Headlines
Loading...
Oleh. Dwi Moga

Indonesia negeri yang kaya. Kaya akan hutan salah satunya. Bagaimana tidak, dilansir dari goodstats.id, dalam buku Forest, Biodiversity, and People, 11/2/2023, total luasan hutan di dunia tahun 2020 mencapai 4,06 miliar hektare (ha). Indonesia menempati urutan kedelapan dengan luas 97 juta ha atau 2% dari luas total hutan dunia.

Sedangkan menurut hasil laporan dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada awal tahun 2023, total luas kawasan hutan di Indonesia pada 2022 mencapai 125,76 juta ha atau setara dengan 62,97% dari luas daratan Indonesia yang seluas 191,36 juta ha. Dari total luas hutan tersebut, kawasan hutan yang berbentuk daratan mencapai 120,47 juta ha dan kawasan hutan perairan mencapai 5,32 juta ha pada 2022. 

Lalu berdasarkan jenisnya, kawasan hutan lindung menjadi yang terluas di Indonesia, yakni seluas 29,56 juta ha atau setara dengan 23,5% dari total kawasan hutan nasional. Adapun Papua diketahui memiliki luas hutan terbesar secara nasional dengan total 33,12 juta ha atau setara 32,2% dari total luas tutupan hutan Indonesia. Menyusul, Kalimantan memiliki hutan seluas 31,10 juta ha atau sekitar 30,3% dari total luas hutan nasional pada 2022.

Namun deforestasi terjadi sangat masif dalam beberapa waktu ini. Berdasarkan laporan dari Global Forest Review dari World Resources Institute (WRI), Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis dalam dua dekade terakhir, yaitu sebanyak 10,2 juta ha. 

WRI mendefinisikan hutan primer tropis sebagai hutan berusia tua yang memiliki cadangan karbon besar dan kaya akan keragaman hayati. Angka kehilangan hutan yang dicatat WRI mencakup area hutan primer tropis yang mengalami deforestasi dan degradasi, (databoks.katadata.co.id, 29/01/2024). 

Meski secara nasional angkanya mengalami penurunan, faktanya angka deforestasi meningkat di beberapa provinsi yang memiliki banyak hutan primer dan lahan gambut.

Seperti di Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 ha sepanjang 2023. Direktur Eksekutif WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Riau, Boy Jerry Even Sembiring menyebut angka deforestasi itu lebih luas dari rata-rata per tahun dalam lima tahun terakhir. Boy mengungkapkan setidaknya kurang lebih 57 persen daratan Riau telah dikuasai investasi, (CNN Indonesia.com, 12/01/2024). 

Selain itu, WALHI Indonesia, menilai Pemerintah belum mampu menekan laju deforestasi (penebangan hutan secara liar) di Aceh, dengan laju deforestasi mencapai 14.527 ha per tahun dalam kurun waktu 2015 hingga 2022, (ajnn.net, 24/01/2024). 

Tak hanya di wilayah Sumatra, deforestasi dan degradasi lahan juga mengancam wilayah Sulawesi. Tiga daerah aliran sungai (DAS) yang terpenting di Sulawesi Selatan, yaitu  Jeneberang, Saddang, dan Walanae, sudah rusak parah. Tutupan hutan di tiga DAS itu sangat minim, di mana masing-masing tidak mencapai 30 persen dari luas DAS (mongabay.co.id, 03/2023). 
Mengapa ini bisa terjadi?

Kapitalisme Restui Deforestasi

Hutan Indonesia sangat berpotensi mendatangkan keuntungan. Namun karakter hutan primer lambat memanen hasil. Sehingga butuh puluhan bahkan ratusan tahun. Hal ini memicu terjadinya deforestasi.

Deforestasi adalah perubahan lahan hutan menjadi non-hutan secara permanen, seperti menjadi perkebunan atau pemukiman. Dalam kehidupan yang bersistem kapitalisme tentu ini sah saja dilakukan. Karena kapitalisme adalah sistem kehidupan yang mengutamakan keuntungan semata. Tak peduli dampak apa yang akan timbul setelahnya. Sistem kapitalisme pun memperbolehkan siapa saja yang punya uang bisa menguasai hutan.

Contohnya pada kasus kerusakan hutan yang terjadi di tiga DAS di Sulawesi Selatan. WALHI Sulsel menilai PT.Vale merupakan salah satu perusahaan pertambangan nikel yang menjadi pelaku deforestasi terbesar di Kabupaten Luwu Timur. Dalam kajian WALHI Sulsel, di Kabupaten Luwu Timur pemerintah telah mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 9.711,77 hektar untuk pertambangan nikel kepada PT. VALE, PT. Citra Lampia Mandiri dan PT. Tiga Samudra Perkasa.

Selain itu dalam tahun 2022-2023, ada salah satu kasus yang mencuat di Sulawesi Selatan yaitu pendudukan hutan Pongtorra oleh oknum anggota DPRD Kabupaten Toraja Utara yang hingga kini tidak ada kejelasannya, serta sejumlah kasus perizinan pertambangan (mongabay.co.id, 03/2023).

Rusaknya hutan tentunya akan meningkatkan bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan lainnya. Lalu sampai kapankah hutan Indonesia bertahan dan apa yang harus dilakukan?

Islam Mereposisi Hutan

Begitu besar manfaat hutan bagi keberlangsungan hidup. Untuk itu perlu mekanisme yang baik dalam pengelolaannya. Hutan harus dikembalikan pada posisi yang seharusnya. 

Dalam Islam, hutan termasuk kala' (padang rumput), merupakan kepemilikan umum yang setiap orang berhak atasnya. Hutan tak boleh dimiliki individu, negara,  apalagi korporasi. Seperti disebutkan dalam hadits yang artinya "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Karena merupakan hajat hidup orang banyak, maka pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara dan dikembalikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Negara akan berperan sebagai pengurus urusan rakyat termasuk menjaga kelestarian hutan. Ketika hutan lestari maka rakyat hidup aman dan tercukupi.

Negara mengelola hutan dengan penuh kesadaran akan adanya pertanggungjawaban di hari akhir nanti. Rasulullah Saw bersabda:  "Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya...." (HR. Bukhari 2278).

Wallahualam bissawab.

Baca juga:

0 Comments: