Oleh. Noviana Irawaty
Di dalam kitab Nahjul Fashahah karya Abol Qasim Payandeh, hadis nomor 2014 disebutkan bahwasanya Nabi Muhammad saw. bersabda:
العُلَماءُ مَصابيحُ الأرضِ وخُلَفاءُ الأنبِياءِ ووَرَثَتى ووَرَثَةُ الأنبِياءِ.
"Ulama itu pelita bumi, pengganti para nabi, dan pewarisku serta pewaris para Nabi."
Perkataan Rasulullah telah menuntun umat Islam kepada siapa mereka harus berguru. Menuntut ilmu agama itu harus bersanad, ilmunya menyambung dan ujungnya bersandar kepada Rasulullah saw.
Para ulama bak pelita bumi telah memelihara dan menjadikan Islam sebagai pelita kehidupan bagi umat. Sinar kebaikan dan hikmah terpancar dari karisma dan untaian kata-katanya.
Kita lihat betapa tawadhu dan ikhlasnya seorang Imam Nawawi. Beliau penulis kitab Riyadhus Shalihin yang karyanya banyak dinukil dan diajarkan para ulama kepada umat. Sampai-sampai ulama di zamannya hingga kini menjuluki beliau “Muhiddin” (orang yang menghidupkan agama).
Yang terjadi justru Imam Nawawi sangat marah saat mengetahui dirinya mendapat gelar tersebut. Beliau sangat memahami dampak dari gelar dapat menjadikan seseorang terkena penyakit sombong, amalnya tak ikhlas lagi. Saking tawadhu-nya sampai-sampai beliau berujar akan menuntut orang yang menjuluki dirinya “Muhiddin” di hari akhir kelak. Masyaallah.
Imam Nawawi menjelaskan ikhlas itu menghilangkan pengaruh hamba di dalam perbuatan, hanya menghadirkan Allah saja, bagi dia tidak ada nilainya pengaruh pujian dan celaan. Setelah kondisi ikhlas tercapai barulah seseorang itu bicara taqorub Ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Bagaimana membersihkan hati hingga sampai puncak taqorub itu musyahadah (seakan-akan menyaksikan Allah).
Para ulama membuat tangga amal agar kita berhati-hati dalam beramal. Bagaimana perjalanan mensucikan hati dalam beramal saleh.
Namun kenapa kok ada yang disebut ulama, ajarannya menyesatkan umat ya? Mari kita perhatikan firman Allah di dalam QS. Fatir ayat 28 yang artinya:
“... Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun."
Jika ada ulama su’ (buruk, jahat) berarti yang menancap dalam benaknya hanyalah perkataan Nabi bahwa ulama itu warosarul anbiya. Dia lupa menyematkan firman Allah pada dirinya, yang menyatakan kriteria para ulama itu adalah hamba yang takut pada Allah.
Ulama su’ akan menjual ilmunya demi mengumpulkan pundi-pundi emas, bangga dengan kedudukan, ketenaran, dan banyaknya pengikut. Merasa dirinya punya kedudukan tinggi hadapan Allah, karena ucapan, pakaian, dan gerak-gerik mereka seperti orang alim. Perkataan mereka seolah mengajak manusia memalingkan diri dari dunia, namun perbuatan dan ihwalnya mengajak manusia ke sana.
Maka jika menjumpai ulama seperti ini, jauhkan diri dari mereka. Jika sanggup, nasihati. Jika tak sanggup, doakan. Hidup pada zaman kapitalis sekularisme insyaallah sangat mudah mengenali ulama su’. Mereka berkawan dekat dengan orang-orang kafir, munafik, dan fasik, serta menghalangi penerapan Islam kafah. Wallahualam bissawab. [My]
Baca juga:

0 Comments: