Headlines
Loading...
Oleh. Wiwid Hidayati

Antusias warga untuk menghadiri kampanye di pekan ini menjadi sorotan publik. Ada yang memang antusias menyambut calon legislatif ada yang hanya ikutan-ikutan saja.
Para caleg merupakan kontestan yang kedua kali ataupun yang  ketiga kali, bahkan ada yang baru ikut caleg. Banyak pula dari mereka mencalonkan diri untuk periode berikutnya. Entah apa dalam benak mereka keinginan berkuasa atau memang benar-benar menjadi perwakilan rakyat di kursi legislatif.
 
Mereka berbondong-bondong untuk merebut suara rakyatnya. Sedangkan jika terpilih di kursi legislatif mereka abai dengan jeritan dan suara rakyat yang dulu mereka perebutkan.
Beribu cara calon legislatif untuk meraih suara rakyat, mereka mengeluarkan dana yang sangat fantastis untuk menjadi kontestan di panggung politik. Ada caleg yang rela menjual tanah warisan atau mencari dana sponsor agar mereka bisa duduk manis di kursi legislatif. Maka tak heran jika kini banyak rumah sakit yang menyediakan dokter spesialis dan poli kejiwaan untuk menampung calon legislatif yang gagal dalam kontestan pemilu.

Misalnya RS Oto Iskandar Dinata, Soreang Bandung Jawa Barat, sedang menyiapkan 10 ruangan VIP untuk persiapan pemilu dan menyiapkan dokter spesialis jiwa untuk caleg yang mengalami gangguan kejiwaan, seperti gelisah, cemas, gemetar, dan susah tidur. RSUD dr. Abdoer Rahiem Situbondo, Jawa Timur pun sama, tengah menyiapkan poli kejiwaan dan ruangan rawat inap jiwa, baik yang akut maupun kronis atau ringan. (Kompas TV, 24-11-2003).

Caleg yang mencalonkan diri, tetapi tanpa tujuan jelas dan hanya untuk kekuasaan ataupun materi, rentan mengalami gangguan mental. Kekalahan pada kontestan pemilu membuat caleg kecewa berat hingga depresi dan berkeinginan mengakhiri hidupnya. Bahkan yang depresi bukaan hanya calegnya, melainkan keluarga dan tim suksesnya. (Antara News, 11-12-2003).

Pemilu dalam Demokrasi

Ajang pemilu demokrasi yang lahir dari sistem sekuler kapitalisme memang membutuhkan biaya mahal. Pesta demokrasi pemilu berbiaya mahal mengakibatkan kontestan yang gagal mendapatkan kursi kekuasaan berakibat fatal. Mereka kecewa berat depresi dan berujung ingin mengakhiri hidupnya.

Bukan lagi rahasia jika para kandidat butuh biaya selangit untuk bisa maju meraih kursi kekuasaan legislatif. Misalnya, yang disampaikan oleh LPM FE UI, modal yang harus dikeluarkan caleg  DPR RI berkisar Rp1,15 milyar-Rp 4,6 milyar. Ketua PKB Cak Imin juga mengatakan, butuh Rp40 miliar untuk menjadi caleg RI dan DKI Jakarta. Fahri Hamzah mengatakan butuh dana Rp5 miliar untuk menjadi capres.
 
Biaya fantastis digunakan caleg untuk berbagai macam aktivitas kampanye, seperti biaya akomodasi berkampanye di daerah pemilihan, biaya penginapan, makan, biaya atribut kampanye kaos, banner, bendera dan lain-lain. Betapa besarnya modal yang harus dikeluarkan oleh caleg untuk berkampanye di ajang pemilu. Maka tak heran jika mereka gagal mendapatkan kursi kekuasaan berujung fatal dan mengalami gangguan kejiwaan.

Gagalnya sistem demokrasi dalam pemilu menunjukkan lemahnya sistem sekuler dan kapitalisme. Terbukti pesta demokrasi menunjukkan sistem yang lemah dan kepribadian yang lemah. Sistem ini mengedepankan kepentingan materi, padahal kepemimpinan dalam Islam sangatlah mudah tidak memerlukan biaya yang tinggi sebagaimana yang telah disyariatkan dalam  Islam. Pemilihan pemimpin dalam Islam mencakup 2 hal: pertama orang yang memimpin dan kedua sistem kepemimpinan.

Kekuasaan dalam Islam 

Islam memandang bahwa kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan Allah Taala. Oleh karenanya, siapa saja yang ingin mencalonkan dirinya untuk memegang jabatan, ia harus benar-benar yakin dirinya akan bisa amanah dalam menjalankannya. Pertanggung jawaban di akhirat sangatlah besar dan berat bagi seorang pemimpin.

"Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya." (HR Muslim).

Kepemimpinan dalam Islam mencakup dua hal. Pertama, sistem kepemimpinan dalam Islam tentunya berasaskan syariat Allah yakni Al-Qur'an dan as sunnah. Seorang pemimpin yang mendapat amanah untuk memimpin negara, daerah atau wilayah. Maka landasan hukum yang dijadikan pedoman adalah Al-Qur'an dan as sunnah. Kebijakan apapun yang dijadikan rujukan adalah Al-Qur'an dan as sunnah.

Kedua, seorang pemimpin harus memiliki kepribadian dan mental kuat. Pemimpin yang kuat dan mental yang kuat merupakan produk dari sistem pendidikan Islam. Karena sistem pendidikan Islam mampu menghasilkan insan-insan yang memiliki mental kuat dan aqidah kuat. Mengedepankan tauhid daripada materi dan hubbuddunya. Berbeda dengan sistem pendidikan sekularisme dan kapitalisme yang mengedepankan materi karena sekularisme dan kapitalisme memisahkan urusan agama dan kehidupan.

Pendidikan Islam yang mengedepankan nilai tauhid dan ajaran agama sebagai pedoman kehidupan sangat relevan untuk bisa memecahkan segala problematika kehidupan. Dalam Islam segala ajaran sudah sangat detail dan terperinci. Dua hal ini bisa terwujud jika khil4f4h Islam tegak di muka bumi. Dengan khil4f4h maka kepemimpinan Islam bisa terwujud. Karena dengan sistem khil4f4h pemimpin yang madani dan mengayomi bisa memerintah dengan adil dan bijaksana sesuai syariat Allah.
Wallahualam bissawab. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: