Oleh. Ida Yani
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka butuh beras.
"Yang kita harapkan adalah kita ini ingin tidak impor beras lagi, tapi itu dalam prakteknya sangat sulit karena produksinya gak mencapai karena setiap tahun. Kita bertambah yang harus diberikan makan," kata Jokowi di acara Pembinaan Petani Jawa Tengah, Di Banyumas, Selasa ( 2/1/2024 ).
Menurut peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian, keputusan impor beras tahun ini tidak sesuai dengan data. Pasalnya, kebutuhan awal 2024 masih dapat dipenuhi dari sisa impor tahun lalu. Per Desember 2023, stok Bulog masih 1,6 juta ton, di ID Food kurang lebih 2 juta ton, dan di level daerah ada 6,7 juta. Artinya, stok beras awal tahun masih di atas 10 juta ton, sedangkan kebutuhan beras nasional per bulan berkisar hingga 2,5 juta ton. (CNN Indonesia, 10- 1- 2024)
Bahkan, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, pihaknya yang tersebar di berbagai wilayah akan berunjuk rasa menolak impor beras dalam 10 hari mendatang. (Ekonomi Bisnis, 9- 1- 2024)
Demikianlah fakta yang kita temui saat ini.
Apa yang dilontarkan penguasa, stok nyata, data kebutuhan dan tanggapan pihak selanjutnya tidak sejalan. Saling bertentangan satu sama lain. Bahkan yang lalu ada kejadian beras di bulog yang rusak penuh kutu, jelas bukti pengelolaan yang tidak benar.
Di kalangan pusat produksi beras negeri sendiri ( Petani ) kondisinya juga tidak lebih baik dari tahun ke tahun. Drama bersambung ini akan selalu terulang dari tiap episodenya.
Saat panen raya tengkulak yang bermain sebagai pemeran utama mempermainkan harga. Saat harga gabah tinggi hanya segelintir petani bisa menikmati.
Selebihnya dengan harga ala kadarnya sebagai upah jerih payah hampir empat bulan penantian, dengan kondisi tak pasti. Bisa panenkah ? Untung, rugi atau pas buat biaya tanam? Lebih drama lagi saat panen raya beras impor datang berduyun- duyun.
Dan otomatis harga gabah merosot.
Ironis sekali!
Mengapa bisa demikian?
Bukankah kita pernah jadi negara pengekspor beras yang mampu menyuplai ke luar negeri.
Pada masa itu pemimpin negeri ini selalu mendampingi para petani agar bersemangat dan berbangga sebagai negeri agraris yang subur makmur. Dan hasilnya sangat memuaskan. Tak cukup hanya swasembada pangan saja yang dicapai. Ekspor beras dari tahun ke tahun makin meningkat dengan berbagai upaya yang terus dikembangkan.
Itu masa lalu.
Saat ini kondisi makin tak pasti dengan adanya pembebasan tanah untuk pabrik dan pengelolaan pemerintah yang terasa asal- asalan. Semua ini dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang lebih mementingkan pemilik modal.
Para investor kaya jelas tak memikirkan masa depan negeri ini. Penguasa kitapun jadi abai karena kantong pribadi yang terisi pundi- pundi. Kondisi ini takkan pernah berhenti, hingga seluruh kekayaan dan jiwa tergadai tanpa sisa.
Jika serius ingin tidak impor beras lagi,
serta keluar dari kemerosotan kondisi negeri yang makin kritis, harus meninggalkan sistem ekonomi yang diemban saat ini.
Dengan tulus dan penuh keimanan menggantinya dengan sistem ekonomi Islami yang berbasis Syariat.
Memulai menata pengelolaan terhadap umat.
Jika saat ini semangat umat telah merosot karena pengaruh sistem kapitalis yang menjadikan uang sebagai standar kesenangan, ubah cara berfikir mereka.
Sedangkan cara Islam agar terwujud swasembada pangan tentu sangat unik.
Dimulai dari penguasa yang bertugas mengurus umat.
Beliau harus mengontrol mulai dari produksinya hingga distribusi.
Penyediaan pupuk diperhatikan, saat panen jangan sampai petani jatuh dalam permainan harga para tengkulak.
Akses bahan makanan pokok inipun juga harus dikelola dengan serius.
Jangan sampai didaerah produksi sendiripun ada yang terpaksa makan nasi jagung.
Dimulai dari RT yang berinteraksi langsung dengan umat, harus mendata dengan serius.
Jika saat ini masih ada bantuan yang salah alamat, maka harus dipastikan hal ini tidak terjadi. Bagi rakyat yang tidak mampu membeli mendapatkan subsidi yang tepat sasaran, hingga mampu.
Ketika swasembada pangan telah terwujud Negara tidak serta-merta menjual beras keluar negeri, tapi dipertimbangkan terlebih dahulu stok untuk dalam negeri, jika ada kemarau panjang, atau terjadi bencana.
Setelah dirasa cukup dan aman untuk dikonsumsi sendiri, baru boleh dijual ke pihak luar, dengan syarat negara tersebut tidak memusuhi Islam.
Untuk memompa semangat agar rajin mengerjakan tanah pertanian. Syariat Islam mengganjar pahala yang besar pada orang yang dapat menghidupkan tanah mati (ihya' al - mawat).
"Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia akan mendapatkan pahala padanya. Dan apa yang dimakan oleh ' awafi, maka ia adalah sedekah baginya." (HR Ad - Darimi dan Ahmad).
Syariat Islam juga menetapkan bahwa kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah tersebut ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah tersebut dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengelola. Khalifah Umar bin Khattab pernah menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al- Harits al- Muzni yang ditelantarkan tiga tahun.
Dengan mendampingi umat, memberikan pelayanan yang maksimal, serta mengelola mulai awal tanam, hingga hasil panen agar bisa memenuhi kebutuhan rakyat.
Pastinya tidak akan hanya sekedar mampu mengembalikan kenangan masa lalu berupa swasembada pangan dan ekspor beras saja. Tapi juga ketahanan pangan yang tangguh saat terjadi kemarau panjang dan masalah lain yang timbul di kemudian hari.
Seorang pemimpin Islam akan sangat amanah membawa rakyat menuju kegemilangan, dengan berbagai upaya yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Dengan ketangguhan ketahanan pangan kedaulatan makin terjaga, gemah ripah loh jinawi tata tentrem Kerto Raharjo otomatis terlaksana. Allahu Akbar. [Rn]
0 Comments: