Headlines
Loading...
Oleh. Irfah Hidayah

Matahari terasa panas di ubun-ubun, tapi aku tak boleh menyerah dengan teriknya sang surya. Ini adalah hidupku, harus aku jalani baik pahit ataupun manis.

Waktu berjalan begitu cepat, matahari mulai bergeser ke arah barat, dan di sinilah capaiku terasa sangat. Sehabis pulang sekolah aku harus menyiapkan bahan untuk berjualan martabak manis di pertigaan yang tempatnya sangat ramai untuk nongkrong anak muda dalam menanti malam yang larut.

"Hhhh …. lelah sekali." Aku melempar tas sekolah di kursi. Tak terasa aku pun langsung tertidur di sana. Namun, baru sebentar terlelap, sayup-sayup kudengar azan dari masjid. 

"Allahu Akbar … Allahu Akbar!" 

Terdengar pula suara Ibuku memanggil-manggil, “Ahmad … bangun, sudah Asar!”  

Mataku menyipit dan semakin rapat, berat sekali rasanya kakiku beranjak dari tempat tidur. Badan terasa pegal karena capaiku di sekolah tadi.

“Iya Bu … bentar lagi," jawabku malas.  Saat iqomah berkumandang, mataku baru terbelalak, aku pun bergegas. 

"Yaah … sudah jam empat! Aku mengambil handuk di jemuran dan bergegas mandi. 

Aku segera bersiap untuk berjualan martabak manis, tapi sebelumnya aku harus membeli bahan-bahan dulu untuk membuat martabak. Tak terasa waktu mulai petang. Sesampai di tempat jualan, aku berteman dengan gerobak dan pedagang angkringan, yang sering kita sebut dengan kucingan. 

“Bro, kok baru nyampe, aman kan tadi di sekolah?” tanya Mas Joko.

“Yoi!” jawabku sambil aku mengacungkan jempol kanan, kemudian bergegas mempersiapkan dagangan martabakku. 

Mas Joko adalah temanku di pinggir jalan. Dia seorang bapak muda yang baru mempunyai anak satu. Berteman dengannya, membuatku mengerti tentang kehidupan dalam rumah tangga. Setidaknya, aku bisa memahami kondisi di keluargaku. Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, aku satu-satunya anak laki-laki. Dua adikku perempuan yang masih kecil, yang satu kelas empat SD dan yang bontot baru kelas dua.

Aku bukanlah Superman ataupun  Spiderman yang kuat dan tangguh dalam  menolong manusia dan menyelesaikan masalah  sendiri. Namun, aku hanyalah seorang anak manusia yang terlahir dari keluarga pas-pasan. Ibuku bekerja sebagai asisten rumah tangga di sebuah rumah yang tidak jauh dari rumahku. Sedangkan Ayahku seorang buruh pabrik mebel. Pekerjaan Ayahku membuat kursi, meja dan lemari, yang gajinya disesuaikan dengan hasil dari barang yang dikerjakan. Jika banyak orderan, ya banyak lembur, namun jika tidak, ya sudah berdiam diri di rumah saja. 

Namun, aku tetap happy melakukan aktivitasku seperti ini. Pagi sekolah sampai pukul tiga sore. Pukul empat aku harus  menjajakan dagangan martabakku untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup kami. Aku juga punya banyak teman, karena hobiku berpetualang, mendaki gunung, camping, dan bermain skateboard dengan teman-temanku. 

Suatu hari, aku pulang larut malam karena  dagangan martabak manisku sepi. Malam itu hujan deras terus menerus. Karena jenuh menunggu pelanggan yang sepi atau karena capai di sekolah, entahlah, yang jelas badanku berat sekali. Sampai di rumah aku langsung tidur. Kuakui salatku memang masih bolong-bolong. Aku lupa salat Isya malam itu.

Tak terasa pagi sudah tiba, dan aku masih tertidur nyenyak hingga tak terdengar alarmku berbunyi. Ibuku membangunkanku. Mataku tetap terpejam, tak kuasa untuk membukanya. Terasa berat sekali malah semakin berat bagaikan terkena getah nangka. Ibuku terus memanggilku. 

“Mad … Ahmad. Sudah siang. Lihat tuh, matahari sudah tinggi!” teriak Ibuku sambil menggoyang-goyangkan pundakku.

“Hmmm ... iya bentar, Bu,” jawabku. Ibuku masih menunggu aku untuk bangun, tapi mata dan badanku masih bergeming. 
“Ayo, to, bangun Mad! Salat Subuh ...!" lanjut Ibu. 

“Kamu ini anak laki-laki, kamu harus jadi contoh buat adik-adikmu!"

Aku terperanjat, tapi masih diam, belum beranjak dari tempat tidur. Mataku melirik ke jendela kamar. "Hhhh … ternyata sudah siang," gumanku sambil meraih handphone untuk melihat jam, sudah pukul tujuh.

Sambil memasak di dapur, Ibuku bilang, "Kamu itu pemimpin untuk adik-adikmu, meski usiamu masih muda, laki-laki adalah pemimpin keluarga nantinya, Ahmad!” kata  Ibuku sambil menggoreng mendoan dan memasak daun singkong yang dipetik di sebelah rumah. 

Kehidupan keluargaku sangatlah sederhana, dan bisa dikatakan golongan menengah  ke bawah. Akhir-akhir ini Ayahku pun sering sakit tapi beliau tak menampakan rasa sakitnya kepada kami. Aku tau, karena jika ada pekerjaan dia kerjakan sampai pulang larut malam, sehingga bisa memicu penyakit kolesterol dan darah tingginya kambuh . 

**
Suatu hari ketika aku pulang dari jualan, di rumah kutemui Ayahku yang sedang duduk melamun. Sepertinya ada yang ia sembunyikan. Saat itulah aku penasaran dan ingin mengetahui apa yang ia pikirkan.

"Kenapa, Yah?” tanyaku penasaran. Ayahku masih terdiam dan dia hanya menatapku penuh arti. 

"Ayah ingin apa dariku?” Kulanjutkan pertanyaanku. 

Dengan terbata-bata Ayah berkata, "Ahmad … Ayah minta maaf karena  nggak bisa membahagiakanmu.” 

"Kenapa kok Ayah bilang gitu?” tanyaku sambil merapikan tas. 

“Mungkin usia Ayah tidak lama lagi Ahmad. Ayah sering sakit, dan semakin hari semakin sakit. Sedang penghasilan Ayah tak bisa memenuhi kebutuhanmu." Semakin lirih suara Ayahku. 

“Tak apa Yah, aku masih bisa sekolah dan berjualan meskipun itu dagangan punya bosku,” jawabku sambil bersandar di kursi.

“Setidaknya aku bisa membantu memenuhi kebutuhan sekolah dan untuk bermain dengan teman-teman," lanjutku dengan suara pelan.

"Ayah titip adik-adikmu dan ibumu, ya Mad …!” Aku tidak menggubris lagi perkataan Ayah dan langsung keluar lagi sambil main handphone dan lanjut begadang.

Lelah begadang sampai larut malam aku pun pulang. Sampai di rumah aku dikejutkan dengan keadaan Ayahku yang sudah dikerumuni banyak orang. Kulihat Ibuku menangis sambil memangku kedua adikku di sebelah Ayahku. Ibuku hanya menangis tak berkata sepatah apapun. Hanya menatap wajah Ayah, yang diam dan terpejam. Aku tak bisa bergerak lalu reflek mulutku berteriak, "Tidak!" 

Aku terperanjat, mataku terbelalak melihat atap kamarku.

“Ternyata aku hanya mimpi!"

Hari demi hari aku terus memikirkan mimpi itu. Karena mimpi tersebut, hatiku mulai tergugah untuk melaksanakan salat lima waktu sebagai kewajiban dengan penuh rasa ikhlas. Aku sadar, selama ini salatku tidak tertib apalagi saat aku bermain dengan teman-teman pendaki gunung, kadang terlupakan meskipun beberapa temanku sudah mengajakku untuk salat ketika tiba waktunya salat.

Aku berjanji dalam hati, untuk menjadi seorang kakak yang baik untuk adik-adikku dan menjadi anak laki-laki yang berbakti untuk kedua orang tuaku.  Terimakasih ya Allah, mimpi itu adalah jalan untuk menata pola hidupku dengan lebih baik. [An]

Baca juga:

0 Comments: