surat pembaca
Jutaan Rakyat Menjadi Korban Konflik Agraria, Kok Bisa?
Oleh. Aulia Rahmah
(Kelompok Penulis Peduli Umat)
Baru-baru ini Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merilis data tentang konflik agraria. Selama periode 2009-2022 terdapat 4.107 kasus yang berdampak pada sekitar 2,25 juta Kepala Keluarga (KK). Angka tersebut merupakan "angka minimal" dari total konflik agraria yang sesungguhnya terjadi di Indonesia. KPA juga mencatat kasus "konflik agraria struktural" yakni konflik lahan sebagai dampak kebijakan pejabat publik serta mengakibatkan terancamnya dan/atau tersingkirnya hak konstitusional masyarakat atas sumber-sumber agraria. Data ini belum termasuk sengketa pertahanan biasa, seperti perebutan hak waris, sengketa lahan antar perusahaan, dan sebagainya.
Sepanjang 2009-2022 konflik agraria tertinggi terjadi di tahun 2017, yakni 659 kasus dengan 652 ribu KK terdampak, 13 orang tewas, 6 orang tertembak, 369 orang ditahan/ dikriminalisasi, dan 612 orang menjadi korban kekerasan. Menurut KPA, mayoritas kasus konflik agraria di tahun 2017 terkait dengan sektor perkebunan, terutama komoditas kelapa sawit, diikuti sektor properti dan infrastruktur (katadata.co.id,12/1/2024).
Inilah akibatnya jika negara memberi kebebasan tanpa batasan bagi setiap orang dalam hal kepemilikan, terutama kepemilikan lahan. Dengan produk Undang-undang yang diinisiasi oleh penguasa atas pesanan pengusaha pemilik modal, terbentuklah pemerintahan yang oligarki. Dalam sistem kapitalisme demokrasi, para oligarki mengendalikan pemerintahan agar menguntungkan kelompoknya saja. Maka, wajar rakyat kecil tak terurus bahkan hak-haknya luput dari perlindungan oleh negara.
Di dalam Islam, tak ada kebebasan kepemilikan lahan. Setiap individu hanya boleh menguasai lahan sebatas kemampuannya untuk mengelola. Individu dan perusahaan juga dilarang memiliki lahan yang mempunyai potensi sumber daya alam (SDA) melimpah, seperti pertambangan, hutan, laut, pantai, pulau, dsb. Pasalnya, lahan-lahan tersebut adalah milik umum, negara harus melindungi dan mengelolanya untuk kemaslahatan rakyat.
Fungsi negara dalam Islam adalah sebagai pelayan dan pelindung rakyat. Maka, sudah menjadi kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi hak individu. Negara secara konstitusional dilarang menggunakan kekuasaannya dengan semena-mena. Apalagi sampai berkhianat, melayani dan melindungi kepentingan pengusaha/ investor dan swasta.
Sangat berat balasan dari Allah bagi orang yang mengambil secara paksa hak orang lain. Diriwayatkan suatu kisah, Said bin Zaid bin Amr bin Nufail ra. dituntut oleh seorang wanita yang bernama Arwa terkait sebagian tanah pekarangannya. Singkat cerita, Said mengalah sambil berkata, "Biarlah diambilnya! Karena aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang mengambil tanah orang lain tanpa hak walaupun sejengkal, di hari kiamat kelak, Allah akan mengalungkan kepadanya tujuh lapis bumi."
Said pun berdoa, "Wahai Allah! Jika wanita itu dusta, butakanlah matanya dan jadikanlah rumahnya menjadi kuburan baginya." Tidak berapa lama kemudian Said melihatnya berjalan meraba-raba dinding dalam keadaan buta sambil berkata, "Aku terkena kutukan Said bin Zaid." Kemudian ia berjalan dalam rumah menuju sumur, lalu ia terjatuh ke dalam, sehingga sumur itu menjadi kuburannya." (HR. Muslim).
Sudah saatnya mengembalikan kepengurusan permasalahan rakyat pada Islam. Karena dengan aturan yang sempurna dari Allah, juga dijalankan oleh para pejabat yang amanah, rakyat akan terlindungi dan terlayani dengan sebaik-baiknya.
Maka patutlah dibenarkan kata banyak pakar, ketidakpastian hukum, dalam hal ini hukum tentang kepemilikan lahan membawa Indonesia menuju kemunduran. Rakyat menjadi korban keserakahan para elit. Hak setiap individu terampas oleh konsesi dari negara kepada perusahaan swasta. Maka, solusi satu-satunya untuk mengembalikan hak dan menjamin keberlangsungan hidup rakyat hanyalah dengan kembali kepada aturan Allah Swt. Maka, sistem yang kompeten untuk kasus konflik agraria adalah dengan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai khil4fah yang sudah terbukti secara historis maupun empiris.
Wallahualam bissawab. [An]
0 Comments: