OPINI
Tabrakan Kereta Terjadi Lagi, Apa yang Harus Dibenahi?
Oleh. Thaifah Zhahirah (Pendidik dan Pegiat Literasi)
Tabrakan kereta terjadi lagi. Kali ini antara Kereta Commuterline Bandung 360 dengan Kereta Api (KA) Turangga PLB 65A pada pukul 06.30 WIB hari Jumat (5/1/2014) yang lalu di jalur tunggal antara Stasiun Haurpugur dan Stasiun Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dilaporkan terdapat empat orang korban jiwa, sementara 37 orang lainnya dalam keadaan luka-luka (bbc.com, 5/1/2024).
Kabar ini tidak hanya diliput oleh media dalam negeri, namun media asing juga turut menyorotinya. Di antaranya adalah Agence-France-Presse (AFP) yang melaporkan jumlah korban tewas dan luka-luka dan BNN Breaking yang berbasis di Hongkong yang menuliskan bahwa penyebab kecelakaan tersebut akibat infrastruktur yang sudah menua. Atikel tersebut memaparkan bahwa jaringan kereta api yang sistem dan peralatannya ketinggalan jaman khususnya di pelintasan kereta api telah menjadi penyebab seringnya terjadi kecelakaan. Ketika bergulat dengan tragedi tersebut Indonesia membutuhkan infrastruktur perkeretaapian yang modern, aman, dan efisien sebagai prioritas utamanya (cnbcindonesia.com, 5/1/2024).
Sementara itu menurut pakar transportasi ITB, Ir. R. Sony Sulaksono Wibowo, M.T., Ph.D., dari Kelompok Keahlian Rekayasa Transortasi, Fakultas Teknis Sipil dan Lingkungan (FTSL), masih adanya jalur tunggal (single track) di jalur kereta api di Indonesia menjadikan jalur tersebut rawan kecelakaan dengan berbagai sebab. Biasanya karena sinyal dan komunikasi, mengingat prosedur dalam single track yang mengharuskan kereta api melewati jalur secara bergantian (itb.ac.id, 5/1/2024).
Apa Sebenarnya yang Harus Dibenahi?
Tidak dapat dipungkiri bahwa infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai adalah faktor yang berperan dalam mewujudkan transportasi kereta api yang aman dan nyaman. Namun ternyata masalah ini tidak sampai di situ saja, melainkan berkaitan dengan banyak hal dan beragam kepentingan. Mewujudkan layanan terbaik selain perlu dana yang cukup, juga perlu sudut pandang yang tepat bagi pemangku kebijakan dalam menjalankan perannya terhadap masyarakat.
Pemangku kebijakan dalam hal ini adalah penguasa memiliki tanggung jawab menfasilitasi kebutuhan rakyat dengan orientasi menjaga keberlangsungan kehidupan mereka. Setiap nyawa rakyat akan sangat berharga dan tidak akan dibiarkan hilang karena ketidaklayakan sarana dan prasarana maupun menejemen pengelolaannya. Namun apa yang kita dapati hari ini adalah fakta bahwa negara tidak menjadikan kemaslahatan rakyat sebagai hal yang utama, melainkan untung rugi. Negara dengan sistem kapitalisme yang diusungnya tidak memegang kendali pengelolaan secara mandiri, melainkan melibatkan pemodal dari kalangan swasta dan asing dalam pengadaannya yang sudah pasti sudut pandang para kapital adalah profit oriented.
Maka menyelesaikan masalah transportasi tidak cukup hanya dengan menambah dana dan meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia (SDM) nya saja, melainkan juga diperlukan perubahan konsep peran penguasa terhadap rakyatnya. Hal ini tidak akan mungkin terjadi jika negara masih mengambil sistem kapitalisme sebagai landasannya.
Islam sebagai sebuah sistem adalah jawaban yang tepat atas persoalan tersebut. Islam memandang bahwa pemimpin adalah pelayan (ra’in) bagi rakyatnya. Mereka akan diminta petanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya kelak di hari akhirat. Kesadaran tentang hal ini membuat setiap pemimpin, siapapun orangnya, akan memiliki rasa takut yang besar jika lalai dalam kepemimpinan dan pengurusannya. Ketika Islam menetapkan bahwa setiap nyawa sangat berharga, maka pemimpin dalam Islam akan memastikan penjagaan terhadapnya, termasuk dalam masalah trasportasi. Keselamatan penumpang dalam kondisi apapun akan senantiasa diperhatikan. Itulah alasan mengapa dalam sejarahnya sepanjang kepemimpinan Islam ditegakkan transportasi yang aman mampu diwujudkan.
Hal ini juga mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh salah seorang sahabat yang mulia yang juga pernah menjadi Khalifah yakni Umar bin Khattab ra. tentang kekhawatiran beliau terhadap jalan yang berlubang saat kepemimpinannya, “Andaikan ada seekor binatang melata di wilayah Irak yang kakinya terprosok di jalan, aku sangat takut Allah akan meminta pertanggungjawabanku karena aku tidak memperbaiki jalan tersebut.” (‘Abdul Qadim Zallum dalam Afkaar Siyaasiyah).
Masya Allah. [Rn]
0 Comments: