OPINI
Efek Kapitalisme Utang Indonesia Kian Mengkhawatirkan
Oleh. Rina Herlina
Rakyat Indonesia dibuat tidak berdaya dengan lonjakan utang pemerintah yang tembus Rp8.144 triliun pada akhir 2023. Jumlah tersebut naik Rp103,68 triliun dibandingkan bulan sebelumnya yang senilai Rp 8.041,01 triliun. Dengan adanya tambahan utang tersebut, membuat rasio utang pemerintah diakhir 2023 menjadi 38,59 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), naik dari bulan sebelumnya yang berada di level 38,11 persen (finance.detik.com 19/01/2024).
Lonjakan utang pemerintah dari tahun ke tahun selalu menjadi isu yang hangat dan perlu pembahasan yang mendalam. Beberapa pihak berpandangan, bahwa jumlah utang pemerintah saat ini sudah pada tahap mengkhawatirkan dan membuat sebagian pihak ragu akan kemampuan pemerintah untuk membayarnya. Sekedar informasi, pemerintahan Joko Widodo tercatat sebagai rezim yang paling doyan utang dengan capaian nominal utang publik atau pemerintah pusat jumbo mencapai Rp7.879 triliun per Maret 2023.
Jumlah tersebut naik 3,2 kali lipat sejak awal memerintah pada 2014. Utang pemerintah sendiri terdiri dari dua jenis yaitu berbentuk surat berharga negara (SBN) dan pinjaman. Sedangkan sampai Desember 2023 mayoritas utang pemerintah masih didominasi oleh instrumen SBN yakni 88,16 persen dan sisanya pinjaman 11,84 persen.
Cara Pandang Ekonomi Kapitalis
Dari cara pandang ekonomi kapitalis, besarnya utang pemerintah menjadi perdebatan yang sengit, ada sebagian ekonom yang memandang bahwa utang publik adalah kutukan. Sementara itu, sebagian yang lain menilai sebagai satu hal yang menguntungkan selama tidak berlebihan. Dampak peningkatan utang tersebut jelas bisa menyebabkan beban yang tidak semestinya pada generasi mendatang. Dengan kebijakan fiskalnya, secara logis pemerintah tentu akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan peningkatan pajak.
Dan mereduksi subsidi untuk rakyat biasanya lebih dipilih untuk menekan pengeluaran. Jadi, lengkaplah penderitaan rakyat yang negaranya mengalami defisit anggaran yaitu pajak yang tinggi dan minimnya jaminan penghidupan dari pemerintah karena subsidi akan ditekan sekecil mungkin supaya tidak membebani anggaran negara.
Jika sebelumnya pemerintah telah menggulirkan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), maka menurut cara pandang ekonomi kapitalis, BPJS jelas akan menguntungkan dan meringankan beban pemerintah. Meskipun dalam praktiknya rakyat akan dibebani asuransi sosial semisal untuk menjamin kesehatan masing-masing orang, yang terpenting adalah pemerintah terlepas dari pembiayaan biaya perawatan kesehatan masyarakat. Pada saat pembiayaan perawatan kesehatan turun, pengeluaran pemerintah pada program-program ini pun akan turun.
Pemerintah biasanya memiliki beberapa alternatif kebijakan yang akan ditempuh jika mengalami defisit anggaran diantaranya yaitu: efisiensi pengeluaran pemerintah, meminjam uang (utang), mencetak uang dan dalam jangka panjang akan menaikkan pajak. Akan tetapi efisiensi pengeluaran pemerintah justru sangat jarang dijadikan sebagai kebijakan utama. Justru kebanyakan pemerintah lebih memilih dengan menambah utang dan menaikkan pajak dalam jangka panjang, serta mencetak uang sebagai jalan terakhir.
Pertanyaan besarpun muncul, dari adanya permasalahan pelik tersebut diatas dan warisan utang yang cukup tinggi, bagaimana Islam memberikan solusi terhadap permasalahan bangsa terkait dengan utang serta bagaimana membangun perekonomian negara?
Islam Memandang
Jika dilihat dari perspektif Islam, secara umum ada dua pandangan terhadap pinjaman atau utang luar negeri. Pandangan pertama adalah hutang luar negeri diperbolehkan asalkan bersistemkan external financing, karena dalam sistemnya sesuai syariah dan bertujuan untuk saling membantu. Kedua, seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, dan lain-lain. Sehingga bisa disimpulkan dalam pandangan pertama bahwa utang luar negeri diperbolehkan dengan alasan untuk saling membantu. Adapun untuk pandangan kedua utang luar negeri secara tegas dilarang, karena khususnya di zaman sekarang di mana mayoritas negara kreditur adalah bukan negara Islam.
Sehingga akan terjadi riba didalam utang luar negeri tersebut, padahal sudah dijelaskan secara gamblang bahwa utang ataupun hal transaksi ekonomi yang terdapat riba didalamnya adalah haram. Seperti firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 257: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Ketiga, jika dilihat ulang data diatas, tidak bisa dimungkiri bahwa negara Indonesia banyak melakukan pinjaman utang luar negeri kepada negara kreditur yang di luar Islam, sehingga sudah pasti mengandung riba. Maka otomatis, utang luar negeri yang terjadi saat ini karena banyak negara non Islam yang menjadi krediturnya, menjadikan utang luar negeri yang dijalankan tersebut jatuh pada keharaman.
Karena sistem utang dalam sistem kapitalis menerapkan praktik riba bahkan dijadikan alat penjajahan oleh negara-negara kapitalis kepada negara-negara berkembang, maka solusi total dalam menyelesaikan hal tersebut haruslah penyelesaian secara kenegaraan oleh negara yang berdaulat dan mandiri. Dan Islam menjawab semuanya, karena Islam mengenal sistem negara yaitu Khil4f4h Islamiyah.
Khil4f4h adalah negara yang berdasarkan kepada kedaulatan milik syarak dan kekuasaan ada pada ummat, sehingga diharapkan mampu keluar dari penjajahan asing dan secara mandiri mengelola semua potensi ekonomi yang ada di negeri-negeri Islam. Untuk mengatasi krisis utang di negeri-negeri muslim saat ini bisa dilakukan dengan cara: Tidak membayar bunga utang yang dibebankan karena termasuk riba dan pembayaran utang tanpa membayar bunga dari bunga (riba) utang dan tanggung jawab membayar utang tersebut dibebankan kepada para pejabat pemerintahan yang terlibat semasa pengambilan utang. Hal ini dikarenakan mereka menjadi kaya raya semasa pengambilan kebijakan tersebut sehingga perlu dihitung ulang rasionalitas pendapatan mereka. Wallahuallam. [Ma]
0 Comments: