Headlines
Loading...

Oleh. Neni Arini

Bismillahirrahmanirrahim, semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi penguat diri untuk senantiasa ikhlas dengan semua ketetapan Allah. Serta menjadikan bukti cinta kepada sosok mulia yang sudah membuat diri berada di titik ini. Peluk sayang dan cinta selalu kepada ibundaku yang ku selalu memanggilnya dengan sebutan Mamah...

Menceritakan kembali masa kecilku sebenarnya membuat hembusan nafas terasa berat rasanya. seperti dibawa untuk mengingat kisah kebersamaan bersama sosok Bapak yang hanya sebentar membersamai kami. Tapi itulah hidup, ada suka ada duka, semua dijadikan pembelajaran yang sangat berarti, dan senantiasa belajar mengolah hati untuk tetap kuat dalam menjalani garis hidup. 

Terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara, memaksaku tumbuh jauh lebih dewasa dan kuat dari usia yang dimiliki. Tentulah aku yang paling tahu dan merasakan perjalanan hidup dari seorang wanita mulia, kuat dan penuh perjuangan. Tak pernah ada kata lelah dalam memperjuangkan kehidupan dua putri yang sangat dicintainya.

Kehadiranku saat itu menjadi pelengkap kebahagiaan bagi kedua orangtua di saat itu, pasangan muda yang mencoba menjalani kehidupan cinta dalam sebuah mahligai rumah tangga. Mamah seneng banget Teh waktu kamu lahir, begitu cerita yang disampaikan oleh Mamah ketika aku sudah cukup umur untuk diajak berkomunikasi dengan baik. Oh ya? Kataku....iya Teh, Bapakmu itu masyaallah sayangnya minta ampun sama kamu, selalu saja dibelikan apa yang menjadi kesukaan Teteh. Bapakmu itu sabar, tidak pernah membentak anak sedikitpun, begitu ucap Mamah di saat itu sambil memperlihatkan senyum bahagianya.  Batinku, tetap saja ada pujian kepada sosok lelaki yang telah meninggalkannya. Lalu akupun berucap, tapi Mah kalau Apa (panggilan terhadap Bapakku) itu baik dan sayang sama aku, kok malah ninggalin kita Mah. Seketika wajah mendung mulai nampak di sela-sela ceritanya, senyum kabahagiaan yang tadi sempet terpancar hilang sudah, seperti harus menceritakan kehidupan masa lalu yang seharusnya sudah tutup buku. Ya kalau Mamah nggak mau cerita juga nggak apa Mah. Akhirnya Mamah cuma mengatakan, yah itulah hidup Teh, tidak ada satu orangpun di dunia ini menginginkan kehidupan yang seperti ini. Ini takdir Mamah, ini garis hidup Mamah yang harus Mamah jalani. Maafkan Mamah kalau membuat Teteh sedih dengan keadaan saat ini. Aku hanya bisa meneteskan air mata dan Mamahpun demikian , kami sama-sama terdiam dalam keheningan malam di saat itu.

Kehidupan masa kecilku begitu sangat indah, dan sepertinya aku tumbuh bahagia layaknya anak-anak di usia SD saat itu, bermain bersama teman dan menjalani kehidupan seperti pada umumnya. Terbayang suasana sekitar rumahku yang sangat agamis, karena kebetulan rumah kami sangat dekat dengan mesjid sehingga dipastikan akupun selalu melaksanakan salat lima waktu secara berjamaah di mesjid. Sampai suatu ketika aku sering menyaksikan pertengkaran antara Mamah dan Apa. Mencoba berpikir ada apa, tapi terbatasnya dalam memahami karena usia juga masih kisaran SD,  sehingga betul-betul tidak mengerti dengan kondisi di saat itu. Layaknya anak kecil, hanya  bermain dan bersekolah yang biasanya dilakukan tanpa pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Yang kulakukan hanyalah senantiasa mengajak adek semata wayangku untuk ikut bermain. Aku sangat menyayanginya, sehingga ketika bermainpun aku harus memastikan adekku tidak terjatuh bahkan menangis. Entah mengapa jiwa kakak sebagai pelindung sudah aku rasakan semenjak kecil dulu.

Singkat cerita, pergilah kami ke kota Manokwari, kota yang tidak pernah kami pijak sebelumnya, pergi bertiga tanpa sosok seorang Bapak yang menemani. Perjalanan yang cukup panjang, memakan waktu satu Minggu untuk sampai di kota Manokwari dan  penuh keterbatasan.

Tibalah di rumah Kakek dan Nenek sebagai orang tua dari Mamah. Sempet merasa tak nyaman, karena pada saat itu lampu listrik pun belum masuk, lantai rumah masih beralaskan tanah, tapi karena ada Mamah di sampingku, ya akhirnya nurut saja. Sehari, seminggu, sebulan berlalu aku mulai menanyakan, Mah Apa kok nggak nyusul kita kesini yah, nanti kita dijemput Apa kan untuk kembali ke Bandung? Tapi bukan jawaban yang kudapatkan, hanya tetesan air mata yang tumpah ruah dari wajah Mamah sambil terus memelukku. Sementara adekku pun tak henti-hentinya menangis memanggil "Apa...Apa..". Karena memang ketika kecil kami cukup dekat dengan Bapak kami. 

Dengan berjalannya waktu akupun mulai memahami bahwa Mamah sudah berpisah dengan Apa. Sedih...tapi mencoba menerima dengan semua ini. 

Bertemu dengan keluarga besar Mamah sungguh sangat menyenangkan bagi kami, sehingga akupun mau saja ketika diajak tinggal bareng Pak Dek. Seneng, karena rumahnya sudah ada lampu dan tv. Jadi sejak saat itulah aku tinggal terpisah dengan Mamah dan Adekku. Tetapi di tiap akhir pekan akupun pasti berkunjung kerumah Mamah, nginep ataupun sebaliknya.

Hidup terus berjalan, aku perlu biaya sekolah, dan adek perlu susu di setiap harinya. Mamah tidak mungkin menggantungkan hidupnya pada pensiunan Kakekku, atau belas kasihan dari Kakak-Kakaknya. Merepotkan orang lain pantang buat Mamah di saat itu, akhirnya bekerjalah Mamah di sebuah rumah makan yang cukup punya nama di kota Manokwari.  Menjalani hari sebagai single parent tidaklah mudah dengan usia Mamah yang masih sangat muda. Biasalah orang, cibiran, pandangan aneh selalu tampak di saat itu. Tapi semua itu tak membuat Mamah berhenti atau putus harapan. Semua hidupnya, Mamah tumpahkan hanya untuk membersamai kami, memastikan kami tidak kekurangan kasih sayang, bisa menjalani kehidupan secara normal dan mendapatkan pendidikan yang layak. Lelah letihnya badan tak dirasakan oleh Mamah, banting tulang bekerja, tak mengenal waktu untuk memenuhi semua kebutuhan kami berdua.  Mamah tidak ingin anak-anaknya terlihat kasihan di depan orang lain, sehingga untuk jajan dan apapun keinginan kami selalu dipenuhinya dengan baik, walaupun mungkin belum bisa membelikannya di hari itu tetapi pasti akan dibelikan atau dipenuhi keinginan kita tersebut.. Itulah seorang ibu yah, selalu membahagiakan anak-anaknya.

Aku terlahir sebagai anak pertama, jadi secara alamiah sifat menjaga, melindungi dan memastikan semua baik-baik saja itu sudah aku rasakan. Diajak untuk lebih cepat dewasa dalam menerima hidup sehingga di saat itu yang ada dalam hati dan pikiran bagaimana tidak membuat Mamah sedih apalagi membuatnya menangis, serta bagaimana caranya supaya adek semata wayang bahagia. Tak jarang ku sisihkan uang jajanku hanya untuk membelikan hadiah kecil buat adek tercinta, sampai ketika lebaran hadirpun aku selalu bilang, Mamah nggak perlu belikan aku baju lebaran, belikan buat Irna aja (panggilan adek tersayang kala itu). Melihat adek semata wayang tersenyum saja sudah cukup membuatku bahagia.

Mamah selalu menyiapkan apa saja, memastikan semua baik-baik saja. Uang jajan pun, yang menjadi kebutuhan kami berdua Mamah penuhi dengan sangat baik, bahkan sudah Mamah siapkan untuk sebulan, SPP sekolah selalu di bayarnya untuk beberapa bulan kedepan. Bilangnya supaya kamu nggak diomongin temen-temen, dan supaya nama Anak Mamah tidak dipanggil lewat speaker kalau putrinya belum membayar SPP. Ya Allah sampai sebegitunya perjuangan Mamah, sampai memastikan hati anaknya tidak terluka oleh orang lain. 

Dan yang buat kagum juga dari Mamah walau aku tinggal bersama Pak Dek, tidak lantas membuat Mamah untuk membiarkan begitu saja. Di setiap pekan ketika datang menemuiku, begitu banyak oleh-oleh yang dibawa, mulai dari beras, gula, atau sembako lainnya bahkan lauk pauk selama seminggu sudah disiapkan. Bilangnya walaupun Teteh tinggal di Ua (panggilan teruntuk Pak Dek) tapi hidup Teteh harus Mamah yang nanggung. Mamah nggak mau jadi ibu yang nggak ngurusin anaknya. Katanya Mamah cukup sudah dengan membuat Teteh sedih karena harus berpisah dengan Apa, Mamah tidak mau mengulangi kesalahan dengan tidak membesarkan Teteh dengan baik. Ya Allah Mamah.

Jenjang SMP, SMA terlewati dengan baik. Dan alhamdulillah di beri kesempatan untuk kuliah walaupun di kota Manokwari. Pesen Mamah saat itu sekolah yang baik Teh, walau Mamah nggak pinter tapi Teteh Sama Irna harus pinter, harus sekolah dengan baik. Buat Mamah bangga ya Teh. Sedih rasanya ketika itu, ditengah keterbatasan ekonomi tapi mampu berjuang untuk memberikan kami pendidikan terbaik. Terimakasih banyak ya Mah, semoga Allah memuliakan Mamah selalu.

Tanpa terasa selesai sudah kuliahku, sebagai bentuk bahagiaku, aku kabari bahwa aku bisa lulus dan sebentar lagi akan di wisuda. Hari yang kutunggu-tunggu, hari yang membahagiakan karena  akan naik ke podium dan disaksikan oleh Mamah. Tapi harapan tak sesuai kenyataan, Mamah menolak untuk hadir di hari wisudaku, dengan alasan merasa tak pantas untuk hadir di acara itu. Mamah  tunggu dirumah ya Teh, nanti Teteh akan ditemani Uak sebagai orang tua Teteh, teman-teman akan melihat Teteh melihat mereka sebagai orang tua Teteh yang lengkap.Ya Allah, sedih sekali disaat itu, aku menolaknya, bujukanku tak berhasil melunakkan hatinya. Tidak seperti ini Mah yang aku inginkan. Bukan pengorbanan seperti ini yang aku inginkan. Walaupun aku ingin memiliki orang tua lengkap tapi bukan berarti Mamah harus berkorban dengan cara seperti ini Mah. Bukan dengan menggantikan posisi Mamah di hari bahagiaku Mah, Tangisan tak membuat goyah keinginan Mamah, akhirnya wisudaku pun dihadiri oleh Bapak, Adek dan istrinya. Ya Allah sesek rasanya dada ini ketika mengingat moment itu kembali. Seremonial acara wisuda pun berakhir. Akupun pulang dengan perasaan yang berkecamuk. Sesampainya di depan rumah, Mamah menyambutku dengan senyuman penuh cinta sambil mengucapkan selamat ya sayang anak Mamah yang baik hati, semoga selalu sukses dan bahagia disepanjang hidup Teteh. Akupun langsung memeluknya, menciumya, bersujud di kakinya. Ya Allah inilah sosok malaikat tak bersayap yang selalu berkorban untuk kebahagiaan putri-putrinya.

Setahun kemudian  akupun diajak Om untuk kembali ke Bandung dan bekerja di sana. Awalnya Mamah tidak mengijinkan tetapi karena keinginan diri merubah nasib, akhirnya diantarlah aku menuju kota Bandung.

Ternyata kedatangnku kembali ke kota Bandung diketahui oleh Bapak. Beliau pun meluncur ke tempat Om tempat kami tinggal. Pertemuan yang mengharu biru antara anak dan Bapak, cukup menguras air mata. Tetapi tak bisa dipungkiri tubuh tidak bisa menyatu selayaknya seorang Bapak bersama anaknya. Mungkin karena sudah terlalu lama tidak bertemu. Tibalah waktu Mamah untuk kembali ke Manokwari karena Adekku harus kembali sekolah. Perpisahan itupun harus terjadi dan itu sangat menyakitkan, Ya Allah hati seperti teriris-iris ketika harus melambaikan tangan perpisahan bersama kedua orang yang sangat aku cintai.

Tak enak rasanya hidup di Bandung tanpa Mamah, seperti separuh jiwa hilang. Tapi karena ini sudah menjadi konsekuensi pilihan, berarti harus menjalani dengan sebaik mungkin, dan justru tidak boleh memberikan beban pikiran kepada Mamah.

Hari-hari disibukkan dengan bekerja, dan mulai menikmati rutinitas hari-hariku. Kutabung penghasilanku  di setiap bulannya, Karena sudah mulai berpikir kalau suatu saat Adekku datang ke Bandung,  aku harus punya bekal untuk kita hidup berdua. Tak lupa juga kukirimkan hadiah-hadiah sederhana teruntuk Mamah dan Adek tercintaku.

Kelulusan Adekku pun tiba, dan sesuai keinginan yang sudah direncanakan akan kuliah di Bandung. Perpisahan bersama Mamahpun terjadi kembali. Ya Allah rasanya sedih sekali ketika harus meninggalkan Mamah sendirian di Manokwari walau banyak keluarga besar disana.

Alhamdulillah Adekku keterima di salah satu kampus ternama di kota Bandung, Ya Allah terimakasih atas kemudahan ini. Menjalani hidup berdua, suka duka bersama, dengan rutinitas yang berbeda. Aku berangkat bekerja, Adek pun berangkat ke kampus. Alhamdulillah dari hasil kerjaku aku mampu menguliahkannya, memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya. Bahagia rasanya bisa meringankan beban Mamah dalam membesarkan kami. Sehingga Mamah pun bisa tenang berada di kota Manokwari tanpa kehadiran kami. Walau rindu itu selalu ada, tetapi kami berusaha menjalani keadaan ini dengan ikhlas.

Tibalah hari bahagia itu tiba, Adekku dinyatakan lulus dan akan segera mengikuti prosesi wisuda. Mamah sangat senang sekali mendengar kelulusan adekku, tapi kejadian pun terulang Mamah tidak bisa hadir di acara prosesi tersebut, sama seperti aku dulu, walau dengan alasan cerita yang berbeda.

Lega sudah tugas dalam menyelesaikan pendidikan adekku, ada kepuasan yang didapat. Melihat hidup rukun bersama suaminya merupakan kebahagiaan tersendiri buatku.

Cita-citaku dari dulu, ingin tinggal berdekatan dengan Mamah dan Adekku, impianku sederhana, hanya ingin melihat secara langsung kehidupan orang-orang yang aku cintai. Walau sangat alot untuk mengajak Mamah tinggal di Sidoarjo tetapi akhirnya berhasil atas bujuk rayu berdua. Alhamdulillah punya pasangan hidup yang sangat baik dan pengertian, ikut berjuang dalam kepindahan Mamah dan Adekku ke Sidoarjo.

Tidak ada niatan lain dari diri, namanya manusia pasti akan ada yang namanya sakit. Jadi ingin memastikan bahwa semua akan baik-baik saja.

Berjuang memastikan Mamah dalam keadaan sehat selalu, dan ketika sakitpun ijinkan tangan ini untuk merawatmu, walau mungkin hanya dengan secangkir teh panas yang membuat tubuh Mamah jauh lebih baik. Membawanya ke dokter untuk memastikan kondisinya baik-baik saja.

Sudah saatnya Mamah istirahat, menikmati hari tua bersama anak dan cucu. Ijinkanlah kami untuk menggantikan posisi Mamah di kala dulu, walau kami tahu apa yang kami lakukan tak mampu membalas semua perjuangan yang telah diberi.

Doa di setiap sujudku , ingin senantiasa Mamah berada dalam keadaan sehat walfiat, hidup bahagia dalam berkah Allah.

Allahumma fighfirlii wa liwaa lidhayya warham humaa kamaa rabbayaa nii shaghiraa.” 

“Ya Allah, ampunilah semua dosa-dosaku dan dosa-dosa kedua orang tuaku, serta berbelaskasihlah kepada mereka berdua seperti mereka berbelas kasih kepada diriku di waktu aku kecil.”

Mamah,
Terimakasih telah membesarkanku dengan sangat luar biasa, perjuangan tanpa batas sehingga mengajarkan aku pada sebuah kata keikhlasan.

Mamah,
Terimakasih sudah mengajarkan bahwa hidup tak selalu sesuai keinginan kita, ada takdir disitu, dan sangat yakin apapun yang Allah tetapkan itulah yang terbaik.

Terimakasih telah menjadikanku orang yang kuat, dewasa lebih cepat dari usia yang dimiliki, dan menjadikanku sosok yang kuat.

Terimakasih telah mengajarkanku kasih sayang tanpa batas, mengajarkan bagaimana menjadi pelindung bagi Mamah dan Irna.
Walau kita cuma bertiga, terlihat tidak sempurna tanpa sosok seorang Bapak, tapi kami tidak merasa menjadikan kehilangan itu menjadi salah satu penghalang dalam meraih masa depan.

Terimakasih atas peluh keringat yang selalu Mamah rasakan dalam membesarkan kami. Semoga peluh yang terteteskan menjadi jalan menuju surgaNya.

Terimakasih Mah, untuk tetap mengajarkan kami bagaimana bakti kepada sosok seorang Bapak, walau sudah lama kehilangan sosok itu, tapi tidak ada kebencian yang kau tanamkan.

Terimakasih Apa, seorang Bapak  yang selamanya akan ada menjadi bagian hidupku. Walau raga tak bertemu, tapi selalu aku hadirkan dalam doaku, terimakasih atas kesempatan memberikan kenangan masa kecil walaupun hanya sebentar.

Mamah, 
Tak cukup rangkaian kata ini untuk mengungkapkan  betapa kumencintaimu, menyayangimu, dan ingin selalu menjadi bagian dalam menciptakan kebahagiaan yang terukir.
Jangan khawatir Mah, aku akan selalu menjaga adekku satu-satunya. Akan selalu ingat pesan Mamah, bahwa aku harus menjadi pelindung di sepanjang hidupnya.

Tetaplah tersenyum Mah, bersama hari-hari yang indah bersama kami, dikelilingi anak, cucu dan menantu yang sangat mencintai Mamah. Apapun akan kami buat kebahagiaan untuk menghilangkan luka hati yang pernah singgah di hidup Mamah.

Ya Allah Yaa Rabbi,
Jagalah Mamah hamba, berilah kesehatan dan keberkahan di sepanjang hidupnya. Ijinkan diri ini untuk dapat menemani di sisa usianya...bahagiakanlah Mamah Ya Allah..
[Ys]

Baca juga:

0 Comments: