Headlines
Loading...
Impor Beras Makin Deras, Kedaulatan Pangan Makin Kandas

Impor Beras Makin Deras, Kedaulatan Pangan Makin Kandas

Oleh. Uyun 

Beras adalah bahan makanan pokok yang hampir sebagian besar dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka butuh beras. (CNBC Indonesia, 2/1/2024)
 
"Yang kita harapkan adalah kita ini ingin tidak impor beras lagi, tapi itu dalam prakteknya sangat sulit karena produksinya tidak mencapai setiap tahun. Kita bertambah yang harus diberikan makan," kata Jokowi di acara Pembinaan Petani Jawa Tengah, Di Banyumas, Selasa (CNBC Indonesia/2/1/2024).

Adapun Indonesia menjadi produsen beras terbesar keempat di dunia, sekaligus no 1 di Asia Tenggara dengan estimasi produksi 34,6 juta MT pada musim 2022/2023. (Databoks.katadata.co.id./20/1/2024) 

Dari data diatas ironis seharusnya menjadikan impor sebagai solusi masalah pangan, sementara negeri kita tercinta mampu untuk memproduksi beras. Melihat stok beras yang mencukupi, sedangkan pada kenyataannya banyak warga yang kesulitan mengakses beras, bisa disimpulkan bahwa persoalan utamanya terletak pada manajemen stok dan distribusi, bukan produksi. Impor beras menjadi solusi pragmatis persoalan beras, dan bukan mendasar. Bahkan cenderung menjadi cara praktis mendapatkan keuntungan. 

Sudah banyak diketahui, 90 persen distribusi beras dikendalikan oleh swasta. Jika swasta yang mengendalikan, keuntungan menjadi tujuan utamanya. Wajar saja orang miskin sulit untuk memperolehnya. Karena negara hadir sebatas fasilitator bukan sebagai pengatur rakyat. Negara hanya menjadi penyambung kepentingan pengusaha terhadap rakyat, begitu pun sebaliknya. Rakyat membutuhkan sejumlah kebutuhan hidup, sedangkan pengusaha menyediakan fasilitas hidup rakyat. Seharusnya negara berusaha untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah solutif dan antisipasif.  

Dengan Jumlah penduduk yang besar seandainya  dikelola dengan baik, tentu akan meningkatkan produktivitas. Akan banyak SDM yang siap memproduksi beras. Akan tetapi berbagai kebijakan kontraproduktif terhadap swasembada pangan malah terus ditetapkan. Negara seharusnya menyediakan lahan pertanian di tengah banyaknya alih fungsi lahan untuk pembangunan industri, sehingga jumlah petani tidak berkurang dan mereka masih punya lahan untuk produksi. 

Islam menjadikan negara yang bertanggungjawab dalam menyediakan kebutuhan pokok  termasuk makanan.  Oleh karena itu, negara Islam akan mencari berbagai jalan agar terwujud kedaulatan pangan.  Apalagi Islam akan mewujudkan negara adidaya sebagai cita-cita dalam perjalannan panjangnya. Dengan tata kelola negara kapitalis sangat mustahil mewujudkan swasembada pangan. Kepentingan pengusaha telah menjadi fokus utama penguasanya. Inilah yang menjadikan kebijakan impor terus saja diambil meskipun mencederai kedaulatan pangan negara.

Dengan demikian, swasembada pangan hanya bisa dicapai dengan tata kelola negara yang berlandaskan pada Islam. Islam telah memiliki mekanisme yang khas dan telah terbukti mampu mewujudkan swasembada pangan yang pada gilirannya akan menjadikan negara berdaulat tanpa ketergantungan dengan negara lainnya.

Adapun mekanisme Islam dalam mewujudkan swasembada pangan pertama adalah memposisikan penguasa sebagai pengurus seluruh urusan umat. Mulai produksi hingga distribusi ada di bawah pengelolaan negara. Adapun swasta, boleh terlibat, tetapi seluruhnya dalam kendali negara.
Kedua, swasembada pangan dilakukan semata untuk terpenuhinya kebutuhan umat. Dalam kondisi tertentu, seperti paceklik atau bencana alam atau lainnya yang menyebabkan stok pangan berkurang, kebijakan impor boleh diambil dengan ketentuan syariat terkait dengan perdagangan luar negeri.
Ketiga, syariat Islam menjamin kepemilikan tanah dengan menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat). “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia akan mendapatkan pahala padanya. Dan apa yang dimakan oleh ‘awafi, maka ia adalah sedekah baginya.” (HR Ad-Darimi dan Ahmad).

Syariat Islam pun menetapkan bahwa kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun.

Inilah aturan Ialam yang datang dari pencipta alam kita. Aturan tentang kepemilikan lahan yang bersatu dengan produksi akan mewujudkan produktivitas pertanian. Ditambah kebijakan penguasa yang fokus pada kesejahteraan umat, seperti penyediaan saran produksi yang dipermudah, jika tidak ada modal negara akan memberi bantuan,  sehingga  para petani semangat untuk terus menanam. Ini semua akan terjadi ketika negara diatur dengan syariat Islam yang diterapkan ditengah kehidupan.
 

Baca juga:

0 Comments: