Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Hamid 

Hanya tinggal menghitung hari pesta akbar demokrasi akan digelar. Berbagai alat peraga kampanye sudah berhamburan di sepanjang jalan. Euforia pendukung pasangan calon yang seakan terkotak-kotak dalam beberapa kelompok tertentu sesuai partai yang didukungnya. Kuota kursi caleg yang tidak banyak itu pun saling diperebutkan dengan segala upaya.

Para caleg memiliki harapan yang begitu tinggi untuk bisa menang di pemilu 2024 ini. Namun, kenyataannya tidak sesuai ekspektasi, tidak semudah itu berebut kekuasaan di panggung demokrasi. Tak jarang, terjadi gangguan mental para caleg yang gagal setelah pemilu. Hal ini merupakan bagian mekanisme pertahanan psikologis, banyak dari mereka merasa cemas, gelisah, putus asa, tidak ada harapan, sedih, mudah marah, halusinasi, dan delusi, sungguh miris sekali.

Jangan lupakan bagaimana sikap sejumlah rumah sakit yang ada di negeri ini. Para ahli telah menyiapkan ruangan khusus untuk mengantisipasi caleg yang mengalami stres atau gangguan jiwa akibat gagal dalam pemilihan legislatif, dan fenomena ini telah terjadi di pemilu-pemilu sebelumnya. Seperti dikutip dari pernyataan anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz, “Belajar dari situasi dan kondisi di pemilu-pemilu sebelumnya, kecenderungan orang stres meningkat pasca pemilu.” (detiknews.com, 26/1/24).

Kapitalisme Sekuler Penyebabnya

Pemilu yang ada pada negara demokrasi kapitalis ini tidaklah murah, butuh biaya tinggi hingga tak sedikit yang mengerahkan segala cara untuk meraih kemenangan. Biaya yang harus dikeluarkan para caleg menurut riset dari lembaga Prajna Research Indonesia (2023) sebagai berikut: Calon anggota DPR RI Rp1 miliar–Rp2 miliar. Calon anggota DPRD Provinsi Rp500 juta–Rp1 miliar. Calon anggota DPRD kabupaten/kota Rp250 juta–Rp300 juta.

Biaya politik yang teramat tinggi itu pada akhirnya menjadikan keniscayaan bagi beberapa oknum anggota dewan untuk korupsi. Sementara, bagi calon legislatif yang gagal, mereka akan menanggung utang yang besar. Hal ini terjadi karena kemampuan finansial mereka sebenarnya terbatas, namun biaya yang dikeluarkan untuk kampanye sangat tinggi.

Selain itu dalam sistem kapitalis, jabatan dan kedudukan merupakan impian bagi mayoritas orang. Karena dengan jabatan dan kedudukan dapat menaikkan prestise atau harga diri seseorang di tengah masyarakat. Kemudian hal ini menjadi jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan berbagai fasilitas dari negara.

Oleh karena itu, para caleg harus punya mental kuat agar bisa legowo atas hasil pemilu yang bisa saja tidak sesuai harapan. Caleg yang rentan mengalami gangguan jiwa biasanya caleg yang tidak mempunyai tujuan jelas, kemudian ia gagal. Mereka yang mencalonkan diri hanya demi bisa berada di lingkar kekuasaan, meraih materi, namun berujung kekalahanlah yang mengalami persoalan dengan kejiwaannya. Ada anggapan bahwa kekuatan mental seseorang dipengaruhi oleh sistem pendidikan. Namun faktanya sistem pendidikan dalam sistem kapitalis ini terbukti mandul dalam mencetak individu yang berkepribadian kuat.

Asas sistem kapitalisme sekuler memisahkan agama dari kehidupan, berarti mengesampingkan nilai-nilai agama dalam kegiatan pembelajarannya. Sistem pendidikan yang ada selama ini hanya mampu mengasah keterampilan dan kecerdasan, akan tetapi gagal dalam mengasah kebajikan adab, ketinggian moral, dan kekuatan mental. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kasus gangguan mental yang ada di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, selama negara ini masih menerapkan sistem kapitalisme sekuler,  maka gangguan mental para caleg yang gagal dalam pemilu akan tetap ada.

Islam Kafah Solusi Tuntas

Jabatan di dalam sistem Islam adalah sarana untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Akan tetapi jabatan hanya sarana, bukan sebuah tujuan. Oleh karena itu, siapa saja yang telah mendapatkan sarana tersebut dan tidak menggunakannya untuk mencapai tujuan, maka kebahagiaan tidak akan diperoleh. Jabatan merupakan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. dan wajib dijalankan sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah Swt. akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin tentang jabatannya, apakah ia menjaganya atau menyia-nyiakannya.” (HR. Ibnu Hibban)

Islam memiliki sistem pendidikan yang memiliki visi jelas, yaitu mencetak generasi dengan pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam (syakhshiyyah Islamiah). Kurikulum yang diterapkan berlandaskan akidah Islam, maka akan lahir generasi yang tinggi akhlaknya, cerdas akalnya, dan kuat imannya. Sistem pendidikan dalam Islam juga akan melahirkan individu yang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah, beriman pada qada dan qadar yang ditetapkan Allah. Dengannya akan terbentuk pribadi yang pandai bersyukur dan sabar sehingga terhindar dari gangguan mental.

Islam juga menjadikan halal dan haram sebagai standar dalam menjalankan proses pemilihan, tidak akan terjadi politik kotor, curang, atau manipulatif karena setiap aktivitas berlandaskan pada keimanan. Kekuasaan bukanlah sarana meraih materi duniawi, melainkan untuk menerapkan hukum Allah demi meraih rida Allah Swt.

Untuk itu perlu sekali mengedukasi umat akan pentingnya politik Islam yang akan melahirkan aturan kehidupan sesuai dengan fitrah manusia. Wallahualam. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: