OPINI
Ruang Hidup Menyempit, Harga Rumah Melangit
Oleh. Thaifah Zhahirah (Pendidik dan Pegiat Literasi)
Fenomena berkurangnya ruang hidup berdampak pada kenaikan drastis harga rumah. Salah satu faktor utamanya adalah urbanisasi dimana orang berbondong-bondong untuk pindah ke kota. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan sebanyak 56,7% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan pada 2020. Persentase tersebut diprediksi terus meningkat menjadi 66,6% pada 2035. Sejalan dengan itu, Bank Dunia juga memperkirakan sebanyak 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045. Jumlah itu setara dengan 70% dari total populasi di tanah air. Hal ini membuat semakin banyak warga mencari tempat tinggal di pusat kota, yang menyebabkan tekanan besar pada lahan dan harga tanah.
Permintaan yang tinggi tentu berdampak juga pada harga yang ditawarkan. Seperti data dari Leads Property, untuk Jabodetabek harga rata-rata rumah komersial adalah Rp 2,5 miliar per unit. Bahkan wilayah dengan persebaran rumah subsidi seperti daerah pinggiran Depok, Tangerang, dan Bogor juga sudah tinggi yaitu Depok Rp 1,8 miliar, Tangerang Rp 3,1 miliar, dan Bogor Rp 0,9 miliar (cnbcindonesia.com, 01/12/2023).
Selain karena lahan yang sempit dan terbatas, Direktur Eksekutif Sagara Institute, Piter Abdullah menyebutkan bahwa tingginya harga rumah juga dikarenakan semua harga bahan untuk pembuatan rumah seperti besi, semen, hingga tanah juga terus mengalami kenaikan yang bahkan tidak pernah turun. Hal ini membuat pengembang perumahan juga cenderung menahan harga agar bisa mengejar keuntungan lebih banyak (republika.co.id, 25/10/2023).
Sebenarnya berbondong-bondongnya orang pindah ke kota karena pembangunan banyak berpusat di kota besar. Selain itu harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan mengadu nasib di kota membuat mereka meninggalkan kampung halaman. Namun faktanya, kesulitan hidup terjadi dimanapun, baik di desa maupun di kota. Dan kesulitan itu menyentuh seluruh lini kehidupan, bukan hanya pada aspek pemilikan rumah atau tempat tinggal. Hal ini disebabkan oleh sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini.
Sistem kapitalisme meniscayakan lepasnya negara dari upaya mengurusi urusan rakyat dan memberikan kebebasan pada individu maupun swasta yang memiliki modal untuk mengelola dan menentukan arah kebijakan. Sehingga kepentingan rakyat bukan menjadi fokus utama dari penguasa dalam sistem ini.
Tentu berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan rakyat sebagai fokus utama kerjanya. Yaitu menjadikan kebijakan yang dibuat memang berorientasi pada pelayanan kepada rakyat. Untuk kemaslahatannya. Berkaitan dengan pembangunan misalnya, maka negara akan menetapkan bahwa pembangunan yang dilakukan harus merata. Bukan hanya pada daerah tertentu saja. Kualitasnya pun akan diperhatikan agar sama seluruhnya, baik di desa maupun kota. Sehingga tidak ada lagi orang yang berbondong-bondong pindah ke daerah tertentu untuk mendapatkan akses ekonomi yang lebih baik.
Berkaitan dengan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan, maka negara juga akan memberikan perhatian khusus agar semua rakyat dapat memenuhinya. Dalam hal ini negara tidak akan melimpahkannya pada pihak manapun termasuk swasta. Sehingga tidak akan ada kapitalisasi kepentingan rakyat. Tidak akan ada rakyat yang kesulitan makan karena harga bahan pangan yang melambung, terlantar di rumah sakit karena keterbatasan biaya, termasuk terlunta-lunta tanpa tempat tinggal karena tidak mampu untuk membeli rumah layak karena harga yang mahal.
Negara memenuhi semua kebutuhan tersebut dari sumber daya alam yang langsung dikelola oleh negara. Mekanismenya adalah, hasil pengeloaan kekayaan alam tersebut akan disimpan di Baitul mal bersama dengan pendapatan lainnya seperti zakat dan akan dikeluarkan sesuai dengan keperluan dan peruntukannya.
Jelaslah bahwa pengaturan Islam tidak akan menempatkan rakyat pada kondisi yang sulit, seperti sulitnya mendapat tempat tinggal karena lahan yang sempit membuat harga rumah melangit. Selain karena negara bertanggungjawab penuh, juga karena pengelolaan dan pengaturan yang tepat. [ry].
0 Comments: