Headlines
Loading...
Oleh. Maya Rohmah

Jika engkau menggambarkan ibu dengan warna-warna seindah pelangi, aku hanya bisa mengambil krayon warna hitam, abu, dan krem untuk menggambar ibuku. Ibu biologisku.

Untuk itu, agar sama berwarnanya sepertimu, kugambar semua jenis ibu di dunia ini. Ada ibu biologis, ibu psikologis, dan ibu ideologis. Semuanya mendapatkan porsi tersendiri di hatiku.

Ibu biologis, dialah yang mengandung dan melahirkanku ke dunia. Karena pertemuannya dengan papah, maka aku ada. Selain melahirkanku, dia melahirkan satu kakak dan lima orang adik. Darinya aku memahami bahwa Allah itu selalu ada untuk hamba-hamba-Nya dan melahirkan itu mudah. 

Mamah, demikian aku memanggil ibu biologisku, berasal dari keluarga pesantren tradisional. Pertemuannya dengan papah dari kalangan yang lebih bebas dan modern, membuahkan kakak, aku, dan satu adikku. Saat anak yang keempat hingga anak ketujuh, mamah telah mengalami sakit psikologis. Meski mendapat pertentangan dari kedua keluarga besar, setiap ada kesempatan, papah selalu berupaya untuk membuat anak-anaknya tinggal bersama papah dan mamah. Papah berharap anak-anaknya bisa menjadi terapi kesembuhan bagi mamah, tetapi tak kunjung membuahkan hasil hingga akhir hayatnya. Ada jarak yang terbentang antara dunia kami dan dunia mamah. Mamah hidup dalam dunianya sendiri.

Allah selalu ada. Dalam kondisi mamah sakit mental, kami hidup berpindah kota ke tempat papah dipindahtugaskan, ajaibnya mamah selalu diberi kemudahan dalam melahirkan. Bahkan pernah kami tinggal di tempat terpencil, jauh dari ingar-bingar peradaban, alat komunikasi hanyalah kentongan dan surat, listrik tidak ada, televisi hitam putih hanya ada di warung kopi nun jauh di sana, mamah melahirkan adikku dengan begitu mudahnya. Tanpa kehadiran tenaga kesehatan. Ya, hanya dengan bantuan papah, adikku lahir dengan selamat. Aku insaf betul, ada Allah Yang Maha Rahman di balik semua ini. 

Saat usia empat tahun, aku tinggal bersama om dan istrinya di Bandung. Mereka menyekolahkan aku ke TK. Tapi aku sudah pandai membaca sejak sebelum sekolah, papah yang mengajariku. Baru satu bulan masuk di kelas 1 SD, papah datang dari Bogor menjengukku dan berkata, "Neng, Mamah baru saja melahirkan adikmu. Mamah kangen ingin bertemu kamu."

Aku pun pulang dan kembali tinggal bersama orang tuaku. Kelas 1 dan 2 SD, aku di Bogor. Kelas 3 SD, kami pindah ke Gresik. Di sanalah awal mamah menunjukkan gelagat aneh. Dia telah hidup dalam dunianya sendiri. 

Beberapa bulan kemudian, kakak, aku, dan adikku yang saat itu masih satu orang, dititipkan ke nenek yang tinggal di kota Kuningan. Aku mengulang kelas tiga dari awal. Kelas tigaku yang pertama kacau balau. Demikian pula dengan kakak dan adikku. 

Jika papah yang mengajarkan aku membaca dan mengaji sebelum usia TK, maka neneklah yang mengajariku untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga. Nenek pula yang memahamkan kepadaku untuk mampu mengurus diriku sendiri. Sering kali om dan bibi yang tinggal bersama nenek memperlakukan aku dan kedua saudaraku agak keras. 

Sering berpindah tempat dan pengasuhan, kondisi mamah, serta perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang-orang dewasa di sekitarku, membentukku menjadi seorang remaja yang pendiam, tertutup, dan tidak percaya diri dalam kehidupan sosial. Anehnya, untuk nilai akademik, sejak SD aku selalu berada di jajaran atas. Bahkan saat SMA, gelar juara umum selalu berhasil kudapatkan. Ya, begitulah. Kecerdasanku hanya di atas kertas. Untuk kecerdasan sosial dan berkomunikasi, nilaiku masih nol besar.
.
.
Bertemu dengan Ibu Jiwaku

Kelas satu SMA, aku kembali tinggal bersama orang tua dan bersekolah di kota Jambi. Papah saat itu bekerja di PT Wijaya Karya Tbk, salah satu perusahaan BUMN yang bergerak dalam bidang konstruksi bangunan di Indonesia. Selang setahun di sana, krisis moneter mencapai puncaknya. Perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, malang nian papahku termasuk di antaranya. Kami sekeluarga pindahan naik truk, menyamankan diri duduk dan tidur di tengah perabotan yang bisa dibawa ke Pulau Jawa. Tempat yang kami tuju adalah Kota Sukabumi. Jambi—Sukabumi nyaris seribu kilometer dengan waktu tempuh masa itu lebih dari sehari semalam. 

Di Sukabumi, aku mulai mengajar les privat ke anak SD. Papah banting setir menambang emas di pelosok Sukabumi. Namun, kondisi ekonomi keluarga semakin memburuk. Saat kelas dua SMA, keluargaku tercerai-berai, tinggal di beberapa kota. Aku sendiri diselamatkan oleh salah satu keluarga yang anaknya kuberikan les privat.

Di dalam keluarga inilah kutemukan ibu bagi jiwaku, ibu psikologis. Dia yang menata hidupku menjadi lebih teratur. Dia memberiku uang saku mingguan, dari situ aku belajar mengatur uang agar cukup sampai akhir minggu. Darinya aku belajar untuk mengamankan dokumen-dokumen dan jejak penting dalam hidup ke beberapa map plastik dan buku catatan. Aku dikenalkannya ke tetangga satu perumahan, bersilaturahmi dengan tetangga sekitar, diikutkan ke perkumpulan remaja setempat. Aku pun diajaknya ke luar kota mengunjungi famili tempat mereka melangsungkan arisan keluarga besar sebulan sekali. Berkat ibu psikologisku ini, aku mencicipi bagaimana rasanya berada dalam sebuah keluarga seperti pada umumnya.

Saat kelas dua SMA, mamah, ibu biologisku meninggal dalam keadaan masih sakit psikologis. Satu tahun setelahnya, papah, guru literasi pertamaku, juga meninggal. Saat itu aku sedang mengikuti masa Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) di IPB, praktis telah keluar dari rumah keluarga angkat di Sukabumi, berpisah dengan ibu psikologisku. 

Duniaku runtuh untuk ke sekian kalinya. Krayon berwarna terang harus kembali kusimpan. Namun Allah tak meninggalkanku barang sedetik pun. Aku tetap bisa melanjutkan hidup meski dengan jiwa kusut masai. Aku haus akan ketenangan jiwa. 

Pertemuan dengan Ibu Ideologis

Di kampus, berbagai kelompok kajian keislaman sempat kumasuki. Kelompok yang ini terlalu meromantisasi pergaulan ikhwan dan akhwat, kelompok yang itu salah dalam memaknai negara Islam. Hingga akhirnya, aku menemukan kajian yang fikrah dan ‘thariqahnya’ sesuai dengan fikrah dan ‘thariqah’ dakwah Rasulullah saw.. Di sana kutemukan para ibu ideologis. Meski guru kajianku masih mahasiswa, sama sepertiku, tapi dia mampu berperan sebagai ibu ideologisku. Dia mengisi dahaganya pemikiranku. Darinya dan para ibu ideologis setelahnya, juga dari buku-buku yang kubaca, aku mulai menemukan hikmah dan gula atas semua hal yang terjadi di hidupku. Aku mulai percaya diri dan membuka diri. Latar belakang keluarga yang membuatku ‘insecure’ dan sempat membuat jiwaku babak belur, akhirnya membuatku bersyukur. 

Menemukan para ibu ideologis yang menjadi guruku dalam mengkaji Islam, aku bersyukur terhindarkan dari pergaulan bebas. Aku bersyukur bisa memaknai ulang hidupku. Aku kini bisa melihat di atas tembok, bahwa hidupku tidak menderita-menderita amat. Aku insaf betul bahwa Allah mengujiku karena aku mampu menanggungnya.

Firman Allah yang ini menjadi salah satu favoritku, لا يكلف الله نفساً إلا وسعها , bahwa Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya (Al-Baqarah: 286).

Petikan ayat yang diambil dari Al-Qur'an pada surah At-Taubah ayat 40, لا تحزن ان الله معنا , yang artinya janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita, ini juga menjadi kalimat favoritku.

Terima kasih ibu biologisku, ibu psikologisku, dan para ibu ideologisku. Kini kertas gambarku penuh dengan goresan krayon berwarna-warni. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: