Headlines
Loading...
Program Indonesia Pintar, Mampukah Mendongkrak Kualitas Pendidikan?

Program Indonesia Pintar, Mampukah Mendongkrak Kualitas Pendidikan?

Oleh. Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)

Masalah pendidikan masih menjadi bahan perbincangan yang tiada habisnya. Beragam program dicanangkan pemerintah demi mencapai Indonesia yang cerdas. Salah satunya program Indonesia Pintar yang diklaim telah merata 100 persen di seluruh Indonesia. Lantas, mampukan program tersebut diandalkan demi kecerdasan anak bangsa?

Program Pendidikan ala Sistem Kapitalisme Liberalistik

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengungkapkan bahwa hingga 23 November 2023 penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) telah mencapai 100 persen target hingga 23 November 2023. Bantuan pendidikan tersebut telah disalurkan kepada 18.109.119 penerima (republika.co.id, 26/1/2024). Biaya yang dihabiskan pun tidak sedikit. Program ini menelan anggaran mencapai Rp 9,7 triliun per tahunnya. 

Pada tahun 2024, sasaran pun ditambah. Kemendikbudristek menambah sasaran untuk jenjang SMA sebanyak 567.531 pelajar dan jenjang SMK sebanyak 99.104 pelajar. Penambahan tersebut bersamaan dengan program peningkatan satuan bantuan yang semula Rp 1.000.000 menjadi Rp 1.800.000 untuk pelajar SMA dan SMK (republika.co.id, 26/1/2024). Dengan program tersebut diharapkan mampu membantu menggenjot program merdeka belajar dan mampu meningkatkan kualitas pendidikan dalam negeri. 

Namun, faktanya, berdasarkan pengalaman pribadi. Justru pencairan dana PIP tidak semudah membalik telapak tangan. Sistem birokrasi dan administrasi yang membelit program ini tengah menjadi konsumsi publik. Berbagai persyaratan yang sulit membuat sebagian penerima PIP merasa kesulitan. Hingga akhirnya harus merelakan bantuan pemerintah tersebut. Tidak hanya itu, besaran yang diterima pun tidak sesuai dengan perkiraan. Hanya sebesar Rp 450.000 per tahun. Biaya tersebut tidak diberikan kepada seluruh siswa. Hanya diberikan kepada 2 siswa dari 40 siswa (pengalaman teman sejawat). 

Pencapaian program mencapai target 100 persen, merupakan hal luar biasa dan patut diapresiasi. Namun sayang, yang dimaksud 100 persen dalam hal ini adalah penyaluran dana alokasi, itupun berproses dan bertahap. Tak hanya itu, penerima yang mendapat dana PIP adalah siswa yang terseleksi saja. Artinya, PIP tidak diberikan kepada seluruh siswa yang tengah mengenyam masa pendidikan. Dan kondisi tersebut tidak mampu serta merta dikatakan bahwa PIP mampu mendongkrak kualitas pendidikan dalam negeri. Karena semestinya bantuan pemerintah diberikan kepada seluruh rakyat tanpa diskriminasi. Tanpa ada perbedaan prestasi atau kurang berprestasi, kaya miskin atau kriteria lain yang menjadi syarat untuk memperoleh bantuan pendidikan.

Di sisi lain, sebetulnya masalah pendidikan tidak hanya ditentukan jumlah dana yang diberikan kepada rakyat. Namun juga infrastruktur, kebijakan kurikulum serta kualitas sumberdaya manusia yang mumpuni agar tercapai prestasi pendidikan yang ideal. 

Pertama, masalah infrastruktur. Infrastruktur pendidikan saat ini dalam keadaan memprihatinkan. Baik dari bangunan sekolah maupun akses jalan menuju sekolah dari lokasi tempat tinggal. Semuanya masih menjadi masalah besar yang belum juga tuntas teratasi. 

Kedua, masalah kebijakan kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan yang kini diterapkan, yakni Program Merdeka Belajar. Digaungkan mampu mencetak generasi yang berkualitas. Dengan kebebasan belajar di berbagai kampus, sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, ditujukan agar generasi memiliki kekayaan intelektual yang tinggi. Namun faktanya tidak demikian. Justru yang ada, generasi makin lemah. Karena pondasi utama pendidikan tidak disertakan dalam kurikulum yang diterapkan. Pondasi keimanan dan ketakwaan individu justru diminimalisasi dalam program pembelajaran. Wajar saja, program ini melahirkan generasi lalai dan mudah depresi. Akhirnya, generasi tidak mampu bersinergi dengan program yang ada. 

Ketiga, lemahnya sumberdaya manusia. Sumberdaya yang kini ada, belum bisa dikatakan sebagai sumberdaya pendidik yang mumpuni. Karena berbelitnya sistem birokrasi, status guru pun makin tidak diminati. Gaji yang kecil dengan beban kerja yang luar biasa. Salah satunya, masalah guru honorer yang terus menuai konflik. Sampai saat ini nasib guru masih diabaikan. Padahal sejatinya, guru adalah pencetak generasi gemilang. 

Inilah konsekuensi diterapkannya sistem kapitalisme liberalistik. Sistem yang hanya mengutamakan keuntungan materi tanpa memperhitungkan kualitas generasi. Ruh pendidikan pun hilang saat sistem cacat ini dijadikan nadi kebijakan. 

Sistem Islam Menjamin Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan rakyat yang wajib dipenuhi negara. Segala aspek dilayani oleh negara dengan amanah. Mulai dari pembiayaan, kebijakan kurilukulum pendidikan dan sumberdaya manusia yang berkualitas. 

Rasulullah SAW. bersabda, 

"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhori).

Sistem Islam-lah satu-satunya sistem amanah yang mampu menjaga generasi agar utuh dan sempurna. Baik keimanannya, akhlaknya, adabnya maupun kecerdasannya. Hanya sistem Islam dalam wadah khilafah yang mampu menjamin terselenggaranya pendidikan dengan sempurna hingga mampu melahirkan generasi cemerlang penjaga peradaban.

Dalam sistem Islam, khilafah akan membiayai segala kebutuhan pendidikan dengan pemberian beasiswa kepada seluruh rakyat (tanpa diskrimanasi) yang tengah mengenyam masa pendidikan. Pembiayaan yang ditetapkan berasal dari pos Baitul Maal yang telah ditetapkan khalifah. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak belajar. Karena hanya dengan belajar-lah, kecerdasan generasi mampu terasah dan terjaga. 

Menyoal kurikulum, khilafah akan menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam. Yakni kurikulum yang menjadikan syariat Islam sebagai sandaran berbagai bidang pendidikan. Sehingga mampu diindera secara jelas sesuai syariat Islam, kriteria essensi pembelajaran setiap bidang pendidikan. Standar benar salah pun menjadi gamblang terpampang. 

Dalam sistem Islam, masalah kualitas sumberdaya manusia mampu terjamin dengan sempurna. Jasa tenaga pendidik menjadi jasa yang sangat dihargai. Karena tenaga pendidik adalah pencetak generasi.    Sepanjang sejarah, telah diketahui bahwa pada masa Khalifah Umar bin al Khaththab, gaji guru mencapai tingkat fantastis. Khalifah Umar bin Khaththab memberikan gaji sebesar 15 dinar (1 dinar= 4,25 gram emas) per guru. Jika disetarakan dengan rupiah,15 dinar senilai dengan Rp 63, 75 juta rupiah. Penghargaan luar biasa bagi para tenaga pengajar. Sehingga para tenaga pendidik pun mampu fokus dan maksimal mencerdaskan generasi. 

Betapa sempurna sistem Islam mengatur kehidupan. Tidak hanya ketenangan dan ketentraman. Namun, sistem amanah ini pun menjanjikan berkah dan rahmah Allah SWT. yang tercurah seluas langit dan bumi. 

Wallahu a’lam bissowwab. 

Baca juga:

0 Comments: