Headlines
Loading...
Deforestasi Memuluskan Jalan Pemberian Izin Konsesi untuk Korporasi

Deforestasi Memuluskan Jalan Pemberian Izin Konsesi untuk Korporasi

Oleh. Kikin Fitriani (Aktivis Muslimah)
 
Masifnya deforestasi di Indonesia tercatat berada pada posisi ke-4 tahun 2020 lalu. Dan mayoritas dari penyebab deforestasi di negeri ini adalah aktivitas manusia yang berdampak pada hutan. Salah satunya adalah konversi lahan hutan untuk menjadi daerah pemukiman, perkebunan, kawasan industri dan pembangunan jalan atau infrastruktur.

Alih-alih mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan rakyat, senyatanya tidak sesuai harapan, malah selama ini deforestasi mendapatkan permakluman dari pemerintah. Faktanya lahan hasil deforestasi tersebut mayoritas dikuasai oleh korporasi.

Berdasarkan data Walhi, sebanyak 62 persen lahan hutan di Indonesia sudah dikonsesi untuk korporasi. Akibatnya, hutan kita mengalami kerusakan parah. Kekayaan alam yang seharusnya milik umum dikuasai oleh segelintir korporasi, sementara rakyat tetap dalam jurang kemiskinan. Banjir uang bagi para kapitalis sebagai hasil menggunduli hutan, pada saat yang sama rakyat menangis dalam penderitaan.

Adanya deforestasi akibatnya dirasakan manusia, maupun ekosistem di lingkungan tersebut. Berbagai dampak yang ditimbulkan berupa pengurangan luas hutan, masyarakat adat kehilangan tempat tinggalnya, tingginya potensi bencana hidrometeorologi sudah menjadi langganan korban bencana alam seperti banjir bandang, kebakaran hutan, tanah longsor, kenaikan suhu secara global hingga membuat suhu bumi tambah panas, terancamnya keanekaragaman hayati dengan hilangnya sejumlah spesies langka yang hidup di hutan yang terancam punah, kerusakan sistem sumber air. 

Melansir berita salah satu wilayah yang banyak mengalami deforestasi adalah Kepulauan Riau. Catatan akhir tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) region Sumatra menunjukkan Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektare sepanjang 2023. Angka tersebut lebih luas dari rata-rata per tahun dalam lima tahun terakhir. Walhi mengungkapkan bahwa sekitar 57% daratan Riau telah dikuasai investasi (CNN Indonesia, 12-1-2023)

Atas nama investasi di kepulauan Riau, pemerintah telah memberikan izin kepada 273 perusahaan kelapa sawit, 55 hutan tanaman industri (HTI), 2 hak pengusahaan hutan (HPH), dan 19 pertambangan. Diperkirakan luas kebun kelapa sawit yang berada di kawasan hutan mencapai 1,8 juta hektare. Dengan berlindung dibalik UU 6/2023 tentang Cipta Kerja yang memfasilitasi dibalik itu semua. Walhasil, alih-alih menghentikan alih fungsi hutan, pemerintah justru memutihkan 3,3 juta ha kebun sawit. Semakin menguatkan opini publik bahwa deforestasi dibenarkan dan dilegalkan oleh pemerintah.

Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tahun 2022, Indonesia adalah negara dengan luas hutan nomor delapan dunia. Luas hutan mencapai 92 juta hektare hingga Indonesia memiliki peran besar dalam menyerap emisi karbon dan menyelesaikan persoalan iklim secara global.

Alangkah disayangkan, peran ini tidak dipertahankan Indonesia, malah hutan justru makin habis. Indonesia merupakan negara kedua yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis dalam dua dekade terakhir. Hutan primer tropis merupakan hutan berusia tua yang memiliki cadangan karbon besar dan kaya keragaman hayati (Databoks Katadata, 19-01-2024). Mirisnya untuk memulihkan hutan primer butuh waktu puluhan tahun hingga berabad lamanya.

Pangkal Persoalan Kerusakan Hutan Akibat Diberlakukan Sistem Kapitalisme

Deforestasi terus terjadi secara masif, tindakan pembiaran dan tidak ada sanksi tegas dari pemerintah, semuanya terkesan terstruktur atau sistematis melalui mekanisme perizinan dari negara.

Dengan kondisi hutan yang mengenaskan, pemerintah malah mengeluarkan regulasi yang memperparah laju deforestasi. Misalnya dihilangkan kewajiban mempertahankan kawasan hutan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai.

Sistem kapitalisme berkonsep memisahkan aspek pembangunan dengan pelestarian lingkungan. Sistem ini menganut pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas utama, dan demi meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan terus digenjot meski dengan segala konsekuensinya merusak hutan. Ketika
kegiatan mengalih fungsi hutan menjadi ruang hidup, pemukiman perkebunan, pertambangan ataupun infrastruktur, bukan aktivitasnya yang dihentikan dan pengusahanya diberi tindakan tegas malah status hutannya yang diubah sehingga menjadi legal untuk digunduli.

Sistem kapitalisme memandang segala kehidupan bernilai materi, sehingga segala cara boleh ditempuh demi meraih keuntungan yang besar. Dampak terjadi membuat para kapitalis (korporasi) gelap mata, keuntungan merupakan tujuan vital dengan tidak menghiraukan dampak dari penggundulan hutan yang terjadi kedepannya. Sungguh disayangkan sistem ini mendapatkan dukungan sepenuhnya dari penguasa. Terjadinya kongkalikong antara korporasi dengan penguasa hingga perizinan untuk menguasai hutan terus diberikan kepada swasta atau investor asing. Padahal hutan termasuk kepemilikan umum. Belum lagi pembiaran terhadap alih fungsi lahan secara ilegal. 

Islam sebagai Konsep Sistem yang Shahih

Allah Swt menganugerahkan alam yang luar biasa kaya bagi rakyat di negeri ini. Hal ini patut disyukuri yakni caranya dengan mengelola alam sesuai dengan syariat. TQS Ar-Rum : 30 ayat 41

" Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia ; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Islam pun telah memerintahkan menanam pohon, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, 

" Siapa yang menegakkan/menanam satu pohon, lalu ia sabar menjaga dan merawatnya sampai berbuah, maka semua mendapat manfaat seperti buahnya, menjadi sedekah baginya di sisi Allah." (HR. Imam Ahmad)

Pemerintah telah abai dalam menjaga hutan yang menjadi amanah kekuasaan mereka. Malah sebaliknya penguasa justru menyerahkan hutan beserta seluruh kekayaan didalamnya kepada korporasi kapitalis. Sistem kapitalisme yang melindungi para korporasi perusak hutan ini harus segera ditinggalkan dan bersama seluruh komponen masyarakat bersama-sama memperjuangkan demi tegaknya syariah Islam agar tegak di bumi ini.

Mengelola hutan secara syariah Islam diantaranya adalah:

1. Mengembalikan posisi hutan sesuai posisi kepemilikannya. Khilafah akan memetakan hutan yang berkategori kepemilikan umum yakni hutan produksi yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan dan ekonomi. Termasuk hutan wisata adalah kepemilikan umum.

2. Hutan lindung dan suaka alam termasuk kepemilikan negara yang terlarang bagi siapa saja untuk mengambil manfaat darinya. Khilafah akan berperan melakukan upaya pelestarian yakni melindungi flora dan fauna beserta ekosistem yang ada supaya lestari.

3. Penambangan baik oleh negara maupun rakyat, harus memperhatikan kelestarian lingkungan bukan pengoptimalan produksi.

4. Pengawasan dan pengawalan serius terhadap kawasan hutan.

5. Hukuman bagi pelaku kejahatan terkait hutan baik pelaku pembalakan liar, pembakaran hutan, pemburu satwa spesies langka yang dilindungi, penadah dan lain-lain. Termasuk hukuman kepada aparat negara yang melakukan persengkongkolan dengan pelaku tindakan kriminal tersebut.

Sudah saatnya kita semua umat Islam bergerak untuk bersama-sama melakukan sebuah perubahan yang mendasar.  Umat Islam butuh untuk menyerukan perubahan sistem dari kapitalisme yang eksploitatif dan merusak kembali kepada Zat Yang Maha Baik yakni Sistem Khilafah Islamiah dibawah kepemimpinan Sang Khalifah sebagai penjaga dan pelindung umat manusia termasuk dalam pelestarian hutan yang akan membawa dampak global, lestarinya bumi. Sudah saatnya umat Islam tidak hanya menyuarakan  dan mengkampanyekan "go green" tetapi "go and move on Khilafah '.

Wallahu a'lam bi-shawab.

Baca juga:

0 Comments: