motivasi
Memahami Qada dan Qadar
Oleh. Noviana Irawaty
Takdir atau qada adalah ketetapan Allah atas makhluk-Nya. Di sisi lain, Allah menetapkan makhluk, termasuk manusia, punya khasiat, khasiat inilah yang disebut kadar atau qadar.
Saat manusia berpikir mendalam dan cemerlang maka dia akan menemukan keimanan yang sahih yakni akidah Islam. Sehingga inti di thariqul iman itu adalah memecahkan mafahim (pemahaman) dan maqayis (standar).
Mafahim, manusia memahami bahwa di balik penciptaan itu ada Allah yang Maha Mengatur, paham setelah mati dia akan dibangkitkan kemudian dihisab.
Maqayis, manusia memiliki standar dalam kehidupan yaitu setiap sendi kehidupan adalah syariat, harus sesuai dengan syariat. Senang, sedih, marahnya kita harus diabaikan jika tidak sejalan dengan syariat. Kita menata keridaan terhadap maqayis. Jadi saat manusia memahami, apakah dirinya telah rida atas Islam, maka yang dipecahkan adalah sikap keimanannya.
Sementara untuk meluruskan qanaat itu ada di pembahasan qada dan qadar, yang namanya rida atas Islam itu seperti apa. Saat Allah menempatkan kita berada di atas kezaliman yang merajalela, kita rida, tetapi bukan berarti kita berdiam diri atas kezaliman, itu perkara lain. Allah tidak akan menghisab kita karena lahir pada zaman ini, tetapi Allah akan menghisab apa yang telah kita lakukan untuk mengubah kezaliman ini.
Al-‘Alamah Syekh Taqiyuddin An-Nabhani seorang mujtahid mutlak dan mujadid abad ini, membahas qada dan qadar fokusnya pada perbuatan manusia. Bahwa perbuatan manusia itu:
a. ada yang dipaksa -> manusia tidak kuasa memilih, hanya tunduk menerima (musayyar)
b. ada yang memilih -> manusia bisa memilih melakukan atau tidak melakukan (ikhtiyari/mukhayyar)
Prinsip tentang perbuatan manusia:
1. Musayyar
2. Mukhayyar
Pada masa sahabat, seluruh perbuatannya adalah langsung tunduk taat pada perintah dan larangan Allah serta Rasulullah.
Masa tabiin, mulai bersentuhan dengan ilmu filsafat dari Yunani Romawi, sehingga perbuatan manusia yang tadinya tidak menjadi masalah, menjadi dipermasalahkan. Dahulu, ada perintah maka dilakukan, ada larangan maka ditinggalkan. Sekarang timbul, jika saya berbuat seperti ini, apakah ada campur tangan Allah di situ?
Timbullah mazhab dalam akidah (pembahasan qada dan qadar):
1. Jabariyah
2. Muktazilah/qadariyah
3. Ahlusunah wal jamaah
Syekh Taqiyuddin memandang perlu memurnikan dan memfokuskan pembahasan di musayyar dan mukhayyar. Pada ketiga kelompok di atas ada pembahasan musayyar dan mukhayyar tetapi tidak tepat.
Syekh Taqiyuddin juga seorang ahlusunah wal jamaah, namun saat membahas perbuatan, beliau memisahkan perbuatan manusia dengan perbuatan Allah, tidak boleh menyatukan sebagaimana ketiga mazhab di atas.
Jabariyah, manusia ibarat bulu yang diterbangkan, ikut kemana saja, tidak punya daya dan kuasa. Manusia ibarat wayang, Allah dalangnya.
Muktazilah/Qadariyah hadir mengkritisi, jika demikian berarti Allah tidak adil, untuk apa ada surga dan neraka jika perbuatan manusia dikendalikan Allah. Berarti Allah tidak adil dong? Enak yang Allah tetapkan sebagai ahli surga, sementara yang ditetapkan sebagai ahli neraka kasihan banget nasibnya. Dari sini seolah-olah benar. Namun nyatanya mereka pun salah, karena mereka menganggap semua perbuatan itu yang mengendalikan adalah manusia, tidak ada campur tangan Allah di sana.
Manusia merasa bebas berkehendak dan berbuat, manusia yang menentukan baik dan buruk dirinya, ini seolah-olah adil dalam pandangan manusia, tetapi sebenarnya manusia telah membatasi ke-Maha-an Allah, manusia telah mencabut bahwa Allah Maha memberikan taufik dan hidayah, serta pertolongan, padahal kan tidak begitu. Ini dalam pandangan kaum muktalizah.
Bagaimana dengan ahlusnah wal jamaah? Ahlusunah wal jamaah muncul untuk menengahi hal tersebut. Saat berbicara siapa Allah, bagaimana kalam dan af'alnya Allah? Siapa manusia? Maka ahlusunah wal jamaah mengenal takwil, agar manusia tidak mensifati Allah dengan sifat manusia.
Contoh: Allah duduk di atas arsy-Nya, takwilnya adalah kekuasaan Allah, tidak boleh kita membayangkan Allah benar-benar duduk di singgasana.
Illal wajhi, kecuali wajah-Nya. Semua akan binasa kecuali wajahnya Allah. Takwil illal wajhi adalah kekuasaan Allah.
Demikian pula pembahasan asma wa sifat, adalah sesuatu yang penting, untuk apa? Agar kita semakin mengenal dan mencintai Allah.
Contoh: asma Ar-Rahman, kita diharuskan memiliki sifat rahman itu, karena Allah memerintahkannya, bukan dengan anggapan agar kita juga memiliki sifat Allah yang satu ini, kalau seperti ini tidak boleh, perbuatan manusia tergantung pada ada tidak perintah/larangan Allah di sana.
Kesalahan ahlusunah wal jamaah, masih menyatukan antara musayyar dan mukhayyar, misal: kalau saya menggerakkan tangan saya ini, apakah juga sudah dicatat/tertulis di lauh Mahfudz?
Ini yang dipisahkan oleh Syekh Taqiyuddin. Hai kamu, saat kamu gerakkan tanganmu, pisahkan antara gerakan tanganmu dengan catatan lauh mahfudz.
Manusia menggerakkan tangannya adalah wilayah yang manusia kuasai, sementara lauh mahfudz adalah wilayah yang tidak manusia kuasai. Itu adalah kekuasaan Allah.
Lalu timbul pertanyaan, jika begitu, apakah Syekh Taqiyuddin mengenal lauh mahfudz, asma wa sifat? Tentu mengenal, namun tidak seperti itu pembahasannya. Untuk zat, sifat, asma, af'al Allah, maka manusia mengenal dan menerimanya dengan apa? Dengan keimanan. Kita tinggal mengimaninya, tidak usah mengutak-atik.
Caranya? Dengan mengimani Al-Qur'an. Dengan berpikir mendalam dan cemerlang, akan terbukti Al-Qur’an itu benar, sehingga manusia akan menerima dan mengimani seluruh informasi dalam Al-Qur’an.
Af’al (perbuatan)nya Allah harus dijelaskan dengan dalil naqli, kita tidak boleh menginterpretasi af’al Allah. Pada saat kita tidak bisa menginterpretasi af’al Allah, justru itu menunjukkan kelemahan manusia, sehingga manusia semakin tunduk kepada Allah. Para sahabat Nabi saw. tidak mau membahas af’al Allah, karena mereka memahami itu adalah ranah naqli, tinggal dilihat bagaimana dalil (nas)nya.
Apakah manusia bisa berpikir tentang af’al Allah? Tidak akan bisa, maka tidak usah kita pikirkan, yang bisa kita lakukan adalah tinggal menukil saja. Tetapi manusia juga tidak mengabaikan, maksudnya di sinilah kita semakin sadar manusia itu lemah. Karena kita tidak bisa mengetahui yang di luar kemampuan kita.
Oleh karena itu, akhirnya manusia sanggup berpikir produktif. Contoh berpikir tidak produktif, menebak di saku baju antum ada berapa duit? Ini untuk apa dipikirkan? Tinggal dilihat saja sakunya, lihat ada berapa jumlah uangnya. Jadi yang dipikirkan manusia hanya yang produktif.
Pada perbuatan manusia, manusia mempunyai peluang untuk berpikir produktif. Kenapa? Karena objeknya terindera. Kesimpulan dalam berpikir tentang perbuatan manusia inilah yang dibahas dalam materi Qada dan Qadar.
Pada daerah musayyar, yang manusia dipaksa menerima, maka tidak ada hisab (pahala dan dosa) di sana, semua murni ketetapan Allah, contoh: dilahirkan di Indonesia, dari orang tua Jawa, seorang laki-laki, berambut ikal, berkulit coklat, dst. Maka manusia tinggal rida saja pada takdir Allah ini. Sehingga kita tidak pusing untuk operasi plastik, rebonding rambut, tambal alis, sulam bibir
Sementara pada daerah ikhtiyari/mukhayyar, manusia bisa memilih melakukan suatu perbuatan atau tidak, maka di sini ada pahala dan dosa, ada hisab, ada balasan nikmat surga atau siksa neraka. Nah, seharusnya ini yang menjadi topik bahasan. Berpikir perbuatan yang kita punya pilihan untuk melakukan atau tidak. Sebagai kaum muslimin tentu maqayis/standar perbuatannya adalah syariat Islam.
Pembahasan Qadar
Ada pembahasan yang berbeda antara perbuatan dengan asy-ya (benda) yang digunakan. Kita berjalan ada bumi sebagai tempat pijakan, qadar adalah khasiat yang Allah berikan pada ciptaan Allah, masing-masing punya kadar (takaran, bentuk, khasiat, alat, kegunaan, utility, spesifikasi).
Pisau, kadarnya adalah untuk memotong. Potensi benda saat dikaitkan dengan perbuatan manusia akan melahirkan mukhayyar. Pisau yang digunakan untuk ibadah memasak, menguliti hewan kurban, tentu berpahala. Dan sebaliknya, kadar pisau apabila digunakan untuk melukai seseorang tanpa hak, tentu berdosa.
Wallahualam bissawab. [An]
0 Comments: