Story Telling
Visi dan Kedisiplinan, Membentuk Kekuatan
Oleh. Netty al Kayyisa
“Didiklah anak sesuai zamannya.”
Perkataan sahabat Ali bin Sbi Thalib ini baru aku dengar akhir-akhir ini. Saat sudah memiliki putra putri dan ‘ngaji’ parenting sebagai bekal menjadi seorang ibu. Jauh sebelumnya ternyata ibu sudah menerapkannya.
Ibu, begitu aku memanggil wanita super yang berperan banyak membentuk kekuatan diri ini. Ibu barangkali sudah memprediksi, saat dewasa nanti aku akan menghadapi dunia yang seperti apa. Dunia yang mengarah kepada perjuangan dan kembalinya Islam menjadi satu peradaban. Sehingga diperlukan visi ke depan, kedisiplinan tingkat tinggi sebagai bentuk dari ketaatan dan kekuatan.
Ibu memilki visi yang jauh ke depan. Anak-anaknya harus lebih baik dari dirinya. Maka sejak kecil kami dititipkan untuk mengaji di musala di gang sebelah. Setiap sore suara khas ibu akan membahana mengingatkan untuk segera berangkat ‘ngaji’. Menjemput kami sehabis isya karena jalan menuju rumah gelap gulita, melewati kebun-kebun kosong, pohon bambu yang bagi kami saat itu sangat mengerikan. Apalagi saat musim hujan. Biasalah sudah dapat informasi yang tidak benar. Bahwa di tempat-tempat gelap seperti itu tempat hantu bersemayam. Hantu? Ya itulah maklumat yang bersemayam.
Ibu menginginkan kami sekolah yang tinggi. Hingga pesannya, “Sekolah sing bener, sing dhuwur, gak usah pacaran-pacaran dhisik”. Beliau saat itu bisa jadi tidak tahu hukum pergaulan dalam Islam. Tapi berkat wejangan yang selalu diulang-ulang inilah, aku selamat dari kata pacaran. Selamat dari salah satu dosa karena ketidaktahuan. Satu hal yang dianggap biasa pada zaman dulu hingga sekarang.
Saat aku mulai berjilbab, ibu lagi-lagi terluka. Tatapan sedihnya mengiringi satu ketaatan yang sudah kuputuskan. Karena lagi-lagi jilbab yang kukenakan adalah jilbab bekas pemberian kakak tingkat. Sama dengan saat awal aku memutuskan menutup aurat saya SMA. Saat itu beliau juga merasa bersalah barangkali karena tidak bisa membelikan seragam baru. Beliau bertanya, “Kamu ga pa-pa ta pakai baju bekas ngunu?”
Dengan bangga aku yakinkan dirinya, tak ada masalah dengan baju bekas, asal kewajiban bisa tertunaikan. Dan ketika berjilbab, sempat ada penentangan dari bapak dengan alasan ribet, ‘ga iso sat set sat set’. Gak kayak Netty yang dulu. Ibu pun kembali merasa sedih. Menegur perlahan, kenapa tak menuruti kata bapak. Dengan sabar aku yakinkan, “Ibu percaya sama Netty kan?”
“Iya, ibu percaya. Netty gak tahu aneh-aneh. Gak tahu neko-neko.”
“Nah demikian juga sekarang. Cukup percaya dengan apa yang aku lakukan. Karena sebenarnya ini kulakukan bukan hanya orientasi dunia, tetapi akhirat juga. Aku ingin masuk surga dengan ibu dan bapak. Dan beginilah cara aku mewujudkannya. Jadi anak salihah taat syariat.”
Tak perlu muluk-muluk menyampaikan dalil. Ada dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab ayat 59. Karena bisa jadi justru tak menembus hati. Karena beliau sedang dikuasai emosi. Suatu saat nanti akan tetap tersampaikan dengan kondisi yang lebih memungkinkan.
Ibu terdiam dan menangis cukup dalam. Setelah itu tak ada lagi protes atau keberatan. Beliau mendukung seluruh keputusanku. Meski untuk sampai pada satu pemikiran dan bergabung menjadi pejuang Islam, mungkin butuh banyak waktu untuk meyakinkan. Tapi cukup dengan dukungan dan kepercayaan, memudahkan aku melaksanakan kewajiban. Semoga menjadi jariah bagi beliau.
Ibu mendidik kami kedisiplinan. Tak boleh telat masuk sekolah. Pulang harus tepat waktu. Gak boleh bolos. Gak boleh mangkir. PR harus dikerjakan. Jadi benar-benar merasa bersalah, saat coba-coba dan terbujuk rayuan teman saat SMA. Bolos berjemaah satu kelas. Karena rasa bersalah itu, ‘direwangi’ hujan-hujanan aku pulang. Nangis mencium kaki bapak saat itu. Sambil cerita habis bolos kemarin dan hari ini disidang wali kelas. Disuruh minta maaf pada orang tua karena telah mengkhianati kepercayaannya. Disuruh sekolah yang benar malah bolos. Reaksi bapak? Tetap kalem. Diam dan justru terlihat mengerikan. Sementara ibu, dengan gaya khas dan omelannya yang panjang. Ha ha ha. Untung bapak mengkode agar tak marah berlebihan. Jelas tersirat kekecewaan yang mendalam di sorot mata beliau. Sorot yang selalu kuingat dan tak pernah kulupa. Hingga tak pernah mengulang hal yang serupa setelahnya. Bapak ibu, maafkan anakmu.
Ibu, mendidik kami dengan keras. Barangkali itu yang terbersit pada anak-anak zaman sekarang. Beliau sangat memperhatikan kekuatan fisik kami. Sejak kecil aku dan kakak kenyang dengan cekokan jamu-jamu semacam kunir, kencur, dan semisalnya. Saat kecil sering kali melihat mbak yang harus digendong di depan dan dijungkir kepala ke bawah hanya untuk dijejali jamu yang enggan dia minum. Sebagai adik, aku pun bersorak senang. Hehe kapok! Minum jamu aja enggan. Minum jamu aja pakai drama. Dicekokilah dia. Ha ha ha. Dan saat aku haid pertama, lagi-lagi harus minum jamu segelas dengan tekstur dan rasa yang ... ‘Subhanallah!’ Tak bisa tergambarkan. Dan lagi-lagi mbak lolos tidak meminumnya. Hah curang!
Ibu juga selalu memastikan kami sarapan sebelum berangkat sekolah. Bahkan hingga aku SMA ketika berangkat sekolah harus jam 5 pagi, tak jarang terburu-buru karena bangun kesiangan, ibu masih sempat-sempatnya menyiapkan sarapan. Bayangkan bangun jam berapa ibu untuk menyiapkan sarapan. Tak hanya itu, beliau juga menyuapiku agar tidak terlambat dan ditinggal bis sekolah. Masyaallah!
Ibu, juga sangat menjaga kebersihan. Dari beliau aku belajar. Makan tidak boleh bersama. Tak boleh berbagi alat makan. Jika ada setitik noda saja pada makanan atau minuman kami, maka tak boleh dimakan atau diminum. Gelas bekas orang lain gak boleh dipakai. Dan banyak lagi aturan kebersihan yang harus kami terapkan. Pantas saja, waktu pertama aku mengontrak bersama teman-teman ketika kuliah, saat makan bakso bersama, ada seorang teman baru pulang kuliah, langsung nyamperin dan nimbrung minta bakso tanpa izin. Apa yang aku lakukan? Taruh sendok, ‘wis panganen!’ Pergi tanpa kata lagi. Huehehe segitu membekas apa yang ibu ajarkan.
Juga pernah melihat kakak yang mau minum gelasnya diputer dulu karena pinggiran gelas berembun. Tidak bening. Yang sepertinya habis dipakai seseorang dan tidak dicuci. Dan apa yang terjadi? Tak jadilah dia memakai gelas itu. He he.
Itulah hasil didikan ibu untuk membentuk kekuatan fisik kami. Memperhatikan asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh. Dan makan teratur. Yang hari ini bisa kami petik hasilnya. Setelah mengetahui tujuan hidup manusia, aku yang sudah terbiasa dididik dengan visi dari ibu, menjadi lebih mudah mengarahkan visi hidup ke depannya. Yang sudah terbiasa disiplin, hanya tinggal meluruskan niat bahwa ini salah satu akhlak seorang muslim. Bukan karena semata ada keuntungan di sana. Dan sejak awal sudah terdidik untuk kuat dan bertahan dalam setiap masalah, lebih mudah menghadapi kerasnya hidup hari ini yang terkukung sistem kepitalisme. Lebih mudah menentukan sikap. Kuat dalam setiap badai yang menerpa. Dengan satu keyakinan, baik buruk sudah Allah tentukan. Tinggal kita meningkatkan keimanan.
Terima kasih ibu, engkau yang telah mempersiapkan aku hingga jadi seperti aku hari ini. Engkau yang mengawali fondasi bangunan diri. Semoga jerih payahmu, berbuah surga di akhirat kelak. Semoga apa yang engkau lakukan terhadap aku dan kakak-kakakku, menjadi jariah yang tak akan terputus. Aku sangat bersyukur menjadi salah satu putrimu. Meski setiap manusia tak ada yang sempurna. Banyak salah dan kekurangan, bagiku engkaulah satu inspirasi. Yang membuatku kuat hingga saat ini. Aku bersyukur memilikimu ibu. Aku bersyukur dengan hasil kerja kerasmu. Aku bersyukur untuk setiap waktu yang telah kita lalui bersama. Karena syukurku kepadamu, merupakan syukurku kepada ‘Rabbku’.
وَوَصَّيۡنَا الۡاِنۡسٰنَ بِوَالِدَيۡهِۚ حَمَلَتۡهُ اُمُّهٗ وَهۡنًا عَلٰى وَهۡنٍ وَّفِصٰلُهٗ فِىۡ عَامَيۡنِ اَنِ اشۡكُرۡ لِىۡ وَلِـوَالِدَيۡكَؕ اِلَىَّ الۡمَصِيۡرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS. Luqman: 14)
[Ni]
0 Comments: