Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Irul

Ibu, aku bersyukur kepada Allah, karena telah lahir dari rahimmu, wanita sederhana yang tinggal di desa. Dari sebuah desa yang sangat jauh dari kota, membuatmu terdidik pola hidup sederhana nan bersahaja.

Dengan cara itu pula engkau didik kami, anak-anakmu, termasuk aku _si tukang ngeyel_ dalam keluarga. Dengan kondisi yang serba kurang, engkau rela bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan anak-anakmu yang masih kecil-kecil. Bapak yang membanting tulang di sawah dan ladang, sementara engkau masak nasi seadanya demikian pula lauknya. Nasi tiwul menjadi pilihan smart di tengah kondisi keluarga yang kepepet atau serba kekurangan kala itu. 

Namun kondisi tersebut tidak menyurutkanmu terus membimbing kami berlima. Engkau juga tetap setia mendampingi bapak yang mencari nafkah dengan hasil yang sangat minim.

Tak nampak engkau berkeluh kesah, tatkala tiba giliran anak-anakmu harus minta macam-macam, karena tuntutan sekolah ditempat kami sekolah dahulu. 

Saat itu aku mengira, bahwa hidup sederhana itu karena keadaan yang memaksa. Kefakiran yang mengharuskan hidup sederhana. Tapi nyatanya setelah tua aku belajar Islam, sederhana itu ajaran Islam, agama mulia dari Sang Maha Pencipta. Gaya hidup sederhana telah dicontohkan Baginda Nabi Muhammad saw. Misalnya terkait makanan/minuman rambu-rambunya adalah firman-Nya,
" Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah: 168).

Jelas sekali bahwa makanan dan minuman standarnya adalah halalan toyyiban (halal dan baik). Dan makanan yang halal dan baik itu tidak harus mahal dan mewah. Demikian juga, pakaian, pakaian terbaik itu adalah pakaian takwa. Bukan yang lain. Ini titah-Nya,
" Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat. (QS. Al-A'raf: 26).

Dan pakaian takwa bagi seorang perempuan adalah menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Asal semua tertutup, tidak ketat dan tidak menerawang cukuplah menjadi pakaian kita, kaum muslimah. Juga yang perlu diperhatikan, pakaian tersebut tidak potongan, harus berbentuk lorong tanpa putus, sebagaimana QS. Al-Ahzab: 59.

Jadi tidak perlu mahal dan mewah. Misalnya mau memilih yang mahal, boleh asal mampu dan  tidak melanggar syari'at. Namun karena aku sudah terbiasa sederhana dari kecil, meski kala itu terpaksa, ternyata hal itu menjadi habbits hingga kini. Lebih baik sisanya untuk hal yang lebih bermanfaat untuk orang lain agar mendapat pahala di sisinya, itu yang terpikir olehku saat ini.

Kini aku lebih PeDe dan memilih dengan hidup sederhana, termasuk dalam mendidik anak-anakku, karena sabda Nabi Muhammad saw. berikut ini, "Barangsiapa yang meninggalkan pakaian yang bagus disebabkan tawadu (merendahkan diri) di hadapan Allah, sedangkan ia sebenarnya mampu, niscaya Allah memanggilnya pada hari kiamat di hadapan segenap makhluk dan disuruh memilih jenis pakaian mana saja yang ia kehendaki untuk dikenakan." (HR At-Tirmidzi).

Anjuran hidup sederhana dalam memenuhi kebutuhan makan juga langsung diperintahkan oleh Allah Swt. berikut ini,
" Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan (QS. Al-A'raf: 31).

Dan hal itu tidaklah sulit bagiku sebab telah terbiasa di waktu kecil dahulu. Sesuatu yang terpaksa di awal-awal akan menjadi habbits di kemudian hari. Dan tatkala sesuatu itu baik atau sesuai Islam, maka harus dipertahankan, jika berlawanan dengan Islam meski telah mentajasat harus segera dilepaskan dan dihilangkan.

Demikian pula kebiasaan yang telah diajarkan di komunitas dakwah Islam idiolog1s misalnya, menjadikan dakwah sebagai poros hidup. What? Awalnya mungkin berat, terpaksa, kethetheran loyo, tanpa semangat, tanpa ruh dan tanpa girah pejuang sama sekali. Bagaimana mau berdakwah, mengurusi orang lain? Mengurusi urusan diri sendiri dan keluarga saja sudah ribetnya tidak ketulungan. Urusan domestik saja tidak kelar-kelar, bagaimana mau mengurusi luar wilayah, begitu yang terlintas di benak, pada awal-awal belajar.

Tapi karena terus menerus hal itu dilakukan, maka sesuatu/dakwah itu menjadi ringan dan tak merasa beban sama sekali. Bahkan berubah menjadi sesuatu yang paling dirindu dan ditunggu. Kalau belum berdakwah, ada yang kurang, ibarat sayur tanpa garam. Hambar! Wuih, itulah pentingnya memulai membentuk habbits. Hal positif harus dipaksa agar menjadi habbits/kebiasaan. 

Termasuk masalah kesederhanaan dalam memenuhi kebutuhan hidup, ternyata perlu pemaksaan terlebih dahulu, baru nanti terbiasa, tapi harus ada pemahaman/ilmu yang masuk hingga mampu menyentuh relung hati juga. Dan ini juga penting, disamping kebiasaan. Bahkan kedudukan ilmu ini lebih tinggi dibanding kebiasaan. Akan sangat disayangkan beramal/beraktivitas, namun dorongannya bukan karena dorongan ilmu Islam/keimanan. Sangat disayangkan! Di akhirat tidak bisa menuai hasilnya. 

Nah kembali ke masalah hidup sederhana, sebagaimana ibuku dulu mengajariku gaya hidup sederhana, hingga kini akhirnya menjadi habbits aku dan keluargaku lantaran didikan Ibuku tercinta, juga karena Allah mampukan dan istiqamahkan berada dalam kesederhanaan. 

Terima kasih Ibu, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan kebaikan di dunia dan akhirat. Teriring do'a, “Tuhanku, ampunilah dosaku dan (dosa) kedua orang tuaku. Sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu aku kecil.”
Aamiin yaa Robbal'aalamiin.

Wallahualam bishawab
[Hz]

Baca juga:

0 Comments: