Headlines
Loading...
Oleh. Khusnul Aini SE

"Orang bilang tanah kita tanah surga tongkat kayu dan batu jadi tanaman," begitulah syair dari lagu Koes Plus yang dahulu menggambarkan betapa suburnya negeri Indonesia. Namun sayang anugrah tersebut hari ini tidak mampu mewujudkan kedaulatan pangan. Hingga hari ini untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri pemerintah masih mengambil kebijakan impor.

Presiden Jokowi menyebutkan bahwa Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka butuh beras. Menurut Jokowi setidaknya ada 4 juta - 4,5 juta bayi yang baru lahir setiap tahun. Sehingga kebutuhan akan pangan seperti beras akan bertambah setiap tahunnya [cnbcindonesia.com, Januari 2024).

Impor beras bukanlah solusi mendasar yang bisa mewujudkan kedaulatan pangan, melainkan menjadi solusi pragmatis yang justru bisa membahayakan kedaulatan negara bila dilakukan secara terus menerus, karena ketergantungan. Dengan ketergantungan negara akan terjajah secara ekonomi, sehingga harus patuh dengan perjanjian (kemauan) negara pengekspor. Alhasil rakyat lagi yang menjadi tumbalnya.

Seharusnya negara segera mengambil langkah strategis untuk menjaga kedaulatan pangan, yaitu dengan solutif dan antisipasif. Negara harus memetakan kebutuhan pangan dalam negeri, dan mengukur kapasitas produksinya. Bila dirasa lahan dan sarana prasarana produksi belum maksimal, maka tugas negara adalah membantu mengupayakan hal tersebut agar bisa optimal. Seperti tersedianya lahan pertanian, bibit unggul dan ketrsediaan pupuk yang murah, sistem irigasi yang baik dan teknologi penunjang pertanian.

Namun sayang sampai saat ini penguasa masih belum begitu serius dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan, sehingga tidak perlu melakukan impor lagi. Bahkan kebijakan impor cenderung dijadikan sebagai cara praktis mendapatkan keuntungan, dengan adanya para oligarki yang bermain dalam pengadaan impor beras. Tidak ayal bila kedaulatan pangan hanya menjadi ilusi dalam negeri ini.

Inilah watak dari penguasa yang lahir dalam sistem demokrasi kapitalisme, lebih berpihak kepada pengusaha dari pada rakyatnya. Sehingga wajar kedaulatan pangan tidak terwujud, maraknya alih fungsi lahan pertanian, langkah dan mahalnya pupuk, serta harga jual yang murah ketika panen sehingga menyulitkan petani dalam bertahan menjadi bukti nyata bahwa penguasa tidak pernah serius peduli pada rakyat.

Hal ini tentu berbeda dengan penguasa yang lahir dari sistem Islam. Islam menjadikan penguasa sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam menyediakan kebutuhan pokok rakyat,  termasuk makanan. Apalagi Islam akan mewujudkan negara adidaya sebagai cita-cita dalam perjalanan panjangnya. Maka perhatian negara akan dicurahkan untuk mengoptimalkan pengelolaan pertanian, agar seluruh kebutuhan rakyat terpenuhi dan terwujud kedaulatan pangan.

Negara akan serius dalam mengoptimalkan produktivitas pertanian dengan adanya pembukaan lahan baru dan menghidupkan tanah mati serta melarang terbengkalainya tanah. Selain itu negara juga akan menyediakan bibit unggul dan pupuk yang mudah di dapatkan serta murah harganya. Negara juga akan memproteksi hasil pertanian dengan melarang praktek penimbunan karena hal tersebut bisa menimbulkan kelangkaan dan mengancam kedaukatan pangan negara.

Dalam hal distribusi apabila ada rakyat yang kesulitan dalam membeli kebutuhan pangan, negara akan memberikan solusi dengan memberikan harta negara yang menjadi hak bagi rakyat yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya. Semua dilakukan dengan mekanisme yang mudah, cepat dan merata sehingga semua individu rakyat dengan mudah memperoleh hak nya, termasuk pangan yang menjadi kebutuhan vital.

Begitulah bagaimana sistem Islam yang sempurna bisa mewujudkan kedaulatan pangan. Maka tiada cara lain kecuali harus menerapkan islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Kedaulatan pangan teraih dan kesejahteraan dirasakan oleh seluruh rakyat. Wallahualam bisshawab. [Ma]

Baca juga:

0 Comments: