Headlines
Loading...

Oleh. Lia Widayanti 

Pagi itu aku membuka mata, seperti pagi-pagi biasanya Ibu sudah tidak ada. Kami keempat anaknya sudah tahu Ibu pergi bekerja pagi-pagi sekali dan akan pulang malam nanti mungkin setelah kami tidur. Dalam benakku yang masih kanak-kanak, meski tidak mengerti apa itu impitan ekonomi, yang kutahu waktu bersama Ibu sungguh sangat sulit didapat. Bapak dan Ibu pontang-panting untuk menghidupi keempat anaknya 30 tahun silam.

Kadang aku berpikir, mengapa beliau berdua tidak mengambil jalan yang lebih mudah. Semisal dengan tidak menyekolahkan kami. Bukankah justru akan lebih ringan bagi beliau sehingga beliau tidak harus bekerja keras pontang-panting seperti ini setiap hari.

Sekitar jam 9 malam Ibu pulang. Dengan wajah kelelahan yang bisa ditebak. Bagaimana tidak lelah, beliau bekerja seharian penuh di beberapa tempat sekaligus. Ibu akan pulang dengan membawa sedikit belanjaan atau sisa makanan dari tempat ia bekerja untuk makan kami besok. Sesekali beliau tersenyum. Ah entah apa yang beliau pikirkan. Ingin rasanya menjadi salah satu sebab yang membuat ibu tersenyum bahagia. 

Kami anak-anaknya sebenarnya rindu ingin memiliki waktu bersama Ibu, tapi kami sadar begitu beliau pulang ke rumah pasti beliau sangat lelah. Dan kami saling memahami dalam diam bahwa ini waktu bagi Ibu untuk istirahat sebab dini hari nanti beliau akan bangun untuk mengadu pada Tuhannya dan mendoakan kami anak-anak yang dicintainya.

Aku anak perempuan sendiri dari empat bersaudara, mungkin karena itu aku lebih dekat kepada Ibu. Kadang saking rindunya aku pada beliau, aku hanya pura-pura tidur. Dan berpura-pura bangun saat beliau datang hanya untuk mendapatkan belaian tangan hangatnya di kepalaku. Beliau akan menidurkanku sambil mengelus-elus rambutku hingga aku tertidur. Jika beruntung aku bisa mendapatkan cerita sebelum tidur dari Ibu. Cerita yang lebih banyak berisi kenangan dan cita-cita beliau di masa kecilnya yang tidak bisa digapai. Air matanya menetes dan aku pun ikut menangis. Ibu bilang aku harus semangat belajar agar tidak bernasib seperti Ibu. Dan kami pun bertangisan dalam pelukan. Oh Ibu sungguh berat bebanmu

Aku ingat saat di SMP. Subhanallah Allah menakdirkanku berada di sekolah favorit, di kelas unggulan pula. Alhamdulillah aku bisa masuk sekolah ini dari beasiswa prestasi dan beasiswa keluarga tidak mampu sekaligus. Di setiap tahun akan ada momen di mana semua orang tua murid berkumpul yaitu saat penerimaan raport kenaikan kelas. Iri rasanya saat setiap anak didampingi orang tuanya dan aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak bisa seperti mereka. Orang tuaku tidak akan datang bukan karena mereka sengaja, aku tahu kalau mereka akan datang ke sekolah bagaimanapun kondisinya. Namun aku sengaja tidak memberitahu mereka kalau hari itu adalah hari penerimaan rapor yang seharusnya mereka hadiri. Bukannya aku malu memiliki orang tua seperti mereka. Sama sekali tidak. Aku hanya tidak mau merepotkan mereka, mengganggu jam sibuk mereka terlebih menempatkan mereka pada posisi yang tidak nyaman bagi mereka misal saat wali murid lain bertanya kepada mereka apa pekerjaan mereka. 

Aku adalah anak dari seorang buruh tani dan pembantu serabutan. Aku tidak malu mengakuinya. Malah aku bersyukur menjadi anak mereka. Orang tua hebat yang selalu mendidik kami untuk bercita-cita besar. Tidak ada kehidupan mewah yang mereka berikan. Hanya cinta tulus yang meluap bagai lautan tak bertepi. Aku terima takdirku dengan rida. Aku yakin Allah Maha Penyayang dan Dia pasti juga menyayangiku. Terima kasih ya Allah, begitu bisikku dalam hati. 

Ibuku adalah sosok yang unggul. Dengan pemikirannya cemerlang, harusnya beliau bisa menjadi seorang yang hebat. Namun apa daya, ketika takdir menjadikannya seorang yatim piatu di usia 9 tahun dengan dua orang adik maka putus sekolah dan terpaksa bekerja adalah satu-satunya yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup. Beliau tidak bisa mewujudkan cita-citanya, dan hal itulah yang menjadi alasan terbesarnya untuk menyekolahkan kami anak-anaknya setinggi mungkin. 

Ibu mewariskan cita-cita itu kepada kami. Sungguh cerdas beliau. Beliau mendidik anak-anaknya sebagai perpanjangan cita-cita dan investasi akhiratnya. Ibu selalu berkata, “Ibu tidak mewariskan harta pada kalian, Ibu hanya akan mewariskan ilmu. Optimalkan kesempatan belajar yang ada dan raihlah ilmu yang bermanfaat sebanyak mungkin. Tidak usah berpikir membalas kebaikan Bapak dan Ibu. Cukuplah jadi anak saleh saleha, itu sudah cukup." Terdiam kami mendengarnya. Hal yang mungkin tidak terpikirkan untuk seseorang lulusan sekolah dasar bisa berkata seperti itu.

Satu kalimat itu begitu menancap di hati kami, membuat kami tidak menginginkan harta lebih dari ilmu. Dan dari sinilah kami belajar sesuatu.
Dalam QS. An Nisa ayat 36, Allah Swt. berfirman:

Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua ibu bapak."

“Keridaan Rabb (Allah) ada pada keridaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua." (HR. Tirmidzi).

Dari belajar kami mengetahui kunci emas untuk sukses adalah berbakti kepada orang tua. Keridaan Allah ada dalam keridaan orang tua. Masyaallah terima kasih Bu sudah menunjuki kami jalan ini. Semoga Allah membalas tiap kebaikanmu dengan surga-Nya tanpa hisab. Aamiin 🤲🏻

Terakhir yang ingin kusampaikan padamu Bu. Semoga engkau sempat membaca tulisan ini.
Bahwa sesungguhnya engkaulah inspirasiku. Motivator kami.
Ibu sungguh aku bangga padamu. 
Aku bangga pada semua perjuanganmu. 
Aku bangga menjadi perpanjangan cita-citamu. Terlebih aku bangga menjadi anakmu. 
Engkaulah wonder woman-ku
Terima kasih sudah menjadi ibuku. [An]

Baca juga:

0 Comments: