OPINI
Ketidakpastian Hukum Tidak Dapat Dihindari Dalam Sistem Demokrasi
Oleh. Dea Ariska
Hukum dibuat untuk dijalankan, agar hidup manusia menjadi teratur dan sampai kepada hal yang menjadi tujuan. Namun keteraturan tersebut justru semakin jauh untuk dicapai karena hukum tak dijalankan sebagaimana mestinya. Tegaknya hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kekuatan lembaga peradilan, sumber daya manusia, dan kekuatan hukum itu sendiri.
Sehingga tak heran jika suatu negara tidak benar-benar bisa disebut negara maju jika tidak memiliki hukum yang kuat beserta dengan hadirnya lembaga peradilan yang kuat pula, juga kesadaran warga negara untuk menjalankan hukum tersebut. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan yang juga calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, menyatakan bahwa ketidakpastian hukum merupakan salah satu alasan terjadinya kemunduran di Indonesia. Mahfud memberi contoh bahwa saat ini banyak pengusaha yang harus melewati prosedur rumit untuk mendapatkan izin usaha, dengan adanya praktik suap agar mendapatkan izin atau investasi (porosjakarta.com,12/01/2024).
Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum yang ada belum mampu memudahkan urusan rakyat sehingga justru membuka peluang terjadinya pelanggaran hukum. Jika suatu hukum yang dibuat oleh pemegang kekuasaan hari ini justru mempersulit urusan rakyat sehingga membuat mereka melanggar hukum tersebut, maka sampai kapan pun hukum akan terus berputar dengan solusi tambal sulam dan tidak dapat menyelesaikan suatu persoalan dengan tuntas. Bahkan terus menambah lahan basah untuk praktik korupsi.
Hukum bersifat memaksa jika dilihat dari sifatnya, sedangkan manusia memiliki sifat untuk menolak hukum yang ada dengan ego yang dimilikinya jika hukum tersebut dianggap tidak adil baginya. Menurut Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama Pontianak, M. Dja'far Ali S. HI., Ada beberapa sebab pelanggaran hukum diantaranya; terpaksa, memiliki niat buruk, kebiasaan, kesempatan, merasa selalu benar, tidak setuju terhadap hukum yang telah ditentukan (detik.com,13/01/2024).
Di sisi lain, manusia pada hakikatnya memang tidak memiliki kapabilitas untuk membuat hukum, sehingga akan memunculkan kebutuhan akan aturan baru. Dan ini sudah menjadi satu keniscayaan dalam sistem Demokrasi yang menjadikan kedaulatan berada di tangan rakyat. Padahal standar kebenaran bagi setiap individu pasti berbeda. Karena akal manusia sejatinya terbatas. Aturan yang dibuat oleh manusia pun bisa jadi suatu hal yang dibenarkan hari ini, namun bisa jadi pula tak berlaku lagi di masa depan atau di kondisi tertentu. Maka dari itu tak sedikit undang-undang yang direvisi bahkan lebih dari sekali, namun masih juga dianggap memiliki kekurangan.
Dalam Islam, Alqur’an dan Sunah sebagai sebuah wahyu yang kemudian menjadi sumber hukum utama yang melahirkan setiap aturan hidup untuk manusia. Sehingga hukum bersifat tetap dan dapat mewujudkan keadilan. Allah-lah Sang Pencipta yang membuat hukum tersebut, yang mengetahui secara pasti hakikat manusia sebagai makhluk-Nya. Sehingga juga mengetahui betul pengaturan seperti apa yang tepat bagi manusia. Maka Allah yang mempunyai otoritas untuk membuat hukum atas perbuatan manusia dan benda, sedangkan ranah teknis dan administrasi dalam rangka kemaslahatan manusia boleh ditentukan oleh pemimpin negara.
... اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗيَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ
... "Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.” (TQS Al- An'am: 57).
Dengan sistem pemerintahan Islam yang tegas dan bertakwa, hukum akan tegak tanpa pengecualian. Pemimpin negara dan seluruh petugas negara akan selalu taat pada Allah, karena mereka telah memahami bahwa ada pertanggungjawaban dunia dan akhirat atas kepemimpinan mereka. Wallahualam. [ry].
0 Comments: