OPINI
Marak Anak Jadi Pelaku Pencabulan, Siapa Yang Bertanggung Jawab?
Oleh. Hesti Nur Laili, S.Psi
Kasus pencabulan kian marak terjadi di Indonesia. Tak hanya orang dewasa yang menjadi pelaku tindak kriminal asusila tersebut, tetapi saat ini bahkan anak di bawah umur melakukan tindakan amoral itu.
Seperti yang terjadi baru-baru ini di Pekanbaru, Riau, seorang anak TK dilaporkan telah melakukan tindak asusila berupa pelecehan seksual terhadap teman sekelasnya. Tak tanggung-tanggung, bahkan korban yang dilecehkan adalah sesama jenis (antaranews.com, 15/1/2024).
Kasus anak melakukan pelecehan seksual terhadap teman sekelasnya tak hanya terjadi kali ini saja. Sebelumnya kasus serupa juga terjadi pada tahun 2015 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, seorang siswi SD dikeroyok dan dilecehkan teman-teman sekelasnya (merdeka.com, 15/5/2015).
Kemudian pada tahun 2018 seorang siswi kelas 1 SD di Sukabumi, Jawa Barat dilecehkan oleh 3 teman sekelasnya di jam istirahat sekolah (news.detik.com, 23/10/2018).
Dan di tahun yang sama, seorang bocah SD di Tasikmalaya, Jawa Barat, mengalami pelecehan seksual berupa sodomi oleh 6 orang teman sekolahnya (Jpnn.com, 15/3/2018).
Itu belum ditambah dengan maraknya anak-anak di bawah umur zaman sekarang yang bahkan rela, suka sama suka melakukan aktivitas pacaran. Dan yang lebih mencengangkan yakni anak-anak usia sekolah sudah berani melakukan aktivitas seksual dengan lawan jenis bahkan sesama jenis, serta divideokan (news.detik.com, 17/12/2017).
Dan masih banyak lagi contoh kasus serupa yang pada intinya menegaskan pada kita bahwa saat ini kasus pelecehan seksual tak hanya dilakukan oleh kaum dewasa, tetapi sudah merambah ke anak-anak sebagai pelaku. Serta mirisnya para pelaku ketika diintrogasi mengaku melakukan pelecehan seksual pada teman sebayanya tidak lain akibat paparan tontonan asusila yang dengan mudah mereka akses.
Dari maraknya kasus di atas, muncul pertanyaan besar di benak kita, yakni siapakah yang bertanggung jawab?
Seperti yang kita tahu, ketika seorang anak melakukan tindak kriminal, hukum tidak bisa dengan mudah menjerat dan menghukumnya dengan hukuman penjara. UU perlindungan anak seolah menjadi benteng terkuat anak bebas dari hukum.
Sedangkan bagi korban, tentu ini tidaklah adil. Karena selain menimbulkan trauma yang dalam juga tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku. Sehingga kasus-kasus kriminalitas yang melibatkan anak akan terus muncul dan muncul setiap harinya.
Karena keadaan hukum yang demikian, ditambah dengan keadaan pelaku yang masih di bawah umur, lantas siapa yang paling bertanggung jawab dengan maraknya kasus pelecehan seksual yang melibatkan anak sebagai pelaku?
Seringnya dalam perkara seperti ini, ujung dari kasus adalah pihak korban memaafkan karena pelaku masih di bawah umur. Selain itu, seringnya pula masalah seperti ini kerap kali menjadikan pola asuh orang tua sebagai kambing hitam akar dari masalah tersebut. Padahal pola asuh tidak berdiri sendiri dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku anak. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak, meskipun yang utama adalah pola asuh orangtua.
Selain itu, penyelesaian terhadap masalah ini seringnya terfokus hanya pada masalah tersebut. Mediasi antar keluarga beserta perangkat hukum dan negara, lalu memutuskan antara dihukum atau tidaknya pelaku tanpa memikirkan lagi upaya atau solusi agar masalah pelecehan tersebut tidak terulang kembali. Inilah kelemahan dari hukum yang lahir dari sistem kapitalisme, sekuler dan liberal.
Maraknya kasus-kasus pelecehan seksual yang melibatkan anak sebagai pelaku, seharusnya menyadarkan kita untuk saatnya kembali menerapkan sistem islam sebagai satu-satunya solusi hakiki dalam mencegah dan menangani berkembangnya kasus-kasus tersebut. Mengapa?
Karena pada sistem Islam, batasan anak di bawah umur dapat menerima hukuman atau tidak adalah dilihat dari apakah anak tersebut sudah aqil baligh atau belum. Karena di dalam Islam, anak sudah dianggap dewasa ketika telah mengalami aqil baligh. Sehingga bisa dikatakan tidak ada benteng perlindungan anak dari jerat hukum ketika ia melakukan pelanggaran syariat.
Selanjutnya adalah dari sisi pola asuh orangtua. Orangtua memiliki kewajiban untuk menanamkan akidah yang kuat pada anak sejak dini, juga membentuk pemahaman mengenai keberadaan dan hubungannya dengan Sang Pencipta. Dengan demikian, anak akan mampu memahami dan membedakan baik dan buruk berdasarkan standar Islam.
Kemudian dari sisi lingkungan masyarakat. Di dalam sistem islam, lingkungan masyarakat merupakan pengontrol sosial. Slogan amar makruf nahi munkar tidak hanya sebagai ucapan tetapi juga diterapkan oleh masyarakat dalam mengontrol lingkungan.
Dan penjaga terbesar dari masifnya kasus-kasus pelecehan seksual yang melibatkan anak baik sebagai pelaku maupun korban tentu saja adalah negara. Negara merupakan pengontrol tertinggi dalam pelanggaran syariat. Negara menjamin keamanan dan kestabilan masyarakat dari berbagai sisi, baik dari sisi sosial, ekonomi, akidah, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.
Maka untuk menjawab pertanyaan di atas, siapakah yang paling bertanggung jawab dengan maraknya kasus-kasus pelecehan seksual yang melibatkan anak sebagai pelaku? Tentu saja jawabannya adalah negara.
Negara bertanggung jawab menjamin kebutuhan anak mulai dari pendidikan, kesehatan, keamanan, dan termasuk di dalamnya juga menutup akses tontonan-tontonan yang dapat merusak otak anak. Karena faktanya, adanya kasus-kasus tersebut berakar dari bebasnya tontonan asusila yang dengan mudah diakses dan ditonton oleh masyarakat, terutama anak-anak.
Negara memberikan perlindungan penuh kepada anak agar tidak terpapar oleh hal-hal negatif dan memastikan anak hanya mengkonsumsi informasi-informasi yang positif, bersih dan sehat untuk tumbuh kembang mereka. Selain itu, negara juga memastikan penerapan kurikulum pendidikan karakter islam di sekolah-sekolah untuk memperkuat akidah dan ketakwaan anak. Juga penerapan sistem hukum Islam yang menjamin keamanan masyarakat serta memberikan efek jera bagi pelaku yang melakukan pelanggaran syariat.
Seperti dalam sabda Rasulullah dari hadits Bukhari dan Muslim bahwa, "Seorang khalifah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya."
Sehingga, output yang dihasilkan adalah individu-individu yang bertakwa yang tak hanya bergantung pada pola asuh orangtua semata, tetapi juga adanya dukungan masyarakat dan negara. Inilah solusi kompleks dan sistemis dalam Islam jika diterapkan dalam wujud negara khilafah untuk menumpas maraknya kasus-kasus pelecehan seksual yang melibatkan anak seakar-akarnya. [ry].
0 Comments: