OPINI
Perampasan Ruang dan Konflik Agraria di Sulawesi Tenggara Butuh Solusi Islam
Oleh. Ninning anugrawati,ST.,MT (Pengamat Kebijakan Publik)
Pada tataran lapangan, perampasan ruang hidup senantiasa berkelindan dengan persoalan agraria. Dalam beberapa kasus, tatkala konflik agraria terjadi maka seiring dengan itu perampasan ruang hidup menjadi ancaman. Konflik agraria merupakan konflik yang timbul sebagai akibat dari adanya ketidakserasian terkait sumber-sumber agraria berupa sumber daya alam. Salah satu penyebab konflik agraria adalah penguasaan dan perebutan sumber daya alam. Di setiap wilayah Indonesia tidak lepas dari kasus agraria yang semakin pelik. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 hingga 2022 telah terjadi 2.710 kasus konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia (Kompas.com, 24/09/2023)
Sulawesi Tenggara sendiri telah banyak kita dapati kasus konflik agraria hingga berujung pada perampasan ruang, hal yang wajar sebab di daerah tersebut telah dicanangkan sebagai salah satu basis pembangunan ekonomi nasional sebagaimana yang tertuang dalam Perpres RI No. 48 Tahun 2014 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, Sulawesi Tenggara masuk dalam koridor empat sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perikanan, dan industri pertambangan nasional. Dengan demikian akan sangat banyak lahan yang dibutuhkan untuk proses produksi dan pengolahan industri-industri tersebut yang pastinya akan berimplikasi pada konflik agraria.
Konflik agraria di Sulawesi Tenggara, terutama terjadi antara korporasi pertambangan dan masyarakat, seperti yang terjadi di Wawonii, Konawe Kepulauan di mana sejak masuknya perusahaan penambangan pada tahun 2017 hingga kini telah terjadi perlawanan yang masif dari warga disebabkan hancur dan hilangnya sumber penghidupan rakyat setempat. Namun, perusahaan tersebut tetap eksis, menunjukkan kuatnya dukungan penguasa pada perusahaan tersebut. Bukan saja di Wawonii namun kasus perampasan ruang hidup akibat ulah korporasi pertambangan telah terjadi di setiap daerah di Sulawesi Tenggara, yang hampir setiap wilayahnya kaya akan bahan galian tambang.
Dari data MOMI ESDM tahun 2023 tercatat sebanyak 176 Izin Usaha Pertambangan nikel yang tersebar hampir di seluruh wilayah Sulawesi tenggara dan 38 izin usaha Pertambangan aspal yang terletak di Buton.
Bukan saja industri hulu pertambangan, namun industri hilir yang masuk dalam proyek strategis nasional pun ikut andil dalam perampasan ruang hidup masyarakat setempat di mana smelter bijih nikel raksasa milik China PT Virtue Dragon Nickel Industry telah beroperasi sejak 2014 lalu dengan izin perluasan kawasan seluas 5.500 hektar di Kabupaten Konawe.
Dapat dibayangkan betapa besar pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh industri smelter yang menggunakan PLTU berbahan bakar batubara tersebut yang berdampak pada kesehatan masyarakat. Salah satu penyakit yang paling banyak menimpa warga setempat adalah ISPA. Dari 27 Kecamatan di Kabupaten Konawe, urutan tertinggi kasus penyakit pada tahun 2019 yaitu Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) yang mencapai 75,93 %. (Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe, 2020). Bahkan pekerja yang bekerja pada perusahaan smelter tersebut tak luput dari penyakit. Jadi berkebalikan dengan argumen yang menyatakan bahwa keberadaan proyek strategis tersebut dapat memberikan kesejahteraan, sebab menyerap tenaga kerja lokal.
Selain pertambangan, perusahaan perkebunan kelapa sawit pun telah banyak merambah hutan-hutan yang ada di Sulawesi Tenggara. Banyak diantaranya mengalami konflik dengan penduduk setempat karena tumpang tindih lahan hingga penyerobotan lahan masyarakat oleh perusahaan sawit tersebut. Seperti yang terjadi di UPT Roda, Kecamatan Kolono, Kabupaten Konawe Selatan, masyarakat mengalami ketidak jelasan tempat tinggal untuk hidup sebab tanah tempat pemukiman warga dikuasai oleh salah satu perusahaan kelapa sawit. (sultrademo.co, 16/10/2023)
Konflik Agraria Akibat Kebijakan dan Implementasi Kebijakan Politik Oligarki
Setiap warga negara mempunyai hak untuk menikmati ruang di sekitarnya, selama tidak merugikan orang lain. Namun kita temui banyaknya kasus perampasan ruang hidup masyarakat yang dilakukan oleh para pemilik modal, menjadikan kita bertanya-tanya dimanakah peran Negara sebagai pihak yang mesti melindungi rakyat. Jika kita telusuri sejarah maka ditemui bahwa perampasan ruang hidup tidak lepas dari skema kolonial. Bangsa Eropa sejak dulu telah menempatkan konsep ruang hidup dalam tataran geopolitiknya untuk memperluas daerah jajahannya. Bentuk kolonial tersebut dalam dominasi demokrasi kapitalis saat ini lebih diperhalus melalui prosedur kuasa sektor teritorial dan kapitalis. Kapitalis dengan ketamakannya akan terus berusaha mengakumulasi lebih banyak lagi kapital, sedangkan sektor teritorial akan dilakukan oleh para politisi dan negarawan untuk melanggengkan kuasa atas suatu negara yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan pribadi atas harta kekayaan.
Dalam sistem demokrasi relasi yang terjadi antara para kapitalis dan penguasa bersifat patron client. Para kapitalis sebagai client akan berusaha menguasai ruang dan waktu untuk mendukung penguasaan atas perekonomian dan menyediakan kekayaan bagi penguasa. Sedangkan pihak penguasa sebagai patron akan berkuasa atas teritori dalam menyediakan regulasi yang lebih memudahkan para kapitalis.
Lihat saja bagaimana undang-undang cipta kerja yang dibuat sangat memaksakan kehendak para penguasa di kala sebagian besar rakyat menolak. Dalam undang-undang tersebut banyak kebijakan yang kemudian berkesan memberi karpet merah bagi para investor kapitalis, di antaranya pembebasan dari berbagai beban pajak dan kemudahan dalam pemberian ruang atau tanah untuk aktivitas produksi para kapitalis tersebut, sebagaimana yang termaktub dalam Bab VIII tentang Bank Tanah dalam undang-undang tersebut.
Penguasa dan kapitalis keduanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Jadi wajar jika jeritan rakyat bukan sesuatu yang mesti diperhatikan. Bahkan ketika rakyat berusaha mempertahankan hak-haknya atas tanah maupun ruang hidup, sebagaimana dalam aktivitas pertambangan maka dapat terkena sanksi pidana yang terkategori menghalang-halangi aktivitas pertambangan. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 162 UU No. 3 Tahun 2020 diatur secara tegas bahwa: "Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta Rupiah)".
Oleh karena itu, konflik yang terjadi sesungguhnya bukan sebuah kebetulan atau untuk kepentingan umum secara menyeluruh. Namun merupakan sebuah skema yang telah dirancang sedemikian rupa sesuai dengan perencanaan yang telah digagas demi kepentingan para elit politik dan kapitalis. Represifitas, kriminalisasi hingga penggusuran secara paksa, merupakan praktik-praktik kekuasaan yang telah terakomodasi oleh kepentingan pemodal. Dengan kata lain, perampasan ruang hidup merupakan implikasi dari kepentingan kekuasaan dan akumulasi keuntungan. Sementara penduduk setempat hanya kebagian sebagai korban.
Solusi Islam
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah subhanahu wa ta'ala semata, Kemudian, Allah subhanahu wa ta'ala sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya.
Konsep Islam dalam hal pemilikan tanah berdasar pada konsep tentang hak milik. Cara memperoleh hak milik tanah, dapat diperoleh dengan beragam cara seperti: bekerja, warisan, hibah, hadiah, dan ihyaul mawat (pembukaan lahan baru). Bekerja merupakan cara paling umum dalam mendapatkan hak milik tanah yang berpangkal dari usaha pribadi seseorang. Bekerja dengan pembukaan lahan baru dilakukan dengan cara mengolahnya atau menanaminya, termasuk juga dengan mendirikan bangunan di atasnya. Dengan adanya usaha tersebut berarti seseorang telah menjadikan tanah tersebut menjadi miliknya, seseorang ataupun negara tidak berhak untuk merampas darinya, sebagaimana dalam sebuah hadis disebutkan:
"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah (mati yang telah dihidupkan) tersebut adalah miliknya." (HR. Imam Bukhari dari Umar Bin Khattab)
Syariat Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya. Dari sini diketahui bahwa Syariah Islam mengharuskan pemilik tanah pertanian untuk mengolahnya sehingga tanahnya produktif. Jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa kompensasi. Nabi ï·º bersabda, ”Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari).
Namun jika keberadaan tanah tersebut masih berada dalam pengolahan tuannya maka haram hukumnya merampas tanah tersebut baik itu dilakukan oleh individu, kelompok maupun Negara. Sebagaimana sebuah hadis: "Siapa yang merampas tanah orang lain dengan cara zalim, walaupun hanya sejengkal, maka Allah акап mengalunginya kelak di Hari Kiamat dengan tujuh lapis bumi." (HR Muslim, dikutip dari terjemah Shahih Muslim).
Terlebih jika tanah tersebut dirampas dan diberikan kepada para kapitalis penjajah untuk melakukan aktivitas produksi diatasnya, maka sungguh Syara’ melarang segala bentuk investasi asing di Negeri kuam muslim yang bertujuan untuk menjadi alat penjajahan dan penguasaan non-Muslim terhadap kaum Muslim. Dengan tegas Allah SWT berfirman: Sekali-kali Allah tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin (An-Nisa’:141).
Oleh karena itu, masalah-masalah pertanahan dan perampasan ruang hidup yang terjadi di negeri ini sungguh merupakan buah dari diterapkannya sistem sekuler-kapitalis atas negeri ini. Oleh karena itu negeri ini dan dunia membutuhkan sebuah sistem pemerintahan yang menjalankan segala ketentuan yang bersumber dari Allah Azza wajalla yang lebih memahami akan manusia sebagai makhluknya. Tiada lain sistem tersebut merupakan sistem pemerintahan islam, dalam Islam seorang kepala negara atau Khalifah adalah junnah (perisai) bagi rakyatnya, dia akan melindungi rakyat dari gangguan dan kerusakan-kerusakan dan kezaliman yang berasal dari pihak asing, baik fisiknya, hak-haknya maupun lingkungannya. Dia bahkan tidak akan membiarkan pihak asing merampas sejengkal tanah-tanah rakyat untuk kepentingan asing.
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Alhasil, mari kita bersegera menjalankan semua ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan berusaha mengadakan sebuah institusi yang menjamin hal tersebut.
Wallahu a'lam bi showwab. [My]
0 Comments: