Headlines
Loading...
Oleh. Rina Yosida

Innalillahi wainna ilaihi raajiun. Seorang siswa SD di Bekasi yang berinisial FAA (13 tahun) korban bullying yang kakinya diamputasi, telah meninggal dunia pada Kamis (7/12) pukul 02.25 WIB di Rumah Sakit Hermina, Bekasi, akibat sesak nafas karena terdapat cairan di paru-paru.

Walaupun menurut ibu korban, Diana, usai sang anak di-sleding oleh temannya, FAA sempat diolok-olok oleh beberapa temannya, tetapi pihak sekolah sempat membantah adanya perundungan yang terjadi Februari 2023 tersebut. Meski begitu, pihak sekolah tetap harus mengikuti proses hukum yang telah dilayangkan orang tua FAA ke Polres Metro Bekasi terkait dugaan bullying.

Karena kondisinya yang tak kunjung sembuh, berbagai pemeriksaan pun dilakukan. Dokter mendiagnosa FAA menderita kanker tulang stadium 4 yang sudah menyebar ke paru-paru. Terlepas dari penyakit yang diderita korban, kasus ini tetaplah merupakan suatu kejahatan di dunia pendidikan.

Jika FAA cedera pada kaki, kasus lain dugaan perundungan atau bullying yang dialami seorang siswa kelas 3 SD oleh teman sekolahnya di salah satu sekolah swasta di Sukabumi, Jawa Barat, menyebabkan korban patah tulang pada tangan. Kasusnya telah dilaporkan pihak keluarga korban ke Polres Sukabumi Kota pada Senin (16/11/2023) dan masih dalam tahap penyelidikan (Kompas.com).

Selain itu, tak kalah memprihatinkan, bullying yang dilakukan oleh 15 orang siswa SMA kelas XI dan XII terhadap 12 adik kelasnya secara brutal. Para korban adalah siswa kelas X SMAN 26 Jakarta, dianiaya secara bergiliran oleh para pelaku. Akibatnya, ada yang mengalami patah tulang rusuk, hingga alat kelamin yang terluka. Peristiwa itu terjadi di rumah salah satu pelaku berinisial D di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (1/12/2023) sore sekitar pukul 16.00 WIB. (Tribunnews.com)

Kasus Bullying Makin Tak Terkendali

Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim,  berdasarkan hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2021 dan 2022 atau Rapor Pendidikan 2022 dan 2023, sebanyak 24,4% dari peserta didik mengalami berbagai jenis perundungan (bullying). Selain itu, hingga saat ini anak-anak juga masih rentan menjadi korban perundungan fisik, verbal, relasional, ataupun secara daring (cyberbullying). (Kompas.com, 20/7/2023) 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan, dari Januari sampai Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak. Dari jumlah tersebut,  kasus bullying sebanyak 87. (kompas.com, 10/10/2023)

Aris Adi Leksono, Komisioner KPAI, mengungkapkan fenomena bullying seperti gunung es, karena hanya kasus yang viral saja yang menjadi sorotan, sementara kasus di beberapa daerah lain belum terungkap dan kasusnya cenderung meningkat tiap bulan. Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa dunia pendidikan mengalami darurat kekerasan.

Untuk itulah KPAI menyampaikan beberapa masukan untuk pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Antara lain:
1. Kembali mengoptimalkan tri pusat pendidikan yaitu keluarga, masyarakat dan satuan pendidikan.
2. Percepatan implementasi peraturan menteri (Permen) Dikbudresitek Nomor 46 Tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan.
3. Agar satuan pendidikan dari tingkat SD, SMP dan SMA melakukan reformulasi struktur kurikulum dengan menempatkan penanaman kompetensi sikap spiritual dan sosial lebih diutamakan. 

Pendidikan Karakter Tanpa Pondasi Kuat

Sebelumnya, kita bahas sedikit tentang pendidikan karakter. Konsep karakter dapat mengekspresikan berbagai atribut, termasuk kehadiran atau kurangnya kebajikan seperti empati, keberanian, ketabahan, kejujuran, dan kesetiaan (Wikipediaonline).

Apalah, artinya konsep karakter sebatas sifat-sifat baik berdasarkan penilaian manusia yang pastinya memiliki persepsi yang berbeda bagi tiap-tiap individu. Bukankah hal ini makin menimbulkan konflik dalam hubungan antar generasi, dimana keinginan mempertahankan diri (baqa’) masih mendominasi pemikirannya?

Berbagai teori mengenai pendidikan karakter yang berusaha untuk diterapkan, hanyalah sebuah solusi pragmatis dalam mengatasi konflik yang terjadi pada generasi saat ini, jika tidak didasarkan pada posisinya sebagai hamba ciptaan Allah yang memiliki keterbatasan. Baik sebagai korban, maupun sebagai pelaku bullying. 

Dibentuk menjadi pribadi yang tangguh dalam hal-hal duniawi, membuat mereka tidak memiliki dasar kuat dalam berpikir dan berbuat, hanya sebatas memahami benar dan salah menurut pendapatnya sendiri. Tak merasa berdosa ketika mendzalimi orang lain, karena tak melibatkan Allah Swt.  dalam setiap perbuatannya.

Public Figure sebagai Panutan dan Tontonan sebagai Tuntunan

Perilaku para penguasa yang saling berebut kekuasaan dan membuat kebijakan demi kepentingan kelompoknya, merupakan contoh buruk yang langsung dilihat dari usia anak-anak sampai dewasa. Sekelompok orang menyudutkan kelompok atau individu lain, sama halnya dengan aktivitas bullying walaupun tidak secara fisik. Akibatnya generasi muda merasa sah-sah saja melakukan hal yang sama.  

Tontonan unfaedah seperti film, sinetron dan konten-konten yang menunjukkan kekerasan dan bullying, bebas ditampilkan dengan alasan karya seni dan kebebasan berekspresi. Padahal, faktanya hanyalah karena bernilai bisnis. Sistem kapitalisme tak melihat kerusakan moral sebagai masalah selama menghasilkan materi.

Islam Solusi Tuntas

Islam merupakan panduan hidup paling sempurna di berbagai lini kehidupan. Begitupun dalam sistem pendidikan yang berasas akidah Islam. Bahkan, dibutuhkan seorang Ibu berideologi Islam agar semangat mengenalkan buah hatinya dengan akidah Islam sejak dalam kandungan. 

Masa remaja merupakan proses mencari jati diri, dengan pendidikan berasaskan akidah Islam, mereka akan memahami keberadaannya sebagai manusia yang lemah dan tak berdaya. Sehingga, ketika berada pada kondisi apapun, mereka akan menyandarkan segala sesuatunya pada Allah Swt..

Sebab manusia hanya bisa mengindera apa yang dirasakan saat ini, sehingga ketika emosi memuncak atau ketika timbul rasa butuh pengakuan, maka melakukan bullying bisa dengan mudah dilakukan tanpa merasa berdosa.  Bahkan pemikiran mereka tak bisa menjangkau  apa dampak yang timbul akibat perbuatannya.

Ketiga hal yang diusulkan KPAI seperti tersebut di atas, juga harus disertai cara berpikir yang sangat mendasar sebagai hamba Allah Swt. Karena terjadinya suatu konflik bukan semata akibat adanya suatu kesalahan dalam hubungan antar sesama manusia saja. Ada Allah Swt. yang bukan hanya Pencipta, tapi juga Pengatur segala kehidupan.

Maha kuasa berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Buruj [89]: 16)

Generasi Butuh Edukasi Islam Kafah Secara Intensif

Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)

Jika dalam Al-Qur’an tercantum demikian, apa yang menghalangi kita untuk tidak menerapkan Islam secara menyeluruh? Maka bukan hanya generasi, tapi semua umat muslim wajib belajar Islam secara kafah dan menerapkan dalam setiap detik kehidupannya.  

Tetapi faktanya dengan paham sekulerisme, kurikulum ilmu agama hanya sebatas tema ibadah, toleransi dan akhlak semata. Padahal ilmu Islam sangatlah luas, tak akan pernah habis sekalipun kita mengkajinya seumur hidup. 

Untuk itulah ilmu Islam secara menyeluruh harus diberikan pada generasi muslim secara intensif, agar kemampuan intelektualnya selalu bersandar pada kemampuan spiritual. Sehingga dengan memahaminya, diharapkan mampu “menyelamatkannya” dari perbuatan keji seperti kasus bullying yang sedang marak, sebab mereka meyakini kelak akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt..

Wacana untuk mengatur struktur kurikulum dengan menempatkan penanaman kompetensi sikap spiritual, sekedar solusi yang mengandung narasi tak bermakna. Sebab hal spiritual bukan sekedar ibadah mahdoh saja (shalat, puasa, zakat, haji dll) seperti yang selama ini dipahami umat, tetapi meliputi seluruh pemikiran dan perbuatan wajib terikat dengan syariat.

Peran Negara

Pemerintah Indonesia telah mengadakan kerjasama dengan UNICEF Indonesia membentuk program “Roots”, yaitu sebuah program pencegahan perundungan berbasis sekolah yang telah telah dikembangkan oleh UNICEF Indonesia sejak tahun 2017 bersama Pemerintah Indonesia, akademisi, serta praktisi pendidikan dan perlindungan anak (ditsmp.kemdikbud.go.id).

Tetapi program kerjasama ini nyatanya tak mampu mengurangi kasus bullying, sebaliknya bahkan semakin meningkat jumlah kasusnya. 

Jadi, memang berpikir secara Islam dan menerapkan hukum Islam sebagai efek jera, merupakan solusi paling tepat dalam mengurangi atau bahkan menjauhkan generasi dari perilaku kejam. 

Jika segala upaya telah dilakukan pemerintah tak mampu mengatasi kasus bullying, maka bukan hanya fokus memperbaiki perilaku generasi, tetapi juga memperbaiki semua faktor yang mempengaruhinya. Hanya Islam yang mampu mendeteksinya. Wallahualam bisshawab.
[Ma]

Baca juga:

0 Comments: