Headlines
Loading...
Oleh. Sri Setyawati

Ibu. Mendengar kata ibu, aku teringat kembali ke masa lalu. Masa-masa di mana kebersamaan kami sangatlah berarti dan berharga. Ibu tak pernah memperlihatkan rasa lelahnya di depanku. Ibu selalu saja tersenyum jika bertatapan denganku. Ibu selalu saja menampakkan sehat padaku. Ibu selalu terlihat kuat di depanku.

Dari aku kecil ibu bekerja dan merawatku. Tak pernah kudengar keluh kesahnya. Tak pernah kulihat rasa lelahnya. Walau dari pagi harus mengurus rumah, berangkat bekerja dan pulang ke rumah masih harus bertemu lagi dengan pekerjaan. Namun Ibu tetap semangat.

Aku mulai beranjak remaja, ibu tetap perlakukanku dengan manja. Tak pernah Ibu memaksaku bekerja. Membantu mengerjakan urusan rumah tangga, padahal Ibu sudah lelah bekerja. Itulah ibu, yang rela berkorban demi anak-anak kesayangannya.

Dan aku dengan tanpa dosa, bertindak sesukanya, hanya demi kesenangan sendiri. Ibu selalu bilang sekarang tugas kamu hanya belajar, belajar, dan belajar. Yang lain biar jadi urusan ibu. Oh ibuku sayang, begitu tulus kasih sayangmu padaku, hingga detik ini masih kurasakan.

Setelah aku dewasa, aku mulai bekerja. Tak pernah ibu menuntut uang gajiku. Ibu hanya berpesan, "Nak, sisihkan uang gajimu dan tabunglah untuk masa depanmu." Tapi tak pernah kuhiraukan pesan-pesannya, aku selalu saja foya-foya dengan uang gajiku. Hidupku dulu benar-benar tak punya aturan. Tak ada target hidup yang kurencanakan. Tak pernah aku berpikir sejauh itu. Saat itu yang ada di benakku hanyalah setiap hari bisa bersenang-senang.

Dengan sabar ibu kembali mengingatkanku, dan terus mengingatkanku tanpa rasa marah. Aku pun kembali hanya mengiyakan. Tanpa sedikit pun mengindahkan pesan-pesan ibu.

Tiba waktuku menikah. Setelah menikah, aku mengikuti suamiku. Dan berpindah ke pulau yang jauh dari ibu. Kutinggalkan ibuku di kota asalku. Kujalani hidup dengan keluarga kecilku. Masih saja ibuku memikirkanku.

Suatu hari Ibu meneleponku dan menanyakan kabarku, "Nak, gimana kabarmu di sana? Ibu rindu." 
Kudengar suara Ibu yang parau, mungkin menahan tangis rindunya padaku. Dan sebenarnya aku pun menangis saat ibu meneleponku.

Ibu, aku sangat merindukanmu, namun kata-kata itu tak pernah kuungkapkan pada ibu. Aku hanya bisa berkata, "Ibu, aku mencintaimu," dengan penuh linangan air mata. 
“Ya Nak, ibu tahu itu, karena kamu anak yang baik di mata Ibu.”
Ya Allah ... ibu masih saja menganggapku anak yang baik, padahal selama ini aku selalu membantahnya. 
"Ibu maafkan aku ya,” ucapku lirih di telepon saat itu.
"Kamu tak perlu meminta maaf, Nak, karena tak ada kesalahanmu sedikit pun pada ibu.” Ucapnya waktu itu yang membuat hatiku semakin teriris perih.

Ibu, kasihmu tak pernah terputus pada anakmu. Walau pun aku sudah menikah, punya anak tetap saja di hadapanmu aku adalah putri kecilmu. Yang harus selalu kau jaga, kau lindungi, kau perhatikan, kau sayangi, dan kau cintai. Besar sekali pengorbananmu, Ibu.

Dari kecil ibu merawatku hingga aku dewasa. Dan setelah dewasa, kau ikhlaskan aku untuk dimiliki orang lain dan meninggalkanmu untuk bersamanya.

Bu ... aku masih ingat waktu ibu datang menengok kami. Ibu  terlihat begitu bahagia melihat kami. Terutama melihat cucu cantiknya yang lucu. Tak terlihat lagi rasa kecewamu pada kami. Yang kau tampakkan hanya raut gembira dan tawa bahagiamu.

Bu ... aku tahu di dalam hatimu yang terdalam masih ada tersisa goresan luka di masa lalu karena keputusanku. Aku masih bisa merasakan batinmu yang kecewa, Bu. Namun kau mencoba berbesar hati dan berjuang memendam kecewa demi kebahagiaan kami.

Terima kasih ya Bu, atas kesabaranmu Terima kasih ya Bu, atas perjuanganmu Terima kasih ya Bu, atas kasih sayangmu
Yang tak pernah berkurang padaku

Rasanya tak akan ada habisnya jika memuji tentangmu, Bu. Tak akan ada habisnya ungkapan kata-kata indah untukmu, Bu. Rasa banggaku padamu terus ada utuh tersimpan dalam hatiku. Kekagumanku padamu selalu kuceritakan pada cucu-cucumu atas perjuangan dan pengorbananmu dulu.

Ibu ... kini engkau sudah semakin tua, tubuhmu telah renta. Kulitmu sudah terlihat semakin keriput. Tenagamu pun kini hanya sanggup untuk menopang tubuh rentamu.

Ibu ... memandangmu ada kepedihanku. Menatapmu ada begitu banyak sedihku. Membayangkan tubuh rentamu, Bu ... adalah ketakutan yang luar biasa, yang selalu menghantuiku. Seolah ingin menuntutku dan menghukumku. 

Ibu ... tahukah engkau kalau anak kesayanganmu ini, menyimpan satu beban berat dalam hidupnya, dalam setiap langkahnya, di setiap hembusan napasnya, dan di dalam hari-harinya.

Ibu ... engkau tak pernah menyalahkan jalan yang kupilih dalam hidupku. Kuingat selalu pesanmu, Bu.
"Nak, jika kau yakin dengan memilih Islam agamamu sebagai tiang kehidupanmu maka laksanakan dengan serius. Taatilah semua aturannya, jangan setengah-setengah.”

“Ibu ... engkau lihat ‘kan anakmu, hingga kini masih terus belajar, untuk selalu memahami Islam, berusaha taat pada syariat, untuk mendapatkan manfaat dari syafaat. Karena aku masih jauh dari golongan orang-orang baik.”

“Masih banyak yang harus kubenahi, Bu. Terutama kewajibanku untuk bisa meluruskan pilihan hidupmu, Bu. Aku sedih Bu ... melihatmu masih tetap di sana dengan keyakinanmu.”

“Di setiap sujud wajibku, selalu kukirimkan doa terindah untukmu, Bu. Semoga Ibu bisa berbalik dan mengikuti langkahku.”

“Di setiap sujud sepertiga malamku, kulangitkan doa terbaik untukmu, Bu.
Semoga hidayah datang menghampiri dan merengkuhmu, Bu. Semoga Ibu juga yakin pada agamaku.”

“Aku selalu mendoakanmu Bu, semoga segala kebaikan segera datang menghampiri. Semoga Allah hadirkan hidayah-Nya pada ibu. Karena sejatinya hubungan kita hanya sebatas hubungan seorang ibu dan anak di dunia, Bu. Secara akidah kita sudah terpisah jauh, Bu.”

“Aku sedih Bu, aku menangis karenamu. Aku takut Bu, takut tak bisa lagi mendoakanmu. Aku takut terputus sudah jalinan kasihmu denganku saat kau harus pergi meninggalkan dunia ini. Sebelum Ibu bertobat dan mengambil jalan yang lurus.”

“Bu ... sering kali kuingatkan padamu
Islam adalah rahmatan lil alamiin. Hanya Islam agama yang sempurna, karena Islam mengatur seluruh kehidupan dari bangun tidur hingga ke tidur lagi, semua ada aturannya.”

“Aku sangat menyayangimu, Bu. Dan aku pun tahu Ibu sangat menyayangiku. Semoga sebelum Ibu menutup mata, sempat mengucapkan ‘Laa ilaaha ilallah, Muhammadur Rasulullah. Asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.’”

“Jika Ibu tak menemukan hidayah dari aku putri kesayanganmu, semoga Ibu temukan hidayah dari kehadiran menantu saleh Ibu. Amin ya Allah ya Rabbal alamin.” [Ni]

Baca juga:

0 Comments: