Headlines
Loading...
Oleh. D’ Safira

Ingat sawit, ingat Indonesia. Memang, Indonesia adalah penghasil minyak sawit terbesar dunia. Jika diproduksi besar-besaran maka lahan sawit pun memiliki luasan yang besar. Dan lapangan pekerjaan juga banyak. Harusnya hal ini bisa membawa kesejahteraan bagi penduduk sekitar. Tapi ternyata sebagian masyarakat setempat hanya bisa menjadi pekerja kasar dan gajinya pun seringkali tak bisa mencukupi kebutuhan hidup. Selain itu demi produksi sawit seringkali terjadi pengalihfungsian lahan. Area yang seharusnya hutan diubah menjadi kebun sawit.

Pada periode 2022-2023 produksi sawit di Indonesia mencapai 45,5 juta metrik ton (statista.com, 03/11/2023) atau 89% produksi minyak sawit di dunia. Luar biasa besar. Semestinya dengan jumlah tersebut negeri ini bisa mendapatkan keuntungan yang sangat banyak. Alih-alih menguntungkan dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya, industri sawit justru memunculkan berbagai konflik yang menyengsarakan rakyat.

Jika kita lihat sebenarnya kondisi ini disebabkan satu hal mendasar yaitu penerapan sitem kapitalisme. Spirit kapitalisme sangat jelas mengedepankan pencapaian keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekeci-kecilnya. Walau rakyat menjadi korban, negara korporatokrasi tak peduli. Negara melegalkan segala sesuatu untuk diperjual belikan, sehingga pembukaan lahan boleh dilakukan untuk kegiatan apapun, dan siapapun yang memiliki modal. Terjadilah kong kalingkong antara penguasa dan pengusaha. Adapun dampak yang membahayakan rakyat dan lingkungan tak menjadi perhitungan.

Tak hanya itu, masyarakat di tempat yang minim lapagan pekerjaan, akhirnya mengundi nasib di perkebunan sawit, meski harus hidup jauh dari keluarga. Bahkan bukan hanya para suami yang bekerja tapi istrinya pun ikut bekerja di kebun sawit. Lapangan pekerjaan yang perusahaan janjikan ternyata hanya sebagai buruh kasar dengan upah sangat minim tak sebanding dengan kerugian di saat tanah warga dirampas. Bahkan kadang kala perempuan dan anak-anak harus turut membantu sang ayah untuk memenuhi target produksi tanpa diberi upah. Wajar jika kemiskinan kian menyelimuti warga.

Sementara itu pekerjaan yang bergaji besar hanya diperuntukkan bagi yang memiliki ijazah, sedangkan warga yang tak mengenyam pendidikan layak, harus menerima posisi sebagai buruh sawit. Meski sekedar buruh, namun posisi ini pun menjadi rebutan. Lowongan yang tersedia tak sebanding dengan para petani yang kehilangan mata pencaharian akibat terampasnya lahan. Lebih sedih lagi, pembangunan sekolah yang seringkali dijanjikan oleh perusahaan hanya iming-iming tanpa realisasi, kualitas generasi kian terpuruk, seiring gizi buruk yang terus menghantui.

Tak jarang pula demi menutupi kebutuhan keluarga para ibu rela melakukan apa saja termasuk menjual diri. Bukan menjadi rahasia kalau di lingkungan perkebunan sawit marak bisnis prostitusi. Tentu saja kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan membahayakan generasi. Mereka tak mendapatkan pemahaman dan pendidikan Islam yang memadai dari keluarganya karena kedua orangtuanya sibuk mencari nafkah. Ditambah lagi sistem pendidikan yang diterapkan berbasis sekuler kapitalisme. Tentu saja situasi yang seperti ini menjadikan anak-anak jauh dari pemahaman Islam. Sesungguhnya penderitaan yang dialami warga termasuk perempuan dan anak-anak tak bisa dipisahkan dari sistem sekuler kapitalis ini. Hubungan mesra penguasa dan pengusaha menghasilkan kebijakan yang tak pernah berpihak kepada rakyat. Bahkan justru rakyat menjadi korban, mereka yang seharusnya dilindungi oleh negara harus berjuang sendiri untuk menghadapi seluruh anggota keluarganya. Bahkan saat rakyat menuntut hak atas tanahnya, penguasa malah berdiri di samping pengusaha. Menjadi perpanjangan tangan mereka untuk menyelesaikan konflik antar rakyat dan perusahaan.

Berbeda dengan hukum di negeri ini yang membiarkan pemilik modal bisa menguasai lahan seluas apapun, syariat Islam mengatur kepemilikan lahan dengan sangat adil dan rinci. Setiap warga berhak untuk memiliki lahan, baik dengan membelinya atau melalui pemberian hadiah, hibah dan waris. Islam juga membolehkan khilafah membagikan tanah kepada warga secara cuma-cuma. Sedangkan berkaitan dengan tanah tak bertuan maka syariat Islam menetapkan bahwa warga bisa memiliknya dengan cara mengelolanya. Selain itu Islam juga mengingatkan kepada pemiliknya agar idak menelantarkannya karena penelantaran selama 3 tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut.

Sungguh, Islam telah memberikan aturan yang sangat adil dan rinci bagi para pemilik lahan. Kepemilikan lahan bisa dibatalkan atau diambil alih oleh siapa saja, bahkan oleh negara sekalipun hanya karena tak bersertifikat misalnya. Mirisnya ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan justru membuka celah terjadinya perampasan lahan. Pasalnya ada segelintir orang yang mempunyai akses mengurus sertifikat lahan. Sebaliknya warga yang tak memilik akses mengurus lahan maka terancam status kepemilikan lahan.

Penguasa dalam Islam berfungsi sebgai pelindung dan pengurus rakyat, seluruh kebutuhan rakyat akan diurusi secara optimal. Begitupun pada saat rakyat mendapatkan ancaman, penguasalah yang akan berdiri di garda terdepan untuk melindungi mereka. Ketika negara memang membutuhkan lahan untuk kemaslahatan kaum muslimin akan berdialog dengan rakyatnya kemudian membuat kesepakatan. Jika sudah ada keridhaan dari rakyatnya maka dilakukan penggantian yang bisa menjamin kehidupan rakyat selanjutnya dan tak akan merugikan rakyat sedikit pun. Jika masih ada yang belum setuju maka tak boleh dipaksakan.

Penguasa adalah penggembala bagi rakyatnya. Selain itu negara adalah perisai bagi rakyatnya. Oleh karena itu penguasa dalam sistem Islam akan berhati-hati dan takut jika kepemimpinannya menjadi sebab penderitaan rakyat. Mereka akan kembali memastikan setiap kebijakan yang diambilnya akan memberi kebaikan bagi rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak juga akan memastikan setiap individu terpenuhi semua hak dan kebutuhannya. Demikianlah Islam memberikan penyelesaian dengan tuntas dan adil.

Baca juga:

0 Comments: