Headlines
Loading...
Oleh. Rina Herlina (Pegiat Literasi)

Munculnya narasi-narasi terkait kebangkitan Khilafah seakan menjadi momok menakutkan bagi sebagian kalangan. Bahkan ada yang menyebut sebagai sesuatu yang tidak rasional. Mirisnya, mereka yang beranggapan demikian merupakan orang-orang berpendidikan dan punya kapasitas ditengah-tengah masyarakat.

Seperti pernyataan Zuly Qodir, seorang sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang mengungkapkan pandangannya terkait narasi kebangkitan Khilafah. Menurutnya, narasi yang muncul seiring dengan peristiwa 100 tahun runtuhnya kekhilafahan Utsmaniyah ini dinilai sebagai perspektif yang sempit dan tidak rasional.(www.beritasatu.com, 14/1/2024)

Menurut pandangan berbagai kalangan yang seolah ketakutan tatkala mendengar narasi-narasi terkait khilafah, yang menciptakan narasi kebangkitan khilafah menurut mereka terkesan sempit dan tidak rasional. Meskipun sebagian kecil masyarakat Indonesia terlibat dalam narasi tersebut, hal itu menurut mereka tidak terlepas dari agenda politik suatu kelompok tertentu. Bahkan, mereka juga meyakini mayoritas masyarakat tidak mendukung klaim kembalinya khilafah. Mereka menolak percaya terhadap sentimen kebangkitan khilafah karena merujuk pada klaim serupa yang tidak terealisasi pada Pemilu 2004, 2009, dan 2014. Mereka menilai bahwa angka-angka yang sering dikaitkan dengan angka 4 sering dimistifikasi serta dianggap sebagai bagian dari propaganda politik tanpa pijakan pada realitas.

Narasi Kebangkitan Khilafah menjadi Topik yang Menarik

Meskipun sejauh ini narasi kebangkitan khilafah menjadi topik menarik, mereka meyakini bahwa pengaruhnya terhadap Pemilu 2024 secara keseluruhan tidak signifikan. Ini karena menurut mereka setiap partai politik memiliki agenda masing-masing, dan masyarakat cenderung lebih fokus pada hal-hal konkret yang terkait dengan masa depan Indonesia. Masyarakat Indonesia dinilai memiliki ketahanan terhadap narasi kebangkitan khilafah karena lebih mempercayai organisasi sosial keagamaan mainstream seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Istilah 'organisasi Islam non-mainstream' digunakan untuk sebutan kelompok yang mengusung ideologi bertentangan dengan ideologi negara.

Dalam menghadapi narasi propaganda tersebut, mereka menekankan pentingnya memberikan contoh dan bukti yang faktual.  . Meski mereka pun menyadari bahwa Indonesia dengan Pancasila dan UUD 1945nya memiliki banyak kekurangan, namun mereka bersikeras bahwa kehadiran ideologi alternatif tidak menjamin kehidupan yang lebih baik.

Demokrasi dalam Pandangan Islam

Sejatinya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi merupakan paham buatan manusia sekaligus produk yang lahir dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, demokrasi modern yang lahir dari paham Barat tersebut, merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Sementara itu, Islam 
menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan dan diembuskan Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.

Sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama yang terjadi hingga saat ini, demokrasi pun kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sudah mengabaikan keberadaan agama. Bahkan, parlemen yang merupakan salah satu pilar demokrasi juga mengambil dan menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama. Oleh karenanya, Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang jelas-jelas kehilangan basis moral dan spiritual.

Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sedangkan dalam sistem Islam kekuasaan tersebut mutlak wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanya sekedar menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Allah sang pencipta serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.

Jadi, Allah berposisi sebagai legislator (asy-Syari') sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya. Sementara, demokrasi Barat berpedoman pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman: "Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (al-A’râf: 54).

Sementara khilafah, menurut sebagian ulama definisinya adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia. Dengan kata lain, yaitu kepemimpinan umum bagi umat Islam yang bersifat menyeluruh di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum Allah (syarak) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. (Doktor Mahmud al-Khalidy, Qawaaid Nidzam al-Hukm fi al-Islam, hal. 229-230, Maktabah al-Muhtasib, Taqiyyudin al-Nabhani, al-Khilafah, hal. 2, dll).

Dengan definisi tersebut, khilafah merupakan bentuk negara yang unik di mana baik sebelum maupun sesudahnya tidak terdapat bentuk negara seperti khilafah, bahkan orang Arab sekalipun sama sekali tidak mengenal bentuk negara lain seperti khilafah. Keunikan khilafah sesungguhnya terletak pada tiga karakternya: Pertama, kepemimpinan bagi seluruh kaum muslim di dunia. Kedua, untuk menegakkan hukum-hukum (syariat) Islam, dan ketiga, untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia (dengan jihad sebagai metode pelindungnya).

Dan dengan definisi khilafah diatas, masuknya bentuk negara lain, seperti teokrasi, kerajaan, dan demokrasi dengan segala macamnya, menjadi tercegah, karena tidak ada satu pun yang memiliki tiga karakter tersebut. Wallahuallam. [My]

Baca juga:

0 Comments: