Headlines
Loading...
Kepastian Hukum Harapan Palsu di Negeri Demokrasi

Kepastian Hukum Harapan Palsu di Negeri Demokrasi

Oleh. Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Berbicara tentang hukum tentunya tidak bisa main-main, karena hukum sangat erat kaitannya dengan ditegakkannya keadilan dan kebenaran. Namun miris, saat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud MD menyatakan tentang mundurnya kepastian hukum di negeri ini, menunjukkan ketidakpastian hukum di negeri memang terjadi. Hal ini ia sampaikan saat memberikan orasi ilmiah dalam acara Wisuda Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai secara virtual, Sabtu (6/1/2024).(Kompas.com, 6/1/2024).

Adanya UU Omnibus Law yang merugikan para pekerja, UU Minerba yang menjadikan pengusaha asing maupun lokal mendapat kebebasan mengelola pertambangan dari proses produksi hingga distribusi, kasus pertanahan (rempang, wadas, dan lain-lain) yang tak berpihak pada rakyat kecil, begitu juga kasus korupsi yang tiada henti, menjadi catatan panjang yang menggambarkan berubah-ubahnya hukum di negeri ini, semakin tidak pasti.

Melenggangnya ketidakpastian tentunya dipengaruhi oleh bebergai hal. Kondisi kekuatan lembaga penegakan hukum dan landasan pembuatan hukum, menentukan kualitas hukum yang ditegakkan.

Saat lembaga hukum diduduki penentu kebijakan yang tidak memihak rakyat (condong pada si kaya/pengusaha/oligarki), maka teori balas budi atas kelancaran materi dan kedudukan bagi kursi penguasa, mewarnai hasil keputusan hukum yang ada.

Saat landasan hukum yang dipakai adalah materi, ewuh pakewuh, bukan lagi asas kejujuran, keadilan dan kebenaran, yang terjadi hukum tidak lagi berpihak pada rakyat tetapi pada para pemodal, pemilik cuan, pengisi pundi-pundi harta.

Harapan Palsu di Negeri Demokrasi

Di negeri Demokrasi, secara mendasar  slogan “kedaulatan di tangan rakyat” digaungkan. Namun kenyataanya jauh panggang dari api. Kedaulatan yang ada berada di tangan penguasa atau pengusaha.

Sangat wajar, karena sistem ini berasal dari  manusia sebagai produk akal yang menganggap agama tidak perlu dijadikan dasar di dalam pembuatannya. Asas sekularisme sangat kental dalam segala keputusan hukum, yang akhirnya seluruh produk hukum diwarnai oleh kepentingan sebagian manusia.

Carut-marutnya hukum mengorbankan pihak lemah tak bersalah, di negeri demokrasi kalangan rakyat kecillah yang menjadi korbannya. Alih-alih berharap mendapatkan keadilan hukum, yang terjadi rakyatlah yang mendapat sanksi hukum. Demikianlah, hukum tumpul ke atas tajam ke bawah.

Sistem Islam Menghadirkan Kepastian Hukum

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya(TQS. An Nisa: 59).

Buruknya penegakan hukum dan munculnya ketidakpastian hukum merupakan buah tangan manusia, sebagaimana sistem saat ini. Padahal Islam sebelumnya telah mengajarkan untuk kembali pada Allah dan Rasul-Nya saat menentukan keputusan.

Sebagai sistem yang haq dan paripurna, Islam memiliki aturan yang tetap tidak berubah-ubah  dari waktu ke waktu. Alqur’an dan Sunah menjadi sumber hukum yang tak tergantikan. Keberadaan akal manusia hanya digunakan untuk mencari solusi yang tepat sesuai dengan sumber hukum Islam itu sendiri. Walhasil, setiap kebijakan yang lahir selalu sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya, tidak dengan dorongan hawa nafsu.

Sifat jawabir (ketika diterapkan pada seseorang akan menghapus dosanya) dan zawajir (mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama) yang khas dalam sistem Islam, memberikan hukum yang pasti terhadap manusia sesuai dengan perbuatannya. 

Ketakwaan selalu menghiasi siapa pun terkait masalah hukum, terutama para pemimpin dalam mewujudkan kepastian hukum. Hukum syara menjadi panduan utama bagi pemimpin (Khalifah) saat menegakkan hukum. Penerapan syariat Islam secara  kafah menjadi bekal utama realisasi penegakkan hukum dalam negara. Penerapan syariat Islam pun mengarahkan rakyatnya untuk bertakwa.

Dengan mekanisme penegakkan hukum tersebut, tentunya ketidakpastian hukum tidak terjadi, karena  berasal dari kepastian yang haq, yang diturunkan dari Allah ta'ala  agar selamat dunia dan akhirat.
Wallaahualaam bissawab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: