motivasi
Mental Kaya Umat Islam
Oleh. Noviana Irawaty
Tidak ada yang salah dengan konsep kaya di dalam Islam. Islam memang mengajarkan sederhana, zuhud (menjauhi dunia), qanaah (merasa cukup). Namun qonaah ini soal rasa, sedangkan hartanya boleh naik turun. Saat punya uang 100 ribu, qanaah. Saat punya 1 juta pun, qanaah. Saat punya 1 miliar pun, bisa qanaah.
Jadi salah kaprah jika berpikir kalau mau zuhud, qanaah itu harus kere, miskin, pas-pasan. Itu pemahaman yang keliru. Definisi kaya yang benar itu mencakup 3 hal: produksi sebesar-besarnya, dalam artian produktivitas, kinerja, dan bisnis. Konsumsi sekadarnya. Distribusi seluas-luasnya.
Tak masalah kaya dan miskin, karena sebenarnya besaran rezeki itu berada pada ranah yang manusia dipaksa atau qada-Nya Allah. Namun di ranah yang manusia kuasai, maka umat Islam harus memiliki mental kaya. Islam itu bersungguh-sungguh terhadap konsep kekayaan. Kenapa? Ada perintah untuk haji, umrah, zakat, sedekah, kurban, akikah, dst. Semua ini sulit kita lakukan jika kita miskin. Jadi walau saat ini kondisi pas-pasan atau miskin, mesti punya cita-cita ke depan lebih baik ekonominya.
Yang penting bahagia?
Miskin itu bisa bahagia, tapi kalau miskin kita sulit berbagi dan membahagiakan orang lain. Orang miskin bisa umrah dan haji? Bisa, tapi tak bisa mengumrahkan dan menghajikan orang lain. Orang miskin bisa sekolah? Bisa, tapi tidak bisa membangun sekolahnya.
Islam menyuruh umatnya kaya dari materi yang didapatkan secara halal. Di dalam Islam, wara (menahan diri, berhati-hati) itu ada ilmunya, tamak juga ada ilmunya. Yang boleh meniru hanya orang-orang saleh, contohnya kisah nyata Imam Syafii berikut.
Imam Syafii itu miskin. Saat beliau masih muda, beliau tidak suka berguru pada guru yang kaya. Sufyan Ats Tsauri dan Sufyan bin Uyainah adalah dua orang guru Imam Syafii yang sangat miskin. Hingga suatu saat, guru-guru ini menyarankan beliau untuk mengaji kepada Imam Malik.
Ternyata Imam Malik ini seorang yang kaya raya. Babutnya (karpet) Imam Malik ini kalau diinjak, mata kakinya tidak kelihatan saking halusnya. Imam Malik duduknya di kursi yang tinggi dan kalau mengaji memakai dukhur (dupa Arab) yang mahal, pokoknya mewah. Jadi Imam Syafii mendapati gurunya ini kaya raya.
Setelah beliau ‘alim, menyerap seluruh ilmu Imam Malik, beliau bertanya kepada siapa saya harus mengaji setelah ini. Imam Malik mengatakan kamu sudah tidak perlu ngaji lagi sama saya, kamu sudah ‘allamah (menguasai berbagai macam ilmu).
Imam Malik kemudian datang ke Baqi, zaman dahulu itu semacam rental, mana kafilah yang mau ke Irak? Lalu Imam Malik menyuruh kafilah tersebut mengantarkan Imam Syafii ke Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Imam Malik membayar kafilah tersebut, juga menyangoni Imam Syafii satu kepis uang. Jika dirupiahkan kisaran paling murah itu 60 juta. Masyaallah, hingga di sini Imam Syafii pun merenung kembali, ada ulama kaya loman (dermawan).
Akhirnya Imam Syafii datang kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, seorang pakar ushul fikih, muridnya Imam Abu Hanifah. Saat itu Imam Asy-Syaibani sedang menghitung emasnya di ruang tamu. Uangnya miliaran, emasnya banyak. Imam Syafii tambah kaget. Ketika melihat itu, Imam Asy-Syaibani berkata kepadanya, “ata’jabu min hadza?” Kamu aneh melihat hal ini?
Kemudian terjadi dialog, kira-kira seperti ini:
Imam Syafii: “Iya.”
Imam Asy-Syaibani: “Kenapa?”
Imam Syafii: “Ulama kok kaya raya?”
Imam Asy-Syaibani: “Ya sudah, uang ini akan kubawa dan kuberikan kepada orang-orang fasik. Biar dipakai mereka.”
Imam Syafii: “Oh jangan, nanti dipakai maksiat. Sudah tidak apa-apa, engkau saja yang kaya raya.”
Semenjak itu, mindset Imam Syafii berubah. Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jangan hanya berpikir wara kemudian jadi benci pangkat dan kekayaan, maka ini tidak boleh terjadi. Karena pangkat dan kekayaan ketika dikelola dengan keimanan akan menjadi energi positif yang luar biasa. Sejak saat itu, Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani berhasil mendidik Imam Syafii. Imam Syafii keterusan dan berpendapat, jika umat Islam bisa membangun rumah tingkat, tetapi kok punyanya rumah reyot, maka itu haram. Karena dalam sebuah hadis dikatakan:
“Al-Islamu ya’lu wa laa yu’la ‘alaih.”
“Islam akan selalu unggul dan tidak akan pernah diungguli oleh agama lainnya.”
Sehingga akan timbul tidak rida jika kekayaan dan kekuasaan itu dikuasai oleh orang fasik, maka yang tersebar adalah kemaksiatan. Asal yang memegang orang saleh, maka ini akan menjadi energi positif.
Kesempatan yang baik ini harus diperjuangkan oleh orang-orang yang saleh. Semua ada latihannya, ketika memilih miskin, ditanya kenapa memilih miskin? Saya ingin hisab saya ringan. Tetapi bagi orang kaya, mereka ingin supaya harta tidak dikuasai dan dipakai maksiat. Mereka bisa memfasilitasi berbagai amal saleh bagi umat Islam. Jadi pilih mana?
Tak masalah jika kondisi saat ini kekurangan harta, tapi tanamkan mental kaya di dalam hati. Lakukan ikhtiar menuju kaya. Bersiap suatu ketika benar-benar kaya, tak kaget. Karena sejatinya, semua pemberian Allah, bukan karena usaha, manusia itu kaya. Kita gunakan kekayaan kita untuk fisabilillah. [An]
0 Comments: