OPINI
Mampukah Sistem Demokrasi Melahirkan Pemimpin yang Baik?
Oleh. Nirwana Sadili
Sebulan lagi Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi tepatnya 14 Februari 2024 untuk memilih Presiden dan wakil Presiden yang akan memimpin rakyat Indonesia hingga lima tahun mendatang. Menjelang pemilu biasanya parpol mendapatkan kucuran dana dari luar atau dari asing.
Pemilu kali ini juga tidak berbeda jauh dengan pemilu sebelumnya. Sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar 195 milyar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol.
Kepala Biro Humas PPAT, Natsir Kongah mengatakan langkah PPATK mengungkap aliran dana luar negeri ke parpol sebagai bentuk kepedulian untuk menjaga demokrasi tanah air (12/01/2024).
Lebih fantastis lagi sebagaimana dikutip dari liptan6.com, PPATK menemukan bahwa menjelang pemilu 2024 terjadi peningkatan pembukaan rekening. Sangat mencengangkan bahwa tercatat 704 juta pembukaan rekening baru. Ditemukan data ada 6 juta anggota dan pengurus partai dengan 24 parpol. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mendapatkan data terkait jumlah transaksi yang dilakukan oleh parpol nominalnya secara agregat tembus hingga Rp80,6 trilliun. Untuk satu parpol angka paling tinggi mencatat transaksi Rp9,4 triliun.(11/01/2024).
Aliran dana pemilu yang dikucurkan oleh asing menjelang pemiliu kepada partai politik menunjukkan pemilu sarat kepentingan, berpotensi akan adanya intervensi asing atas negara Indonesia, bahkan yang harus diwaspadai dibalik itu yaitu tergadainya kedaulatan negara. Tidak ada makan siang gratis, artinya asing mengalirkan bantuan dana kepada parpol tentu tidak cuma-cuma, tetapi ada udang dibalik bantu. Ada kepetingan yang terselubung dibalik kucuran dana yang digelontorkan.
Hal itu menjadi sesuatu yang wajar dalam demokrasi, mengingat demokrasi berbiaya mahal sehingga rawan akan adanya kucuran dana dari asing yang ingin mengambil bagian atau keuntungan. Hal semacam ini akan membungkam idealisme parpol yang nantinya mengakibatkan parpol kehilangan idealismenya. Inilah watak demokrasi yang dikangkangi oleh kepentingan oligarki. Demokrasi menjadi industri yaitu sistem politik yang dipenuhi oleh transaksi kepentingan-kepentingan dalam mengejar kekuasaan. Parpol seperti macan ompong, tidak berkutik, menjadi alat bagi para pemodal, dan ujung-ujungnya oligarkilah yang menjadi pemenangnya.
Politik demokrasi yang berbiaya mahal, lihat saja anggaran pemilu 2024 saja pemerintah mematok angaran Rp70,5 trilliun untuk Pemilihan Umun 2024. (CNBC Indonesia, 20/09/2023). Hal ini. Meski menyedot dana yang sangat besar jumlahnya. Faktanya selama ini tidak mendapatkan pemimpin yang baik, yang bisa menyelesaikan semua permasalahan umat, bahkan jauh dari keberhasilan untuk mewujudkan rahmatan lil alamiin.
Petanyaannya, bagaimanakah mekanisme pemilihan pemimpin, apakah dalam Islam atau dimasa kejayaan Islam tidak pernah melakukan pergantian kepemimpinan? . Sejak Rasulullah saw. wafat digantikan Abu Bakar dan seterusnya apakah kerumitan-kerumitan biaya di dalam sejarah emas peradaban Islam tidak ditemukan hal-hal yang terjadi di demokrasi?
Pemilihan-pemimpin dalam Islam sangat berbeda dalam demokrasi. Tidak ada pesta, keriaan, penghamburan dana dan sumber daya, tetapi sangat praktis dan efisien. Sepanjang sejarah umat Islam lebih dari seratus kepemimpinan kaum muslimin telah mengalami pergantian kepemimpinan. Mekanisme memilih pemipin dalam Islam adalah melihat dan mencontoh apa yang terjadi ketika Rasulullah saw. wafat. Dan pergantian pemimpin tidak rumit, tidak menelan dana yang besar, dan tidak menelan korban seperti dalam demokrasi.
Memilih pemimpin dalam Islam kitab Isa melihat bagaimana mekanisme yang dilakukan sahabat setelah Rasulullah saw. wafat. Dalam keadaan sedih ditinggal Rasulullah saw. para sahabat besar bersegera berkumpul di Tasqifah Bani Sa’idah. Mereka berkumpul untuk membahas siapa yang menggantikan Rasulullah menjadi pemimpin, jatuhlah pilihan mereka kepada Abu Bakar As-Siddiq. Rasullah saw. bersabda:
“Kepemimpinan itu di tangan orang-orang Quraisy.”
Mereka menyadari saat itu orang-orang Quraisy luar biasa, maka mereka memilih Abu Bakar yang mewakili suku Quraisy. Ketika itu wilayah negara Islam yang dipimpin Rasullullah meliputi tujuh negara. Seluruh jazirah arab dibawa kekuasaan nabi, kalau sekarang meliputi Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Quwait, Bahrain, Qatar, Oman, dan Yaman. Semua negara itu berada diwilayah kekuasaan negara yang dipimpin Rasulullah.
Setelah wafat Rasulullah proses suksesi penggantian beliau sebagai pemimpin sangat mudah. Hari senin mereka musyawarah juga Abu Bakar As-siddik di baiat menjadi Khalifah yang disebut dengan ‘Baiat in’iqod’ untuk menjadikan Abu Bakar sebagai khalifah menggantikan Rasulullah sebagai pemimpin di Tsaqifah ani Sa’idah.
Besok harinya seluruh kaum muslimin di Madinah dikumpulkan di Masjid Nabawi melakukan baiat untuk memberikan ketaatan kepada seorang khalifah, mereka memberikan baiat kepada Abu Bakar ra. yang disebut ‘baiat taat’. Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq hendak wafat, Abu Bakar juga melakukan upaya suksesi dengan damai. Yang dilakukan Abu Bakar adalah berkelilinhg mendatangi rumah-rumah penduduk Madinah ibu kota negara Islam Khilafah Rasyidah di masa itu. Mereka didatangi untuk ditanya satu-satu, siapa kira-kira yang layak menggantikan Abu Bakar As-Siddikq sebagai khalifah. Pada masa itu Umar Bin Khattab menjadi wazir atau pembantu Abu Bakar. Pilihan kaum muslimin jatuh pada dua nama atara Umar dan Ali Bin Abu Thalib .
Ketika Abu Bakar hendak wafat Abu Bakar berwasiat, bahwa yang akan menggantikan beliau adalah Umar Bin Khattab. Setelah Abu Bakar wafat, Umar Bin Khattab dibaiat, akhirnya jadilah beliau khalifah yang kedua setelah Abu Bakar ra. Selanjutnya ketika Umar bin Khattab dalam kondisi sakit, menjelang wafatnya setelah ditikam Abu Lu’lu’ah orang Majusi, maka Umar mengumpulkan enam sahabat, kemudian Umar berwasiat agar memilih salah satu diantara mereka untuk menjadi pengganti Umar bin Khattab menjadi Khalifah. Umar berkata, “Kalau aku tidak menunjuk putra mahkota, maka itu karena nabi tidak menunjuk, kalau aku menunjuk putra mahkota karena Abu Bakar juga telah menunjuk.”
Maka yang dilakukan Umar adalah menunjuk enam orang itu kemudian dari enam orang itu bermusyawarah yang dipimpin Abdurrahman bin Auf, dan terpilih Usman bin Affan kemudian dibaitlah beliau sebagai khalifah untuk menggantikan Umar.
Kemudian setelah Usman bin Affan wafat , Ali bin Ali Thalib ditunjuk sebagai khalifah dan yang menunjuk Ali adalah ‘Ahlutthawaf’, mereka berkumpul mendatangi Ali, namun Ali tidak mau dan mengatakan, ”Kalau anda ingin, lakukanlah di masjid secara terbuka." Kemudian saat itu kaum muslimin dikumpulkan di masjid Nabawi, dan Ali bin Ali bin Abu Thalib oleh penduduk Madinah maka saat itu resmilah menjadi khalifah keempat menggantikan Usman.
Demikian mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam, sangat praktis dan efisien tidak diperlukan pemilu berkala yang membuang energi, biaya dan waktu. Begitu juga dengan sistem Islam akan menghasilkan pemimpin yang baik, karena harus memenuhi kriteria pemimpin dalam Islam. Menurut al-‘Allamah al-Qodhi Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Al-Khilafah dan Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah (jilid2) syarat-syarat yang terdiri dari enam syarat yakni, (1)Muslim; (2) laki-lali; (3) Balig; 4) Berakal; (5) Merdeka (bukan budak /berada dalam kekuasaan pihak lain); (6) Adil (bukan orang fasik/ahli maksiat); (7) Mampu (punya kapasitas untuk memimpin).
Sangat jelas pada poin 6 harus adil artinya ia bukan orang fasik atau zalim yang enggan berhukum dengan hukum Allah. (lihat QS. Al- Maidah (5) : 45, 47). Sangatlah jelas hanya sistem Islam yang mampu memilih pemimpin yang baik. Bukan sistem demokrasi yang berbiaya mahal, tidak efektif dan efisien. Wallahualam bissawab. [Hz]
0 Comments: