OPINI
Waspada Terjebak Politik Uang Jelang Pemilu
Oleh. Ummu Faiha Hasna
(Pena Muslimah Cilacap)
Tahun ini, isu besar menjelang pemilihan umum dalam pemilu 2024 adalah "serangan fajar" alias politik uang. Di saat uang memainkan peran dominan dalam politik, maka suara rakyat menjadi terpinggirkan. Fenomena ini merajalela di banyak negara di seluruh dunia. Sehingga menjadi tantangan bagi demokrasi dan mengancam integritas politik di berbagai belahan dunia.
Menurut catatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ditemukan adanya tren peningkatan pembukaan rekening baru menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Tak tanggung-tanggung, telah tercatat ada sekitar tujuh ratus empat juta pembukaan rekening baru.
Sementara itu, dilansir dalam liputan6.com, 11/1/2024, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan acuan pembukaan rekening terlihat dari ‘Customer Identification Form’ (CIF). Dia menduga pembukaan rekening ini berkaitan dengan konstelasi politik. Dia melihat ada 704.068.458 CIF terbuka di 2022 sampai trimester 3 di 2023 sampai September. Jadi totalnya ada 704 juta rekening baru terbuka. Itu dibuka oleh korporasi 53 juta, lalu oleh individu 650 juta. Ini tidak ada yang salah," ungkap Ivan dalam Konferensi Pers, di Kantor PPATK, Jakarta, dikutip Kamis (11/1/2024).
Bahaya di Balik Pendanaan
Aliran dana pemilu dari berbagai pihak termasuk asing menunjukkan pemilu saat ini berpotensi sarat kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan. Umat harus waspada terhadap bahaya di balik pendanaan tersebut yaitu tergadainya kedaulatan negara. Sehingga pemimpin yang terpilih tidak mengurusi urusan umat melainkan memuluskan agenda-agenda atau kepentingan pihak-pihak yang telah memberi pendanaan.
Hanya saja, sejatinya kondisi tersebut sudah nyata terjadi. Umat dapat melihat arah pembangunan penguasa ini justru semakin memperbesar investor asing seperti kereta api cepat, proyek Rempang Eko City, dan infrastruktur lainnya. Undang-Undang Minerba semakin liberal yang membuat korporat swasta semakin beringas mengeruk kekayaan negeri ini, dan masih banyak kepentingan intervensi asing, bahkan konflik kepentingan para penyokong yang tengah berlangsung. Semua menjadi satu keniscayaan mengingat politik demokrasi berbiaya tinggi.
Legalisasi kepemimpinan dalam demokrasi berdasarkan suara mayoritas. Karena itu diperlukan dana besar untuk meraup suara. Di sinilah peluang pemilik modal untuk berpartisipasi dalam pemilu, dan tentunya setelah mengucurkan dana mereka pasti ingin mendapatkan bagian. Akibatnya, parpol dalam sistem demokrasi kehilangan idealismenya bahkan rawan dibajak oleh kepentingan pemodal. Bahkan, siapa pun yang terpilih, maka oligarkilah pemenangnya. Bila pemilu demokrasi hanya akan melahirkan penguasa oligarki, berbeda halnya dengan pemilu dalam sistem Islam yakni Kh!l4f4h.
Pemilu Bukan Metode Baku Pengangkatan Kepala Negara
Dalam aturan Islam, pemilu sendiri bukanlah metode baku kepala negara melainkan cara atau uslub saja. Hal ini karena dalam Islam, metode baku pengangkatan kepala negara sendiri adalah ‘bai'at syar'i’. Dalam kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al Minhaj karya Imam an Nawawi, Juz VII hal. 399 dikatakan, bahwa, "Akad Imamah (Khalifah) sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya dari ‘Ahlul Halli wal 'Aqdi’ yang mudah untuk dikumpulkan."
Selain itu, dalam kitab Ajzizah Daulah terdapat penjelasan bagaimana berlangsung pemilu besar di dalam sistem Islam. Hal tersebut terjadi ketika proses pengangkatan Utsman menjadi seorang pemimpin (kh4lifah). Pada masa itu, kh4lifah Umar bin Khaththab mengalami sakit keras akibat penusukan terhadap beliau. Kaum muslimin meminta beliau untuk menunjuk penggantinya namun kh4lifah Umar menolaknya. Kemudian kaum muslimin terus mendesak hingga beliau menunjuk enam orang sebagai penggantinya atau ‘(al-ahd, al Istikhlas)’ dan memerintahkan mereka agar memilih salah seorang mereka untuk menjadi kh4lifah setelah beliau meninggal dalam jangka waktu tertentu, maksimal tiga hari.
Kemudian, setelah kh4lifah Umar wafat, beberapa orang calon kh4lifah itu melakukan pemilihan (ikhtiar) terhadap salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah. Di sinilah proses pemilu ‘(al intikhab)’ sebagaimana mestinya itu dilakukan. Pada masa itu terpilih nama Ali dan Utsman sebagai calon kh4lifah. Dari dua nama ini, Abdurrahman bin Auf menanyakan pendapat kaum muslimin siapa yang mereka kehendaki di antara kedua orang itu, yakni Ali atau Utsman? Beliau bertanya kepada kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Beliau melakukannya bukan hanya pada siang hari, tetapi juga pada malam hari.
Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalur al Miswar bin Muhrimah yang berkata, "Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam. Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Ia berkata, "Aku melihat engkau tidur, demi Allah, janganlah engkau menghabiskan tiga hari ini yakni tiga malam dengan banyak tidur. Hingga terpilihlah Utsman bin Affan sebagai kh4lifah. Kemudian melakukan baiat "in'iqad” kepada calon terpilih itu untuk menjadi kh4lifah dan dilakukan baiat “tha'at” oleh umat secara umum kepada kh4lifah. Atas dasar baiat kaum muslimin itulah Utsman menjadi kh4lifahz bukan ketika proses penunjukkan enam orang sebelumnya.
Dalam kitab Asy-Syakhshiyah al- Islamiyah Juz 2, bab syarat-syarat khalifah, Syekh Taqiyuddin menjelaskan bahwa seorang kh4lifah wajib memenuhi tujuh syarat agar ia berkompeten memangku berbagai tugas ketatanegaraan dan agar baiat pengangkatan dilakukan. Tujuh syarat tersebut antara lain harus orang Islam. Maka orang kafir tidak boleh dipilih menjadi pemimpin. Selain itu, harus seorang laki-laki, balig, berakal, adil, status merdeka, dan mampu mengemban tugas-tugas kekh4lifahan.
Dalam sistem Kh!l4f4h, seorang pemimpin dipilih bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum buatan manusia, tetapi untuk menjalankan hukum Allah ta'ala.
Kewajiban seorang penguasa (al-Hukkam) adalah menerapkan syariat Islam semata. Hal ini berdasarkan QS. Al-Maidah ayat 48-49. Penguasa haram menjalankan hukum yang bukan syariat Islam sebagaimana pemimpin dalam sistem demokrasi saat ini, hal ini juga berdasarkan QS. Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47.
Maka, oleh karena itu, pemilihan umum dalam tata aturan Islam hanya sebagai uslub betul-betul memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam. Begitu pula proses pemilihan pemimpin, berjalan dengan sederhana, efektif, efisien, dan pastinya hemat biaya. Wallahualam. [Ni]
0 Comments: