OPINI
Gegap Gempita Pergantian Tahun, Identitas Muslim Tergadaikan
Oleh. Rina Yosidha
Akibat sistem kehidupan yang menjauhkan umat Islam dari agamanya, maka syariat tak lagi menjadi standar berpikir dan berbuat. Bahkan karena tidak adanya penjagaan terhadap akidah Islam secara berjamaah, membuat umat terombang-ambing dan dengan sukarela mengikuti budaya lain sekalipun harus menggadaikan identitasnya sebagai muslim.
Setiap menjelang pergantian tahun Masehi selalu dipersiapkan segala sesuatunya sedemikian rupa sehingga menjadi suatu momen perayaan dengan acara bakar-bakar, pesta, konser dan kembang api yang nilai nominalnya pun fantastis. Para pebinis juga tak mau ketinggalan memanfaatkan momen ini untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Seperti, promo, diskon, ataupun paket acara dinner dan menginap untuk pasangan walaupun bukan suami istri.
Jalanan pun diprediksi akan macet jelang malam pergantian tahun. Bahkan beberapa tempat di Jakarta telah disiapkan untuk perayaan pesta kembang api, seperti dilansir dalam CNN Indonesia, antara lain Monas, Ancol, Bunderan HI, Gelora Bung Karno, Kawasan SCBD, PIK 2, TMII, Kota Tua, JIExpo Kemayoran.
Sementara itu di Yogyakarta, Car free night juga diberlakukan di Malioboro yakni sejak pukul 18.00 WIB pada 31 Desember 2023 hingga 01.00 WIB pada 1 Januari 2024. Artinya, kendaraan sudah tidak boleh melintas sepanjang kawasan Malioboro di waktu tersebut. Pengunjung mulai memadati kawasan tersebut sejak pukul 16.00. (Republika online, 31 Desember 2023)
Surabaya pun tak mau ketinggalan menyelenggarakan perayaan tahun baru, antara lain di G-Walk, jalan Tunjungan, Jembatan Suramadu, Tugu Pahlawan, Taman Bungkul, Jembatan Suroboyo, pantai Kenjeran, Surabaya North Quay dan kawasan Grahadi. (Detik Jatim, 28 Desember 2023)
Bahkan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya mencatat produksi sampah dalam momen malam pergantian Tahun Baru 2024 di Kota Pahlawan mencapai sekitar 15 ton. Sebenarnya Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sudah menyediakan tempat sampah di titik-titik tersebut. Namun, tak mampu menampung karena jumlah pengunjung yang membludak. (Suara Surabaya.net, 1 Januari 2024).
Tak Adakah Empati terhadap Saudara Se-akidah?
Perayaan tahun baru yang bukan bagian dari ajaran Islam nyatanya telah mampu menutup rasa empati terhadap peristiwa kekejaman yang menimpa saudara-saudara muslim di G4za dan kondisi pengungsi Rohingya di Aceh.
Sejak perlawanan H4mas terhadap penjajahan Zi0nis pada 8 Oktober 2023 yang lalu, balasan Zi0nis sangat membabi buta dan tidak manusiawi. Warga sipil, terutama wanita dan anak-anak, menjadi target utama penyerangan. Apakah ini upaya genosida terhadap penduduk asli G4za khususnya, dan P4lestina pada umumnya? Entahlah…
Pemukiman dibombardir, memaksa warga mengungsi, bahkan dalam perjalanan menuju pengungsian, warga pun diserang dan dibunuh. Belum lagi, para sandera yang disiksa dengan sangat kejam. Beda perlakuan H4mas terhadap para tawanan perangnya, mereka dijamin kesehatan dan kebutuhannya. Berbagai bukti berupa foto-foto dan video telah menunjukkan keshalihan pasukan Islam saat berperang dan memperlakukan tawanan.
Selama tiga bulan perang, angka terakhir menunjukkan 21.672 warga P4lestina yang meninggal atau lebih dari 21 kali lipat jumlah korban di Israel. Ada lebih dari 56.000 warga P4lestina yang mengalami luka. Ditambah korban yang belum terdeteksi karena kemungkinan masih berada di bawah reruntuhan bangunan akibat keterbatasan sumber daya. (CNBC Indonesia).
Sementara itu di Indonesia, menurut berita di BBC News Indonesia, insiden pemindahan paksa oleh ratusan mahasiswa terhadap pengungsi Rohingya di Banda Aceh menyisakan trauma dan ketakutan bagi korban.
Rohimatun, 27 tahun, seorang pengungsi wanita yang juga orang tua tunggal dengan tiga anak, menyampaikan,
“Saat mahasiswa datang beramai-ramai menyerbu kami, melempar semua pakaian, tas, dan segala macam ke atas kami, padahal di dalam tas itu ada Al-Qur’an, ada Iqra’, tapi itu dicampakkan ke atas kami. Kami sangat ketakutan dan kesakitan, sehingga menangis. Karena bersaudara seiman, saya tidak menyangka mereka memperlakukan kami dengan tidak manusiawi seperti itu.“
Ia terpisah dari suaminya saat mengungsi dari Myanmar menuju Bangladesh, ketika terjadi pembantaian besar-besaran tahun 2017. Saat ia berada di Bangladesh, terdengar kabar bahwa suaminya telah meninggal akibat tertembak.
Aksi pemindahan paksa yang dilakukan segerombolan mahasiswa tersebut mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk warga sipil. Tanpa data dan fakta di lapangan, para mahasiswa tersebut menghasilkan argumen yang tidak jelas dalam mengintimidasi pengungsi.
“Alasan-alasan yang diutarakan mahasiswa umumnya merujuk dari media sosial yang memuat ujaran kebencian dan berita bohong terhadap Rohingya”, kata Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna.
Perayaan Tahun Baru Masehi
Dalam masyarakat sekuler, perayaan tahun baru Masehi dianggap sudah membudaya, sehingga merasa tak ada salahnya jika sekedar ikut meramaikan. Padahal kebiasaan ini memiliki akar sejarah yang berhubungan dengan agama Nasrani, bahkan biasanya diisi juga dengan perayaan dan upacara keagamaan. Akibat sejarah yang dikaburkan, atau memang manusianya sendiri yang tak mau mencari tahu, maka mereka pun rela mencampur-adukkan akidah Islam dengan yang lain.
Tak ada kebaikan dari perayaan malam pergantian tahun selain kemudharatan. Dibalik gemerlapnya pesta kembang api, sisi gelap pun menanti. Perzinahan dan bentuk kemaksiatan lainnya akan selalu menjadi bagian dari momen ini. Seperti di awal tahun 2023 yang lalu, marak permohonan dispensasi nikah dan kasus aborsi.
Akibat sistem kehidupan yang menjauhkan umat Islam dari agamanya, maka syariat tak lagi menjadi standar berpikir dan berbuat. Bahkan karena tidak adanya penjagaan terhadap akidah Islam secara berjamaah, membuat umat terombang-ambing dalam hingar bingar kehidupan duniawi dan dengan sukarela mengikuti budaya lain, sekalipun harus menggadaikan identitasnya sebagai muslim.
“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) berada di atas syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jasiyah [45]: 18)
Selain larut dalam perayaan umat lain, krisis identitas sebagai muslim ini juga telah menjauhkan umat dari rasa ukhuwah terhadap saudara se-akidah. Padahal sejatinya umat Islam seluruh dunia bagaikan satu tubuh, jika satu bagian tubuh merasakan sakit maka bagian tubuh yang lain ikut merasakan.
Semangat menyuarakan pembelaan terhadap P4lestina dan pemboikotan terhadap produk-produk Zi0nis yang mulai mengendor, menunjukkan betapa mudahnya umat Islam saat ini dipalingkan dari kemantapan hati untuk membela saudara sesama muslim. Ditambahi lagi Meta yang terus membungkam siapa pun yang berani mengabarkan tentang kebiadaban Zi0nis.
Terlena dengan fun, food dan fashion yang merupakan dari propaganda barat, memang telah mampu menghipnotis umat Islam untuk tidak lagi memahami perannya sebagai kuntum khaira umma yaitu sebagai umat terbaik di antara seluruh umat manusia, seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an surah Al-Imran [3]: 110.
Suasana Keimanan Berjamaah
Saatnya Islam bukan hanya sebagai identitas keagamaan dan syarat administrasi semata, tapi juga sebagai panduan hidup yang dijadikan sumber seluruh kebijakan negara. Sehingga akan tercipta suasana keimanan dan ketaatan bersama.
Sebab jika hanya mengandalkan ketahanan dalam keluarga, akan sangat sulit berpegang teguh pada syariat di antara kehidupan yang semakin liberal. Apalagi negara justru memfasilitasi kegiatan perayaan pergantian tahun, seperti kemudahan perijinan dan bonus gaji pegawai yang diberikan menjelang akhir tahun. Sehingga terkesan akhir tahun adalah momen untuk menghabiskan waktu dengan bersenang-senang setelah sekian waktu bekerja dengan jadwal yang padat.
Umat juga harus diedukasi tentang sejarah Islam yang sebenarnya, dan juga sejarah lain yang mengiringinya. Agar bisa memilah dan memilih kebenaran yang harus diikuti, bukan sekedar ikut sana sini tanpa memperhatikan dosa dan pahala. Bukan hanya dalam kurikulum pendidikan, tapi pada seluruh lapisan masyarakat.
Jika tetap melanjutkan tradisi yang bertentangan dengan Islam, bukan hanya kemaksiatan semakin merajalela, tapi juga menciptakan sikap nirempati terhadap kondisi saudara-saudara sesama muslim yang tertindas di belahan dunia lain.
Karena sebenarnya kedzaliman terhadap kaum muslim bukan hanya terjadi di P4lestina, Rohingya, Uighur dan India saja, tetapi hampir di setiap wilayah dimana muslim sebagai minoritas selalu mengalami penindasan. Ketaatan umat pada aturan yang begitu sempurna, telah membuat kekhawatiran bagi musuh-musuhnya akan kebangkitan Islam. Sehingga upaya mengintimidasi, bahkan sampai pada mengaburkan kebenaran Islam, akan selalu dilakukan.
Kedamaian dan kemuliaan justru dirasakan ketika masa Kekhilafahan pernah memimpin 2/3 dunia selama lebih dari 13 abad. Bukan hanya dirasakan oleh umat Muslim, tapi juga seluruh umat manusia dalam berbagai keberagamannya.
Itulah… Hanya dengan sistem kehidupan dari Allah Swt yang paling sempurna dijadikan panduan hidup dari bangun tidur sampai bangun negara. Karena Allah Swt sebagai Pencipta dan Pengatur, Maha Tahu yang paling tepat untuk hamba-Nya. Ketika syariat mengikat tata kehidupan manusia secara menyeluruh, maka tak perlu menunggu akhir tahun untuk bersenang-senang, setiap harinya manusia akan merasakan kenikmatan hidup dunia hingga kemuliaan hidup di akhirat.
Bagaimana mungkin kita bisa bersenda gurau dalam gemerlap pesta pergantian baru, sementara saudara Muslim kita banyak yang tertindas? Apa yang bisa kita jelaskan jika kelak Allah Swt menanyakan apa upaya kita dalam membela saudara di sana?
Sebelum masa itu datang, marilah kita kembali merasa terikat dengan syariat yang pastinya membawa kebaikan dan keadilan bagi semua umat. Hingga Islam bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Wallahualam bissawab. [Ys]
0 Comments: