Headlines
Loading...
 
Oleh. Dewi Mujiasih

Senja meredup perlahan, kala langit masih membiru. Kawanan burung terbang bagai rasi bintang di siang hari. Burung-burung berterbangan hinggap dari pohon satu ke pohon lain. Kuntum bunga di taman  bermekaran penuh warna. Gemercik air dari kolam hias menambah suasana syahdu.

Taman menjadi tempat favorit keluarga Ainun. Tempat untuk melepas penat dan bersenda gurau. Tangan dingin ibu Ainun menyulap lahan kosong menjadi taman yang indah. Taman bunga yang asri penuh dengan tanaman dan bunga. Merawat tanaman dan bunga merupakan healing tersendiri bagi ibu Ainun. Sore itu ibu Ainun hanya menyiram tanaman saja, sedang ayahnya memberi makan ikan hias. Semua pekerjaan telah usai, ayah dan ibu Ainun duduk bersantai di gazebo. Kak Ramdan ikut nimbrung setelah pulang dari tempat bertugas. 

"Capek, Nak?" sapa ibu pada Ramdan.

"Nggak, Bu. Kalau sudah ketemu Ibu capeknya hilang," jawab Ramdan sambil merebahkan tubuh di gazebo.

"Kamu itu, Nak. Sudah salat, kan?"

"Sudah, Bu. Tadi di kantor."

"Ya sudah ..., duduk sini! Adikmu sedang membuat lotis."

Ramdan bangun dari posisinya lalu duduk di samping ibunya. 

"Nak, sebentar lagi kamu akan memulai hidup baru. Menikah bukan hanya tentang hidup berdua saja, akan tetapi kamu akan memangku amanah yang besar di hadapan Allah. Setiap orang itu akan dimintai pertanggungjawaban," kata ibu memulai obrolan serius di sore itu pada Ramdan.

"Iya, Bu. Jika Ramdan menikah, Ramdan akan hidup terpisah dengan ibu." Suara Ramdan tercekat, sedih. Ia merasa berat hidup tidak serumah lagi dengan ibunya.

Ramdan menyandarkan kepalanya pada kaki ibunya. Ibu kemudian mengelus kepalanya perlahan. Meskipun berbadan besar tapi Ramadan ini adalah "anak mama' yang masih suka bermanja-manja dengan ibunya. Sementara itu, di dapur terlihat Ainun sedang memotong buah untuk lotisan. 

"Ingat, Nak, pernikahan adalah mitsaqan ghalizan atau perjanjian yang kuat, bersaksi dengan nama Allah. Cinta kepada pasangan kita, tidak boleh melebihi cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya atau bahkan melanggar aturan Allah. Kita harus memilah dan memilih mana yang prioritas dan sesuai aturan-Nya. Cinta yang membenarkan segala hal bukan cinta tapi nafsu. Karena cinta yang benar hanya disandarkan pada aturan Allah. Saat rumah tangga dibangun atas dasar takwa kepada Allah, maka pernikahan akan indah."

Ibu mengelus kembali kepala Ramdan dengan kasih sayang. Ramdan mengakui dalam hatinya jika ibunya mempunyai kasih sayang yang tak terbatas. Ibu adalah sosok istimewa di mata keluarga. Ibu memilih tinggal di rumah untuk mendidik dan menemani anak-anaknya.

Di balik kesuksesan suami dan anak-anaknya ada peran ibu di belakangnya. Ibu yang tak pernah mengeluh meskipun badai datang menerpa. Ibu yang selalu menyerahkan segala permasalahannya pada Rabbul Izzati, sang penggenggam kehidupan.

"Ibu, maafkan Ramdan selama ini banyak merepotkan ibu."

"Nggak, Nak. Ibu tidak merasa direpotkan. Semua itu adalah kasih sayang ibu."

"Ibu maafkan Ramdan belum bisa membalas jasa-jasa ibu."

"Bagi ibu, kamu menjadi anak salih itu sudah cukup, Nak!"

"Nilainya cukup saja ini, Bu. Ramdan nggak dapat bintang dong ..." canda Ramdan.

"Sana, ambil bulpen. Nanti Ibu buatkan bintang lima di tanganmu." Ibunya Ainun membalas candaan anaknya.

"Kak, sudahlah, Kak. Sudah, nggak usah nangis ya. Cabainya hanya dua jadi nggak pedes. Sudah ... nggak usah nangis lagi, ya?"
Ainun menepuk pundak kakaknya.

"Ini sedang tertawa bukan menangis, Nun."  Ramdan bersungut-sungut.

"Oh tertawa, ya. Kukira menangis," jawab Ainun berpura-pura polos. Ramdan nyengir.

Ainun meraih tangan kakaknya, lalu menggambar bintang yang besar memenuhi punggung tangan kakaknya.

"Ainun!"

"Lha, katanya ingin dapat bintang lima. Ini baru satu." Ramdan menarik tangannya.

"Kotorlah. Ibu, Ainun nakal!" Ramdan memeluk ibunya manja.

"POV, anak Mama bersandar pada kaki ibu."
Ainun pura-pura merekam.

"Ini sedang nyari sesuatu." Tangan Ramdan meraba-raba lantai.

"Nyari apa?" Ibu mengangkat kakinya.

"Ini ... lagi nyari surga, Bu!" celetuk Ramdan sambil tersenyum.

"Bisa aja kamu." Jawab ibu, memukul manja Ramdan.

"Sudah ... ayo lotisannya segera dimakan, keburu dingin nanti." celetukan ayahnya Ainun membuat semua tertawa.

"Ya memang dingin lah, Yah. Masak lotis dipanasin."

"Ya, barangkali kamu bereksperimen membuat lotis goreng atau bakar gitu." Elak Ayah Ainun. Semua kembali tertawa. 

Kehangatan keluarga yang selalu dirindukan semua orang. Saat semua berkumpul, suasana menjadi ramai. Kehadiran mobil Avanza putih melaju perlahan di depan rumah Ainun, membuat Ramdan salah tingkah. 

"Kak! Bukannya itu mobil keluarganya Mbak Selfi ya?"

"Apa?" Kak Ramdan melotot. Ia lalu tersedak, terbatuk-batuk sampai matanya merah. 

"Ini minumnya, Kak." Ainun menahan tawa.  Ramdan segera meminum airnya.

"Alhamdulillah." Raut kelegaan tergambar jelas di wajah Ramdan.

"Kak buruan, temuin keluarganya Mbak Selfi!" Goda Ainun pada kakaknya.

"Iya, tapi pakaianku?"

"Sana, Kak. Buruan ganti baju." Tanpa pikir panjang Ramdan langsung berlari secepat kilat ke kamarnya. 

"Bu, Ainun membereskan ini dulu ya."

"Iya sana, biar Ayah yang membuka pintunya." jawab ayah.

"Terus sekalian kamu bikin teh untuk tamunya." Ibu menyuruh Ainun.

"Baik, Bu." Ainun bergegas ke dapur. Memanaskan air untuk membuat cem-ceman, teh khas Jawa Tengah. 

Yang datang ternyata bude dan pakdenya Ainun.  Kakaknya menghampiri Ainun dengan wajah muram, ingat  kejahilan adiknya.

"Sengaja kamu, Nun. Iseng sama kakak. Tak kira beneran keluarganya Selfi." Kata Ramdan pada adiknya, sedangkan Ainun masih tertawa.

Ketukan pintu dan ucapan salam terdengar mengiringi suara salam. Ayah dan ibu Ainun bergegas melangkah ke ruang tamu. Ayah lalu membukakan pintu.

"Wa'alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh," jawab ayah dan ibu Ainun.

"Masuk Mas, Mbak." kata ibu Ainun.

"Ini oleh-oleh dari Jakarta kemarin."

"Ya Allah banyak banget, Mbak."
Ibu menerima oleh-oleh dari Bude. Karena terlalu banyak, ibu memanggil Ainun untuk membantunya.

"Ainun, sini, Nak. Bude dan Pakdemu ke sini."

"Iya, Bu." jawab Ainun sambil bergegas ke ruang tamu. Ia kemudian salim pada Bude dan Pakdenya. Bude dan Pakdenya membawa beberapa kardus dan terlihat sedang kerepotan. Ainun sigap langsung membantu budenya dan membawa oleh-olehnya ke dapur. 

"Cah ayu, pintere," Kata Bude.
("Anak cantik, pintarnya.")v

"Mana calon mantennya ini?"
Pandangan bude menyapu sekitar rumah mencari  Ramdan.

"Bentar Bude masih dandan." jawab Ainun tertawa kecil. 

Kemudian Ramdan menuju ruang tengah, di mana semua keluarga berkumpul.

"Eh Cah bagus, wes gede arep nikah to?"
("Eh anak tampan, sudah besar mau nikah ya?")

"Njih Bude, Insyaallah."
("Iya Bude.")

"Alhamdulillah. Kapan nikahe?"
(Kapan nikahnya?)

"Insyaallah lima bulan lagi, Bude."

"Alhamdulillah. Bude ikut senang."

Ainun membawa teh panas dan beberapa camilan ke ruang tamu.

"Tehnya harum banget, Nduk. Bude di jakarta kangen teh khas Jawa tengahnya."
Budenya menyeruput teh lalu membawa tehnya ke taman. Teh yang bikin candu kenikmatannya. Sebuah nada dering  terdengar dari hp Bude Ainun. 

"Yola, sudah ... Bude mampir sebentar saja karena mau nganter pesenan, sudah ditunggu."

"Kesusu to Mbak Yu."
( "Buru-buru to Mbak Yu.")

"Iya, sudah ditunggu orang."

"Nuwun lho, Mbak Yu."
( "Terima kasih lho, Mbak Yu." )

"Iyo, podo-podo."
("Iya, sama-sama." )

Usai mengucap salam, Bude dan Pakde undur diri.

"Cah Bagus. Dandan rapi banget mau ketemu siapa ya?" Ainun menirukan logat Budenya.

"Apa!" tukas Kak Ramdan sewot.

"Ekscited banget yang mau ketemu Mbak Selfi."
Wajah Kak Ramdan memerah. Ia beringsut ke kamarnya lagi.

"Ainun, kamu suka banget menggoda kakakmu," tegur ibu.

Ainun membereskan barang-barang yang dibawa budenya. Ia kemudian mengetuk kamar kakaknya. Kamar yang penuh dengan prestasi akademik. Rak penuh dengan buku. Ainun masuk mendapati kakaknya sedang asyik membaca buku.

"Kak, mau ngantar Ainun nggak?"

"Nggak." jawab Ramdan datar sambil terus  membaca.

"Please! Masak anak cewek pergi malam nggak dianterin sih, Kak?"

"Makanya anak cewek nggak usah pergi malam-malam. Baik-baik di rumah, belajar!"

"Beneran kakak nggak mau nganter Ainun?"

"Nggak!"

"Ya sudah kalo nggak mau. Ainun minta anterin ayah saja. Ngaji di rumah Mbak Selfi."

"Apa?"

"Ya sudah kalo Kakak nggak mau nganterin Ainun, padahal Ainun hanya mau ke rumah Mbak Selfi."

"Ya sudah kalo kamu memaksa, Kakak anterin."

"Nggak usah repot Kak. Ayah saja."

"Tadi maksa-maksa suruh nganterin. Lagian sudah malam kasian Ayah kalau kena udara malam"

"Ih, Ayah buat alasan padahal dia sendiri pengen ketemu Mbak Selfi."

Kak Ramdan hanya tersenyum.

"Jam berapa?"

"Setelah magrib Kak."

"Oke."

Ainun memakai kerudung dan jilbabnya segera meluncur ke rumah Mbak Selfi. Dalam diam terlihat kakaknya riang tak terhingga. Ia penasaran dengan tingkah kakaknya nanti. Seperempat menit mobil meluncur sampai ke pelataran rumah Mbak Selfi. Dari kejauhan Mbak Selfi sedang mengantarkan pulang teman-temannya sampai di pagar.

Mbak-Mbak melontarkan salam pada Ainun termasuk Mbak Selfi. Ainun kompak menjawab salam bersama Ramdan.

Ainun melirik ke kakaknya yang sedang gugup, keringat dingin menetes. Ainun  menahan tawa melihat tingkah kakaknya. Kakaknya tetap berusaha bersikap kalem menyembunyikan perasaannya. Ia menyapa  Selfi dengan tersenyum lalu menundukkan pandangan. Padahal ada badai di hatinya. Mbak Selfi juga membalas tersenyum sambil merunduk. Ramdan pun permisi pulang.

"Ya Allah, begitu indahnya cinta dalam bingkai Islam." Ainun bersenandung dalam batinnya. [My]

Baca juga:

0 Comments: