Headlines
Loading...
Oleh. Rina Herlina

Di sebuah rumah sederhana, di sebuah desa kecil yang asri dan nyaman, Fatimah tinggal bersama kedua orang tuanya. Kehidupan mereka sangat sederhana dan jauh dari kata mewah. Namun, mereka sangat bahagia, karena mereka senantiasa mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Allah kepada mereka.

Pagi-pagi sekali Fatimah sudah sibuk di dapur membantu pekerjaan ibunya. Setiap hari mereka hanya makan seadanya, namun tak pernah sedikit pun mereka mengeluh akan kondisi tersebut. Singkong rebus dan sambal menjadi menu sarapan pagi ini. Menu itu begitu nikmat bagi mereka. "Ah, nikmat mana lagi yang harus kami dustakan," pikir mereka.

Setelah sarapan, Bapak beranjak untuk pergi ke sawah, Ibu juga siap-siap pergi ke ladang orang. Fatimah pun bersiap untuk pergi ke sekolah. Saat ini Fatimah duduk di bangku sekolah Madrasah Aliyah kelas 12. Sebentar lagi Fatimah lulus, dan rencananya ingin kuliah di universitas Universitas favoritnya, mengambil jurusan pendidikan. Fatimah bercita-cita menjadi seorang tenaga pendidik, karena dia sangat menyukai anak-anak. Walaupun Fatimah sadar diri, bahwa untuk bisa kuliah perlu uang yang banyak. Tapi, Fatimah selalu berprasangka baik pada Allah. Gadis itu rajin belajar. Fatimah ingin berusaha mewujudkan mimpinya, sekalipun cibiran terus berdatangan dari tetangga dan teman-temannya. Fatimah tidak terlalu mempedulikan, baginya dia hanya harus berusaha, hasilnya serahkan kepada Allah Swt.

Hari ini kebetulan hari libur, seperti biasa jika sedang libur sekolah, Fatimah membantu ibunya pergi ke sawah atau bekerja di ladang orang. Di saat teman-teman seusianya asyik bermain dan nongkrong di cafe-cafe, tidak demikian dengan Fatimah. Dia justru lebih suka menghabiskan waktu liburnya dengan membantu pekerjaan ibu dan bapak. Fatimah tidak tega jika melihat kedua orang tuanya kelelahan karena harus banting tulang untuk mencukupi kebutuhannya. Dia selalu berdoa dalam sujudnya agar kelak bisa membahagiakan mereka di masa tuanya.

Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang pelajar, Fatimah juga tidak pernah absen mengikuti kajian yang diadakan oleh sebuah komunitas. Fatimah sangat senang berada di komunitas tersebut, karena dia bisa bertemu banyak teman dan juga mendapatkan ilmu. Lagi-lagi kesibukannya ini selalu mendapat cemooh dari para tetangganya. Di bilang sok sucilah, sok agamislah, ah macam-macam sebutan orang untuknya. Namun, Fatimah tidak pernah membalasnya, dia hanya tersenyum dan berusaha menyampaikan semampunya terkait kewajiban menuntut ilmu agama.

Fatimah tidak pernah mengeluh terkait kehidupannya, sebaliknya dia sangat bersedih saat melihat banyak dari teman-temannya yang justru sibuk dengan sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Mereka lebih senang menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu hal yang tidak bermanfaat, padahal uang itu di dapat dari hasil jerih payah orang tua mereka. Fatimah merasa miris. Karenanya, Fatimah berusaha menyampaikan apa yang dia pahami kepada teman-temannya. Lagi-lagi, bukan respon positif yang didapat Fatimah, justru cacian dan makian, bahkan tak jarang Fatimah di tuduh iri dengan kehidupan mereka, karena Fatimah tidak mampu seperti mereka. Kalau sudah begitu, Fatimah hanya mampu mengurut dada, dan berdoa kepada Allah semoga kelak teman-temannya sadar dan menyesali kekeliruannya.

Ujian sekolah akan segera tiba, Fatimah belajar dengan tekun. Dia berharap bisa mendapatkan nilai terbaik agar bisa mendaftar kuliah dengan jalur prestasi.

"Jangan mimpi kamu Fatimah, orang miskin kaya kamu itu gak cocok kuliah, cocoknya kerja di sawah. Sama kaya bapak dan ibu kamu." Teman sekelasnya, Mira,  mengingatkan Fatimah dengan mimpinya yang ketinggian.

Fatimah hanya tersenyum dan mohon didoakan saja, baginya mungkin memang mustahil, namun  bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin. Fatimah selalu berprasangka baik terhadap Allah, dan berusaha sesuai kemampuannya, serta memaksimalkan semua potensi yang ada padanya. Setelah berusaha, berdoa, hasil akhir serahkan kepada zat yang maha segalanya.

Kabar baik itu pun tiba, Fatimah dipanggil oleh pihak sekolah. Fatimah mendapat kabar bahwa Fatimah lolos jalur prestasi dengan nilainya yang sangat baik dan bisa berkuliah di Universitas favoritnya. Tidak hanya itu, Fatimah mendapat rejeki yang tak terduga yaitu dia akan dibiayai penuh oleh seseorang yang kebetulan tahu kondisi kehidupan keluarganya dan ingin menyalurkan bantuan penuh untuk keluarganya. Juga karena orang tersebut tahu bahwa Fatimah anak yang baik, salihah, dan juga tekun dalam belajar dan memperjuangkan apa yang menjadi cita-citanya.

Kabar itu pun segera tersiar luas hingga ke telinga para tetangganya. Tidak banyak yang dapat mereka lakukan selain mengucapkan selamat serta meminta maaf karena cemoohan-cemoohan mereka selama ini. Mereka sadar, bahwa memang tidak ada yang mustahil bagi Allah jika Allah sudah menginginkan kebaikan kepada hambanya. Kini mereka sadar, bahwa ketaatan dan prasangka baik kepada Allah itu jauh lebih Allah sukai ketimbang hanya sibuk dalam urusan dunia sehingga membuat terlena dan melalaikan. 

Fatimah tak henti-henti mengucap syukur, sungguh dia merasa karunia Allah ini begitu besar. Jika dia bisa memilih, sungguh nikmat ini ingin dia bagi kepada para tetangganya. Begitu mulianya hati Fatimah, seolah-olah dia lupa, betapa dulu para tetangganya selalu mengolok-olok dan mencemoohnya. Namun, Fatimah tidak pernah sekalipun memasukkannya kedalam hati. Sebaliknya, dia akan mendoakan kebaikan untuk siapapun tak terkecuali para tetangganya. Ah, sungguh mulianya hatimu, wahai Fatimah. [My]

Baca juga:

0 Comments: