Headlines
Loading...
Oleh. Rina Yosida

Seorang bocah di Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Korban ditemukan sudah tidak bernyawa di dalam kamarnya, Rabu (22/11). Aksi nekat bocah SD itu diduga dipicu rasa kecewanya karena dilarang bermain handphone (Detik Jateng, Kamis, 23 November 2023).

Setelah pulang sekolah korban (K, 10 tahun) yang sedang memegang handphone, diminta orang tuanya untuk makan. Tapi ia tak menggubrisnya dan terus bermain, kemudian orang tua meminta handphonenya. Lantas ia pun marah sambil bergegas masuk kamar dan menguncinya.

Sore harinya, sang ibu mengetuk pintu kamar karena waktunya korban untuk mengaji di TPQ dekat rumah, tapi tak ada jawaban. Ketika diintip dari lubang pintu, ibunya mendapati korban telah gantung diri menggunakan selendang.

Kasus bunuh diri anak sebelumnya, seorang siswi (13 tahun) SDN 06 Petukangan Utara, Jakarta, melompat dari lantai 4 gedung sekolahnya pada 23 September 2023 yang lalu. 

Dari fakta-fakta terungkap setelah penyidik dari Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polres Metro Jakarta Selatan memeriksa 12 saksi, bahwa sebelumnya korban sempat saling mendorong dengan salah satu temannya, tetapi sudah bersalaman sebagai tanda saling memaafkan di depan guru wali kelas. Kemudian korban pamit ke kamar kecil dan tak kembali hingga terdengar kabar korban terjatuh di lantai dasar. 

Sedangkan kasus lain bunuh diri anak sebagai korban bullying terjadi di Banyuwangi. Sebut saja MR (11 tahun), siswa SD di Pesanggaran, Banyuwangi pada 27 Februari 2023 yang lalu. Korban sering mengeluh dan menangis akibat diolok-olok temannya di sekolah karena tak punya ayah, yang sudah meninggal dunia. Sebagai anak yatim, MR tinggal bersama ibu dan kakaknya. 

Fakta Kasus Bunuh Diri Anak

Menurut Komisi Perlindungan Anak (KPAI), pihaknya telah mencatat sebanyak delapan kasus bunuh diri anak selama bulan November  2023. (Republika online, 29 November 2023)

"Ini alarm keras. Kami ada datanya dan jenis latar belakangnya mengakhiri hidup ada. Ini yang terekspos, belum lagi yang tidak terekspos," ujar Diyah, Komisioner KPAI.

Di sisi lain, KPAI mencatat selama Januari-November 2023 terdapat 37 aduan kasus mengenai anak mengakhiri hidupnya. Kasus tersebut terjadi pada usia rawan (kelas 5-6 SD), Kelas 1 atau 2 SMP, kelas 1 atau 2 SMA. Polanya ada di usia rawan dan di usia yang mengalami perubahan dari SD ke SMP dan SMP ke SMA.

Sekulerisme Membentuk Pola Pikir yang Rapuh

KPAI  mendesak negara segera mengatasi kasus bunuh diri pada anak yang semakin marak.
"Negara harus menguatkan apa sesungguhnya akar dari persoalan ini," sebut Ketua KPAI Ai Maryati Solihah dalam Rapat Koordinasi Nasional Klaster Perlindungan Khusus Anak KPAI 2023 di siaran YouTube KPAI dikutip Kamis, 30 November 2023.

Dari beberapa kasus bunuh diri pada anak, terdapat berbagai penyebabnya. Antara lain, korban perundungan atau bullying atau rasa kecewa yang berlebihan terhadap sesuatu yang tidak sesuai harapannya. 

Akibat sekulerisme, yaitu sebuah sistem kehidupan yang memisahkan agama dari kehidupan, membuat generasi mudah merasa depresi, temperamental dan cenderung mengikuti hawa nafsu tanpa berpikir dampak yang akan timbul akibat perbuatannya.

Sehingga mereka merasa hidupnya hanya untuk memenuhi semua  keinginannya saat ini, tanpa memahami bahwa ada Allah Swt. sebagai Pencipta dan Pengatur kehidupan yang akan meminta pertanggungjawaban atas semua perbuatannya. 

Ditambah lagi gaya hidup yang serba instan, mengakses segala hal yang diinginkan dengan mudah didapatkan tanpa harus berusaha keras. Misalnya, jika ingin informasi apapun tak perlu membaca buku atau media massa, tetapi cukup meng-klik di internet maka seluruh dunia seolah-olah dalam genggamannya, sementara usia anak-anak belum mampu menyaring apakah informasi tersebut sesuai atau tidak untuknya.

Generasi rapuh merupakan generasi yang tidak memiliki dasar pemikiran yang kuat, cenderung ikut sana ikut sini, tak paham benar atau salah dan merasa malu jika tak mengikuti tren. Jadi ketika menemui masalah sedikit saja, ia akan mudah merasa menjadi orang  paling menderita. 

Ini bukanlah soal kelemahan mental, seperti penilaian masyarakat pada umumnya, tetapi lebih pada pemahaman yang salah tentang tujuan hidupnya. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an:
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat [51]: 56)

Solusi Pragmatis Menciptakan Masalah Baru

Jika saja manusia paham bahwa hidupnya terikat dengan aturan yang telah ditetapkan Allah, yaitu Syariat, maka tak akan terkungkung pada solusi-solusi pragmatis (dangkal) dalam upaya mengatasi segala problematika kehidupan.

Kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan kerusakan pola pikir generasi pada umunya, dan bunuh diri anak pada khususnya, tak juga mampu menyelesaikan persoalan. Karena kebijakannya tak tepat sasaran, yaitu solusi yang tidak fokus pada akar permasalahan sebenarnya. Sehingga mengakibatkan kecenderungan jumlah kasus bunuh diri anak yang terus meningkat. Antara lain:

1. Menambah jam Kegiatan Belajar Mengajar di sekolah (KBM), dengan harapan anak menghabiskan waktunya untuk kegiatan yang positif. Padahal sejatinya justru menjauhkan anak dari agama sebagai panduan hidupnya. Terbatasnya waktu untuk mengaji dan mengkaji ilmu agama, membuat anak tak mengenal jati dirinya sebagai hamba Allah Swt. yang kepada-Nya kita akan kembali.

2. Menitikberatkan pada kompetisi-kompetisi demi meraih prestasi duniawi, akan menciptakan generasi individual yang hanya sibuk memikirkan dirinya sendiri dan tak ada kepedulian dengan lingkungannya. Selain itu, kondisi ini bisa menyebabkan anak merasa memiliki beban yang cukup berat, karena tuntutan untuk berhasil bisa timbul dari faktor internal (keluarga) atau eksternal (lingkungan).

3. Kesibukan ayah dan ibu menciptakan pola asuh yang tak mampu menanamkan prinsip-prinsip dasar dan anak kehilangan sosok orang tua sebagai role model. Sistem kapitalisme membuat ayah dan ibu sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang semakin berat, bahkan isu kesetaraan gender menjadi penyemangat bahwa ibu harus berkarir. Sehingga kurangnya komunikasi antara anak dan orang tua maupun antar anggota keluarga yang lain, membuat anak tidak bisa leluasa untuk sekedar berbagi cerita dan mengeluhkan masalah yang dihadapi. Akibatnya ia merasa sendiri dan putus asa.

4. Tidak ada kontrol dari negara terhadap media sosial, games, akses informasi dan tontonan unfaedah lainnya. Suguhan yang menganut asas kebebasan berekspresi mengakibatkan anak makin tak paham dengan rambu-rambu yang benar sesuai usia dan taraf berpikirnya. 

5. Peringatan Hari Anak hanyalah selebrasi tanpa arti, bahkan cenderung dijadikan ajang untuk kepentingan politis dan bisnis semata. Narasi “tempat ramah anak” sekedar penyejuk saja, faktanya tak ada tempat yang ramah untuk  anak.

Kelima hal di atas sebenarnya saling berkorelasi sebagai sebab akibat yang tak terpisahkan. Problematika yang dihadapi anak-anak sekarang sejatinya adalah akibat penerapan sistem kapitalisme dan sekulerisme yang memandang kehidupan sebatas puas atau tak puas hari ini. 

Saatnya Kembali pada Solusi Tuntas

Anak-anak telah menjadi korban, saatnya kita segera kembali pada sistem Islam, yaitu sistem dari Allah Swt. Sang pemilik manusia, alam dan kehidupan. Hanya Allah Swt. yang “pastinya” Paling Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

Sistem Islam begitu sempurna, sangat lengkap dan detail mengatur segala lini kehidupan. Manusia wajib merasa terikat dengan syariat. Karena solusi buatan manusia hanya akan menciptakan persoalan baru yang lebih kompleks.

1. Memberikan edukasi Islam secara keseluruhan
• Bukan hanya anak-anak, kita semua perlu meluangkan lebih banyak waktu untuk mengkaji Ilmu Islam. Agar kita semua paham bahwa apapun yang terjadi adalah Qada (ketetapan) Allah Swt.. Dan Allah akan menilai respon kita terhadap ujian yang diberikani. Marah, sedih, kecewa atau bahkan bersyukur dan bersabar, semua akan menjadi catatan amalan setiap manusia. 

• Seberat apapun masalah yang dihadapi, ketika anak paham ada Allah Sang Pengatur kehidupan, maka ia akan selalu bersandar pada kekuatan pondasi akidahnya. Bukannya mengikuti rasa kecewanya yang akan berdampak pada rasa frustasi hingga depresi berat.

2. Tidak memframing negatif ajaran Islam yang sebenarnya, sehingga umat tak takut memperdalam agamanya sendiri. Makin nyata kerusakan generasi saat ini, sebab orang tua lebih suka anaknya bermaksiat daripada taat. Islamopobhia ala barat telah menghipnotis umat agar berIslam yang biasa-biasa saja, sekedar ibadah yang termasuk dalam rukun Islam, tetapi pemikiran dan perbuatan tak boleh islami. Kaum liberal tak akan berhenti berupaya menjauhkan umat dari jalan Allah Swt..

3. Islam mengatur sistem kepemilikan sumber daya alam (SDA) dan pengelolahannya. Jika kekayaan SDA dikelola, didistribusikan dan diatur oleh negara, maka lapangan pekerjaan akan terbentang luas. Para kepala keluarga terjamin mendapatkan pekerjaan sebagai pencari nafkah, sehingga seorang ibu tak perlu bekerja untuk membantu menopang penghasilan keluarga. 

Islam tak melarang ibu bekerja, tetapi hukumnya mubah, jadi bekerjanya seorang ibu hanya untuk mengimplementasi ilmunya saja bukan untuk mencari nafkah. Sebab secara fitrah, seorang ibu adalah ummu wa rabbatul bait, yaitu sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. 

Sungguh, propaganda feminisme dan kesetaraan gender telah berperan dalam merusak generasi kita. Jika seorang ibu selalu ada ketika anak membutuhkannya, maka akan tercipta rasa nyaman pada diri anak. 

Rumah yang tentram dalam suasana keimanan akan mampu menghilangkan rasa lelahnya seorang ayah setelah seharian bekerja, sehingga mampu berinteraksi dengan anak dengan baik.

4. Negara wajib menciptakan suasana keimanan dan ketaatan bersama. Keimanan bukan lagi ranah individu, tetapi juga menjadi kesadaran bersama. Karena manusia adalah makhluk sosial, sekecil apapun kemaksiatan daya penularannya sangat dashyat. Seperti kasus bunuh diri anak, perzinahan dan kekerasan di kalangan pelajar. Wallahualam bisshawab. [Ma]

Baca juga:

0 Comments: