendapat posisi istimewa sebagai pemimpin. Bahkan Rasulullah menegurnya dan menyampaikan bahwa beliau adalah orang yang lemah. Bagaimana dengan pemimpin sekarang? Sudahkah benar-benar memilki kemampuan hingga layak memimpin umat? Bukan karena pencitraan kebaikan tapi karena kesungguhan menanggung amanah kepemimpinan.
Jika seorang muslim menyadari hakekat kepemimpinan ini, maka tidak akan terjadi rebutan dalam kepemimpinan. Karena ada tanggung jawab besar yang harus diemban. Dia akan takut jika lemah dalam mengemban amanah. Akan takut jika kelak dimintai pertanggunjawaban atas kepemimpinannya.
Sebaliknya, orang-orang yang memang mampu mengemban amanah kepemimpinan, maka akan mengembannya dengan penuh tanggung ajwab. Menghadirkan dirinya untuk mengurusi urusan rakyat. Tentunya dengan Islam.
Islam juga memilki mekanisme dalam pemilihan pemimpin ini. Ada syarat awal yang harus terpenuhi. Setidaknya ada tujuh syarat yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan mampu.
Ketika memilih pemimpin pun rakyat akan memilihnya bukan hanya karena ketenaran atau uang yang dibagikan, tetapi melihat sepak terjang selama dia hidup. Melihat kemampuan dari semua sisi. Baik kemampuan fisik maupun kemampuan intelektual dalam memimpin. Keadilan yang ditampakkan, juga keterikatan terhadap hukum syara sehingga mampu mewujudkan keadilan.
Jika dua sisi ini baik pemimpin dan yang memilih memiliki persepsi yang sama tentang kepemimpinan, bahwa ia adalah sebuah amanah, maka kedua belah pihak akan berusaha sebaik mungkin memilih memimpin dan menjadi pemimpin. Karena pemimpin sejatinya adalah pelayan umat.
Secara teknis, pemilihan pemimpin dalam Islam, bisa dengan pemilihan umum seperti sekarang. Tetapi karena pelaksanaanya yang berbeda pandangan, akan menyebabkan mekanisme dan hasilnya pun akan jauh dari kesamaan. Pemilihan yang didasari dengan keimanan, dengan tanggung jawab dan penuh kesadaran, akan menjadikan pelaksanaannya tertib dan lancar. Penuh kebaikan dan keberkahan. Tidak ada tipu-tipu untuk pencitraan. Juga tidak ada black campaign yang menyertai.
Bahkan rakyatpun tak akan bisa dibodohi dengan berita hoak dan sengaja menjatuhkan. Juga tidak bisa dibujuk dengan saweran, untuk memilih pemimpin yang paling banyak memberikan uang.
Dengan sistem Islam, meski secara teknis pelaksanaan sama, tetapi hasilnya jauh berbeda. Karena berasaskan keimanan. Maka penuh keberkahan. Insyaallah.
0 Comments: