Headlines
Loading...
Caleg Rawan Gangguan Mental: Dampak Rusaknya Pendidikan dalam Sistem Demokrasi

Caleg Rawan Gangguan Mental: Dampak Rusaknya Pendidikan dalam Sistem Demokrasi

Oleh. Endang Suryowati S.Pd (Aktivis Dakwah Muslimah Pasuruan)

Jelang Pemilu 2024, sejumlah rumah sakit jiwa siapkan ruangan untuk menerima caleg yang gagal dan mengalami depresi.
Belajar dari tahun-tahun sebelumnya, kini sejumlah rumah sakit jiwa mengaku sudah melakukan persiapan.
(trends.tribunnews.com, 28/11/23)

Seperti halnya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdoer Rahem Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur. Mereka akan menyiapkan kamar pasien bagi peserta Pemilu 2024 yang mengalami depresi dan gangguan kejiwaan. Direktur RSUD Abdoer Rahem dr Roekmy Prabarini menyatakan pihaknya siap menampung pasien yang mengalami sakit jiwa atau gangguan jiwa bagi calon legislatif yang gagal dalam Pemilu 2024. (kompas.com, 28-11-23)

Rumah Sakit Oto Iskandar Dinata, Soreang, Bandung Jawa Barat, juga salah satu rumah sakit yang menyiapkan ruangan khusus untuk caleg yang mengalami gangguan mental.
Tidak hanya itu, pihak RS Oto Iskandar Dinata juga menyiapkan dokter spesialis jiwa dan bagi calon legislatif yang stres usai mengikuti kontestasi Pemilu 2024. (www.kompas.tv, 24-11-23)

Tak dipungkiri, gagal dalam Pemilu para caleg bisa saja mengalami gangguan kejiwaan, karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh calon anggota legislatif. Biaya pemilu 2024 kali ini bakal lebih besar dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Ketatnya persaingan serta antisipasi kecurangan menjadi sejumlah faktor yang berpengaruh. 

Besarnya biaya politik saat mengikuti pemilihan anggota legislatif (pileg) salah satunya diakui oleh Habiburokhman, anggota Fraksi Partai Gerindra di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu mengatakan mengeluarkan biaya untuk kampanye hingga Rp 2 miliar saat berkontestasi di Daerah Pemilihan (Dapil) Jakarta I pada Pemilu 2019. Dari total dana tersebut, sebagian memang digunakan untuk membeli alat peraga.

Misalnya, pembelian kaus yang idealnya sama dengan jumlah pemilih. Di Dapil Jakarta I, kata Habiburokhman, ada sekitar 31.000 pemilih. Dengan hitungan sederhana, biaya pembelian kaus saja bisa mencapai Rp 3,1 miliar. Belum lagi ditambah dengan biaya pembuatan baliho dan alat peraga lain. Di luar itu, ada pembiayaan yang tak bisa ditawar, yakni biaya operasional para saksi untuk mengawal perolehan suara. (www.kompas.id, 7-12-23)

Pemilu hari ini berbiaya tinggi, sehingga pasti membutuhkan perjuangan dengan mengerahkan segala macam cara untuk meraih kemenangan. Di sisi lain, hari ini jabatan menjadi impian, karena dianggap dapat menaikkan harga diri atau prestige, juga jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan/fasilitas lainnya. Itulah hasil pendidikan sekuler kapitalisme yang orientasinya adalah untuk mendapatkan materi dan kesenangan dunia semata. Kosong dari nilai-nilai ruhiah. Pendidikan inilah yang mempengaruhi rapuhnya mental seseorang hari ini.

Pandangan Islam Terhadap Jabatan 

Rasulullah saw. menegaskan bahwa jabatan adalah amanah yang wajib dijaga.
Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangan di bahuku, dan bersabda, 'Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari menyerah, kecuali orang yang menarik dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya). (HR Muslim)

Ketika Umar bin Abdil Aziz didaulat dan dibai'at oleh kaum muslimin untuk menjadi khalifah menggantikan khalifah sebelumnya yang wafat, yaitu Sulaiman bin Abd Malik, semula ia dengan tegas menolak. Tetapi karena terus didesak oleh kaum muslimin, terpaksa juga ia menerima sambil mengucap istirja' (mengucap: inna lillahi wa innaa ilaihi raji'un) seperti ucapan orang yang ditimpa musibah, dan bukannya mengucapkan alhamdulillah seperti layaknya orang yang baru menerima penghargaan dan anugerah satu nikmat atau rahmat. Ia berpidato: "Demi Allah, ini sama sekali bukanlah atas permintaanku, baik secara rahasia ataupun terang-terangan." Kemudian Umar naik ke mimbar dan berkata : "Wahai manusia sekalian, dengan ini aku telah dibebani tanpa diminta pendapatku terlebih dahulu, dan tidak pula atas permintaanku sendiri, dan tidak juga atas musyawarah kaum muslimin. Aku membebaskan tuan-tuan dari baiat yang telah tuan-tuan ucapkan, sebab pilihan untuk menjadi khalifah adalah siapa yang disukai". Tetapi baru saja Umar turun dari mimbar, hadirin berseru dengan sempak, "Kami telah memilihmu !". Lalu mereka semua datang menemui Umar dan menyatakan baiat sumpah setia kepadanya.

Pandangan Islam tentang kekuasaan ini akan menjadikan seorang muslim tidak akan mudah menerima jabatan karena besarnya pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak.

Pendidikan dalam Islam (Khilafah)

Pendidikan dalam Islam akan menghasilkan pribadi-pribadi yang tangguh, tidak mudah stres dan jauh dari gangguan mental 

Sistem pendidikan Islam—sistem pendidikan Khilafah—adalah satu-satunya ruang yang dipenuhi keselamatan dari berbagai perbuatan maksiat atau dosa besar, di samping berlimpahnya kelembutan dan kasih sayang. Ini karena adanya sejumlah karakter istimewa yang menyatu dengannya. Berikut beberapa karakter dilansir dari muslimahnews.net:

Pertama, karakter sistem pendidikan Khilafah sebagai satu kesatuan dengan seluruh sistem Islam, yakni sebagai petunjuk agar manusia selamat dari perbuatan dosa, di samping bersifat pembawa rahmat. 

Penerapan sistem pendidikan Khilafah menjadikan satuan pendidikan steril dari nilai materi dan penuh dengan nilai spiritual, moral, dan kemanusiaan. Ini adalah kunci rahasia terwujudnya lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, terhormat, dan bermartabat bagi keberlangsungan proses belajar-mengajar.

Kedua, sifat tujuan utama keberadaan masyarakat Islam yang menerapkan secara praktis sistem pendidikan Khilafah akan menjadikan lingkungan pendidikan terliputi berbagai tujuan mulia, yakni terjaganya kelestarian ras manusia, akal, dan kemuliaan jiwa manusia. Inilah puncak tujuan masyarakat Islam sebagai ketentuan dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Khilafah begitu berhati-hati dari kelalaian pelaksanaan syariat; tidak menoleransi pelanggaran syariat sekecil apa pun dengan penegakan sanksi sesuai syariat. Sanksi ini bersifat berefek jera bagi pelakunya dan pencegah orang lain melakukan tindakan kriminal yang sama 

Ketiga, karakter filsafat amal menurut Islam menjadi jiwa pelaksanaan praktis sistem pendidikan Islam sebagaimana sistem Islam keseluruhan, yakni wujud keterikatan pada syariat-Nya dengan dorongan meraih rida-Nya.

Walhasil, aspek ruhiah—kesadaran hubungan dengan Allah Taala—senantiasa hadir di segenap aktivitas dalam satuan pendidikan. Atmosfer ketakwaan pun begitu dominan melingkupi lingkungan pendidikan. Hal ini tampak dari praktik sistem pendidikan Khilafah itu sendiri sebagai wujud kuatnya keterikatan terhadap Islam. 

Keempat, karakter berbagai unsur pembentuk sistem pendidikan Khilafah sedari dasarnya (akidah Islam yang sesuai fitrah insaniah dan memuaskan akal) menjadi upaya praktis bagi terwujudnya dua tujuan pokok sistem pendidikan Khilafah. Dua tujuan itu adalah membangun kepribadian Islam (akliah dan nafsiah) anak-anak umat, serta untuk mempersiapkan agar di antara mereka lahir para ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan. 

Kelima, penerapan secara praktis aturan syariat terkait interaksi laki-laki dan perempuan di satuan pendidikan. Misalnya, pemisahan murid laki-laki dan perempuan, serta ketentuan lain yang secara praktis mencegah terjadinya suasana kerendahan perilaku dan penyimpangan hukum syariat. ” … (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah: 50).

Kelima karakter istimewa sistem pendidikan Khilafah dan Negara Khilafah itu sendiri menjadikan para pemuda (sebagai peserta didik, guru, dosen, penguasa, dan segala peran bagi pelaksanaan) secara praktis terhindar dari kerendahan berpikir, serta kerendahan berperasaan dan bertingkah laku. 

Dengan sendirinya, semua ini menjauhkan satuan pendidikan dari segala keburukan dosa dan maksiat. Hampir mustahil ditemukan praktik pergaulan bebas, kekerasan seks, perundungan, dan berbagai bentuk aktivitas rendah dan hina lainnya seperti rakus akan jabatan dan kekuasaan. [My] 

Baca juga:

0 Comments: