Headlines
Loading...
Oleh. Nadia Ummu Ubay (Pendidik, Muslimah Semarang)

Indonesia menjadi salah satu negara yang subur dan banyak sekali produksi oksigen karena keberadaan hutan. Hutan primer tropisnya sendiri disebut sebagai hutan berusia tua yang memiliki cadangan karbon besar serta kaya keragaman hayati. Namun, dalam dua dekade ini, Indonesia menjadi negara paling banyak kehilangan hutan primer tropis.

Ya, di Indonesia telah terjadi deforestasi. Deforestasi merupakan perubahan lahan hutan menjadi non hutan secara permanen, seperti dijadikan pemukiman, pembangunan, perkebunan, atau lainnya.

Catatan Akhir Tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) wilayah Sumatera, mengatakan Riau mengalami deforestasi  di tahun 2023 sebanyak 20.698 hektare, angka yang lebih luas dari rata-rata. Pada tahun yang sama hanya tersisa 1.377.884 hektare, karena kurang lebih 57 persen daratan di Riau telah dikuasai investasi. (CNNIndonesia.com, 12 /1 / 2024).

Deforestasi ini disebabkan oleh diberikannya hak dari pemerintah kepada para investor. Terdapat 273 perusahaan kelapa sawit dengan izin, 55 Hutan Tanaman Industri (HTI), 2 Hak Pengusahaan Hutan (HPH), 19 pertambangan.
 
Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa pemerintah akan memutihkan 3,3 juta hektare kebun sawit di kawasan hutan sesuai dengan acuan UU Ciptaker. Hal ini semakin mengancam keberadaan hutan di Indonesia.

Hutan Terancam, Kapitalisme Biangnya

Hutan yang menjadi sumber kehidupan banyak makhluk hidup keberadaannya semakin sempit dan terkikis. Penggunaan yang tidak sesuai fungsi, hingga berakhir hanya memikirkan untung rugi.

Sejatinya hutan menjadi milik bersama atas pengelolaan penguasa. Namun kini menjadi penguasa atas dasar kepentingan. Bahkan yang tidak memiliki kuasa pun turut mengelola atas dasar kepentingan dan izin semata. Sedangkan rakyat tidak leluasa untuk menikmati keberadaan hutan. Hutan seharusnya menjadi kebutuhan, bisa dimanfaatkan dan difungsikan.

Penggunaan, hak milik, serta penyalahgunaan keberadaan hutan ini bersumber pada pengelolaan yang ada di tangan penguasa.
Penguasa yang memiliki wewenang kini menjadi sempit pemikiran. Mereka hanya mementingkan apa yang menguntungkan baginya. Hal ini wajar terlebih tata aturan yang diterapkan tidak lain adalah demokrasi liberal. Dalam demokrasi liberal terdapat kebebasan. Salah satunya bebas membuat aturan.

Demokrasi liberal mengacu kepada suatu aturan yang melingkupi seluruh kehidupan. Aturan tersebut adalah sistem kapitalisme. Kapitalisme memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, tanpa berpikir efek jangka panjang yang akan diterimanya. Berharap modal sedikit dan untung banyak menjadi semboyannya. Meski harus merelakan nasib orang-orang di bawah kekuasaannya. Banyak orang akan terancam kebutuhan dan keamanannya.

Termasuk deforestasi yang terjadi di Indonesia. Kini lahan-lahan hutan yang ada sudah bukan menjadi milik negara dan rakyatnya, tetapi milik pribadi para investornya. Tentu ini sangat disayangkan, terlebih jumlahnya yang sangat luas. Bahkan atas nama UU Ciptaker yang telah ditetapkan mereka rela dan membuka tangan kepada para investor. Para investor pun mengambil alih. Aturan yang mereka tetapkan kini menjadi boomerang untuk rakyat. Rakyat tidak mendapatkan apa pun sedangkan penguasa dengan tenang memikirkan keuntungan seberapa yang akan dinikmatinya. 

Sistem untung rugi dalam kapitalisme, telah memporak-porandakan tujuan dari pengaturan serta pembangunan yang dilakukan. Pengaturan kepemilikan tidak terjamin di dalam sistem hari ini sehingga ketimpangan dan ketidaksesuaian terus bermunculan menambah masalah beranak-pinak tidak terselesaikan.

Islam sebagai Sistem yang Paripurna

Islam bukan hanya sebagai aturan ibadah ritual semata. Islam hadir membawa seperangkat aturan untuk mengatur seluruh manusia tanpa terkecuali. Sehingga di dalam Islam akan ditemukan banyak solusi atas permasalahan manusia serta membawa keberkahan bagi alam semesta. Islam adalah sebuah sistem yang dibutuhkan oleh manusia. 

Di dalam Islam permasalahan hutan mampu diselesaikan dengan bijak dan adil. Karena syariat memang tidak memihak siapa pun. Syariat Islam justru memudahkan manusia.
Secara kepemilikan, hutan masuk ke dalam hak umum yang artinya negara wajib mengelola untuk rakyatnya. Pengelolaan ini bertujuan agar terjaga kelestarian dan sesuai kebutuhan, sehingga membawa manfaat bagi masyarakat. Pemerintah sebagai pengelola karena bertanggungjawab atas rakyatnya. Rakyat tunduk kepada penguasa yang menerapkan syariat secara total. Rakyat juga memberikan masukan, beramar ma'ruf nahi mungkar, menasihati dan mengingatkan dalam pelaksanaan syariatnya.

Dalam Islam sejatinya hakikat kepemilikan atas alam beserta isinya memang mutlak berada di tangan Allah. Kepemilikan manusia hanya bersifat nisbi atau temporal sebagai pemberian Allah. Sehingga manusia mampu memenuhi kebutuhannya serta menunaikan fungsinya sebagai pemakmur dunia. Mereka senantiasa menjaga bumi.

Oleh karenanya hutan tidak bisa dialih-fungsikan menjadi milik pribadi ataupun dikelola asing. Karena hanya akan menimbulkan perselisihan dan juga kerusakan akibat salah tata kelola yang menyimpang dari tujuan kegunaan hutan. Tidak dibenarkan sampai kapan pun memberikan izin meski dengan terpaksa kepada asing atau investor untuk mengelola hutan.

Hal ini sesuai dengan hadits yang menyatakan bahwa "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Wallahualam bissawab. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: