Headlines
Loading...
Revisi UU ITE Jilid II: Solusi atau Kriminalisasi?

Revisi UU ITE Jilid II: Solusi atau Kriminalisasi?

Oleh. Bunda Erma (Pemerhati Umat dan Generasi)

Revisi UU ITE jilid dua telah resmi ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2028 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), (CNN Indonesia, 4-1-2024).

Dengan demikian, regulasi yang kerap disalahgunakan karena adanya pasal karet ini resmi berlaku. Revisi UU ITE terjadi disebabkan keberatan publik dalam penerapan aturan pidana dalam UU ITE sebelumnya. Munculnya keberatan ketentuan pidana yang telah beberapa kali diajukan uji materi (judicial review) di mahkamah konstitusi, misalnya pasal 27 ayat 3 mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik, dan pasal 28 ayat 2 mengenai penyebaran informasi yang menimbulkan permusuhan, kebencian, dan mengandung unsur SARA.

Meski perubahan kedua terhadap UU ITE 2.0 memberikan wajah dan fitur baru UU ITE yang lebih progresif dan komprehensif, tapi koalisi masyarakat sipil untuk advokasi UU ITE tetap memberikan catatan terhadap amandemen kedua UU ITE ini. Sebab UU Nomor 1 Tahun 2024 ini dinilai belum menyelesaikan masalah, bahkan terkesan bertentangan dengan  kebebasan berekspresi di Indonesia.

Mengutip apa yang disampaikan oleh M.Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), bahwa revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah, seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu dan pemutusan akses. Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia (tirto.id, 7-01-2024).

Isnur juga menekankan, koalisi mengkritik keras upaya pembahasan revisi yang tertutup. Hal itu membuat publik minim ruang untuk terlibat dan mengawasi proses revisi. Mereka malah melihat isi revisi tidak menghilangkan masalah. (tirto.id, 7-01-2024)

Perubahan kedua atas UU ITE dipandang masih banyak mengandung pasal bermasalah yang dapat menjadi pasal karet yang dapat dimainkan untuk menyerang pihak tertentu.

Lemahnya UU

Kelemahan UU ITE sejatinya terjadi karena setiap UU yang lahir dalam sistem Demokrasi merupakan produk buatan manusia. Demokrasi telah memberikan kewenangan penuh manusia untuk mengatur kehidupan dalam berbagai aspek sekehendak mereka. Revisi UU yang kerap terjadi pada produk buatan manusia ini juga menunjukkan kelemahan peraturan tersebut. Alhasil, UU atau revisi UU yang dihasilkan seringkali digunakan pihak tertentu untuk meraih tujuan tertentu.

UU ITE misalnya, pasal karet dalam UU ini telah membuka peluang terjadinya kriminalisasi lawan politik. Bahkan umat Islam juga selalu dijadikan sebagai pihak tertuduh. Penerapan UU ini telah banyak memakan korban, mulai dari aktivis, politisi, hingga oposisi atas tuduhan menghina pejabat atau merencanakan makar. Tak ayal dikatakan, bahwa UU produk politik demokrasi seperti UU ITE hanya dijadikan alat pukul baru bagi siapa saja yang memberikan kritik kepada rezim yang sedang berkuasa. Atau dengan kata lain, UU ini hanya ditujukan untuk meneguhkan hegemoni penguasa atas rakyat. Sungguh UU yang didasari oleh akal manusia hanya menyusahkan kehidupan rakyat dan tidak akan berujung pada solusi atas persoalan manusia. 

Kesadaran akan rusaknya UU yang berlandaskan politik Demokrasi itu makin terwujud di tengah umat seiring dengan terbangunnya kesadaran mafhum riayah atas pengaturan urusan umat. Hal ini tidak lepas dari adanya partai Islam ideologis yang terus menyuarakan kebenaran. Alhasil, umat semakin menyadari, bahwa tidak terwujudnya kesejahteraan dan keadilan di negeri ini disebabkan oleh penerapan sistem demokrasi kapitalisme. 

UU dalam Islam

Sesungguhnya keadilan dalam mengatur masyarakat, hanya akan tegak dengan UU yang diatur oleh aturan Islam. Aturan Islam hanya bersumber dari Allah SWT Yang Maha Bijaksana. Jika aturan Islam benar-benar ditegakkan akan terwujud UU yang jauh dari konflik kepentingan. Apalagi aturan Islam dijalankan oleh penguasa yang bertakwa. 

Islam juga telah menempatkan penguasa sebagai pengurus urusan rakyat dengan menerapkan aturan Islam secara sempurna (kaffah). Sebab penguasa adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan kedaulatan tertinggi ada pada syariat. Ketetapan ini memastikan tidak ada perubahan (revisi) peraturan dalam negara yang menerapkan aturan Islam yakni Kh!l4f4h. Penerapan aturan Islam kaffah menjamin terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat serta menolak segala bentuk kezaliman. Sebab Allah Taala adalah Pencipta manusia yang paling mengetahui hakikat ciptaan-Nya. Sehingga hanya Allah yang berhak membuat aturan bagi manusia dan itulah aturan terbaik. 

Di dalam Islam, partai, masyarakat hingga media berperaan dalam aktivitas muhasabah (mengoreksi kesalahan) sesama muslim hingga penguasa. Inilah yang disebut amar makruf nahi munkar, yang menjadikan umat mendapat gelar umat terbaik dari Allah Swt.  
Bahkan Islam telah menempatkan amar makruf nahi munkar pada penguasa sebagai perkara terbesar, yakni mengoreksi kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat. Begitu mulianya amal ini, sehingga disebut oleh Rasulullah saw. sebagai j!had yang paling utama. 

Adapun media dalam Islam memiliki peran strategis, selain berperan mencerdaskan umat dan sebagai penyalur aspirasi rakyat, media juga berperan sebagai alat muhasabah perangkat negara. Pengaturan media dan penyampaian pendapat oleh rakyat dalam Kh!l4f4h ditujukan untuk menegakkan keadilan dan menjaga agar tetap berada dalam keridloan Allah Swt.[] [Ma]

Baca juga:

0 Comments: