Headlines
Loading...
Oleh. Nurma Safitri

Kasus demam berdarah dengue (DBD) di negeri ini seolah tidak ada habisnya. Kasus DBD kembali meningkat bahkan 
sudah merenggut jiwa dari orang dewasa hingga anak anak. 

Di Kabupaten Cianjur, DBD mengalami peningkatan yang signifikan. Bahkan, pada awal 2024 terdapat ratusan warga yang terjangkit DBD. Laporan kasus tersebut berdasarkan data dari beberapa rumah sakit di Kabupaten Cianjur. Kepala Dinas Kesehatan (DinKes) Kabupaten Cianjur dr. Yusman Faizal mengatakan bahwa, "Dalam sebulan terdapat 219 kasus yang diperoleh oleh Dinas Kesehatan Cianjur, dari jumlah tersebut 2 anak dengan rentang usia 6-14 tahun meninggal dunia." (pikiran rakyat.com, 04/02/2024). 

Dilansir dari kompas.id, 05/02/2023,  Kementrian Kesehatan melaporkan 73% dari 1.183 kematian akibat demam berdarah pada tahun 2022 adalah anak-anak berusia 0-14 tahun. Total angka kasus DBD di Indonesia meningkat dari 73.518 orang pada tahun 2021 menjadi 131.265 kasus pada 2022. Sementara jumlah kematian juga meningkat dari 705 orang pada 2021 menjadi 1.183 orang pada 2022. 

Penyakit DBD memang penyakit yang berbahaya, hingga kini belum ditemukan obatnya. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti yang berkembang biak di tempat penampungan air yang dipergunakan sehari-hari seperti bak mandi, tempayan, maupun genangan air yang tidak langsung berhubungan dengan tanah. Penularannya biasa terjadi pada musim hujan tepatnya pada saat perubahan musim. 

Memahami mekanisme penularan DBD pada tubuh manusia, maka untuk mencegah penyakit ini menggejala di lingkungan masyarakat, dibutuhkan upaya yang efektif. Upaya yang paling efektif untuk mencegah penyakit ini adalah dengan melakukan upaya preventif (pencegahan) dengan pemutusan rantai penularan melalui gerakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) tanpa mengabaikan peningkatan kewaspadaan KLB (Kejadian Luar Biasa) serta pelaksanaan kasus. Selain itu juga dibutuhkan lingkungan yang bersih dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) oleh masyarakat. Semua ini membutuhkan langkah terpadu yang didukung oleh seluruh masyarakat dan juga negara yang seharusnya berada di garda terdepan dalam menjamin kesehatan dan keselamatan individu rakyatnya. Namun nyatanya, pada sistem kapitalisme-sekuler, tidak ada jaminan kesehatan bagi setiap individu rakyat. Hal ini nampak dari komersialisasi di bidang kesehatan yang membebani masyarakat.

Adanya mekanisme BPJS tidak bisa disebut sebagai jaminan kesehatan, sebab rakyat harus membayar premi setiap bulan dan pelayanannya pun didapat dengan prosedur yang rumit. Jaminan kesehatan bagi yang sakit tidak ada, terlebih jaminan terwujudnya ruang hidup kondusif bagi setiap individu rakyat sekaligus sebagai faktor pencegah yang terkena berbagai penyakit. Penyuluhan dan sosialisasi masyarakat sudah dipandang sebagai bentuk pencegahan, padahal program terpadu mencegah penyakit menular seperti DBD juga membutuhkan dukungan ekonomi. Sementara saat ini, masyarakat justru dihadapkan pada kesulitan hidup akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis. Bagaimana mungkin bisa hidup dengan lingkungan yang sehat jika memiliki rumah ideal dan asri saja tidak mampu? Bahkan tidak sedikit masyarakat berada dalam kondisi homeless (tidak memiliki tempat tinggal). Ditambah lagi penataan tata ruang perkotaan hingga pedesaan yang tidak memperhatikan masalah lingkungan dan kesehatan masyarakat. Kemiskinan melanda puluhan juta masyarakat negeri ini, juga tidak adanya daya tahan tubuh yang kuat untuk mencegah penularan penyakit seperti DBD, sebab tidak ada jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok berupa pangan yang layak dan bergizi bagi masyarakat. Oleh karena itu, sebenarnya peran negara sangatlah penting untuk memberantas penyakit menular DBD ini, namun kenyataan yang terjadi adalah negara masih sangat jauh dari meri'ayah rakyat.

Persoalan penyakit menular seperti DBD dan penyakit menular lain sejatinya akan tuntas melalui penerapan aturan Islam dalam segala aspeknya di dalam kehidupan. Islam memandang kesehatan adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara atas rakyatnya individu per individu lainnya.

Sedangkan pemimpin negara (kh4lif4h) bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap kesehatan rakyatnya. Apalagi kekuasaan dalam Islam dipahami sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.

Kehadiran politik kesehatan Islam yang dijalankan oleh sistem khil4f4h meniscayakan terwujudnya upaya promotif-preventif bagi terawatnya kesehatan setiap individu rakyat sepanjang hayat. Khil4fah akan memastikan masyarakat memiliki tempat tinggal yang layak dengan tata ruang kota yang rapi, bersih dan sesuai dengan standar tata ruang yang ideal. Selain itu, negara juga akan melakukan edukasi yang mendorong masyarakat menerapkan pola hidup sehat. Semua ini tentu didukung oleh sistem pendidikan Islam yang membentuk kepribadian Islam masyarakat, sehingga dorongan untuk hidup sehat bukan hanya agar terhindar dari berbagai penyakit tetapi dorongan ruhiyah. Seperti yang telah dijelaskan dalam hadis Nabi yang berbunyi: "Atthohuru syatrul iman" yang artinya "Kebersihan itu sebagian dari iman". (HR. Muslim).

Dalam mencegah kasus DBD, negara akan meningkatkan peran keluarga untuk melakukan pemantauan, pemeriksaan dan pemberantasan jentik-jentik nyamuk dengan konsep Jumantik Rumah Tangga/satu rumah satu jumantik.

Negara juga memastikan kesadaran akan adanya pencegahan sejak dini oleh masyarakat. Negara akan membentuk sistem yang kuat untuk mengantisipasi kegiatan ini. Pada saat yang sama, sistem kesehatan Islam yang kuat dan tangguh termasuk pembiayaan penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai hingga pelosok negeri menjadikan setiap warga bisa mengakses dengan gratis, terwujud kesiapan rumah sakit untuk menangani penderita yang membutuhkan rawat inap dan negara akan memberikan pelayanan terbaik tanpa membedakan latar belakang pasien yang dirawat.

Seperti inilah negara khil4f4h yang benar-benar tulus hadir untuk melayani kepentingan kesehatan masyarakat dengan mutu pelayanan yang terbaik.

Wallahualam bissawab. [An]

Baca juga:

0 Comments: