Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Ahtar (Anggota Komunitas Setajam Pena)

Presiden Joko Widodo telah memberikan sederet bantuan sosial (bansos) sejak akhir tahun 2023. Mulai dari bantuan pangan beras 10 kg, BLT el Nino Rp. 200 ribu per bulan hingga yang terbaru BLT mitigasi resiko pangan Rp 200 ribu per bulan. Alasan utama pemberian sederet bansos untuk memperkuat daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah. Menurutnya bahwa penguatan daya beli itu perlu dilakukan di tengah kenaikan harga pangan.  Meroketnya harga pangan juga diakui Jomowi terjadi di berbagai negara bukan cuma Indonesia (detik.com, 2/02/2024).

Hanya saja Presiden Joko Widodo dan menteri-menteri yang tergabung dalam tim kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka dinilai kian negatif menggunakan program bantuan sosial sebagai kampanye pendongkrak suara (bbc.com, 30/1/2024)

Beberapa pihak melihatnya sebagai politisasi bansos. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memang telah memberi imbauan agar kepala negara tidak keluar jalur.  Namun penilaian politisasi bansos dibantah oleh Presiden Joko Widodo. Sebenarnya wajar jika mempolitisasi bansos demi kepentingannya. Terlebih dengan sederet track record undang-undang yang dibuat. Serta pemanfaatan privilege anggota keluarga dan sekutunya  agar bisa duduk di kursi pemerintahan.

Kenapa Bansos Dipolitisasi ?

Saat ini kekuasaan adalah hal yang diperjuangkan dengan segala macam cara dan tipu muslihat. Peluang apapun akan dimanfaatkan untuk mendapatkannya. Ironisnya hal ini menjadi sebuah kewajaran atau hal lazim dalam meraih kekuasaan.

Tidak heran budaya politisasi Bansos menjadi sebuah senjata utama untuk memuluskan jalannya kekuasaan. Sehingga untuk mendapatkan itu banyak tangan ikut campur karena kebutuhan modal yang sangat besar. Akibatnya jika berhasil mengambil kursi pemerintahan,banyak terjadi penyelewengan kekuasaan. Banyak kebijakan serta proyek-proyek dibentuk hanya sekedar memuaskan keuntungan segelintir para kapital (pemilik modal) beserta sekutunya. Selanjutnya, hanya masyarakat umum saja sebagai korban kesengsaraan terutama kronisnya ekonomi di negeri ini.

Akar Masalah muncul Politisasi

Menjadi sebuah kewajaran dalam sistem ini ada politisasi di semua bidang. Semua hal dikomersialkan demi menduduki sebuah kekuasaan. Alhasil hingga kini hanya segelintir orang berduit yang mampu menduduki kekuasaan, atau dari golongan strata kaya. Bagaimana dengan orang miskin apakah harus menikmati kehidupan yang hingga kini kronis akan susahnya mencari pekerjaan. Hingga timbul malapetaka seperti perceraian, kekerasan, KDRT, dan kejahatan lainnya.

Kepemimpinan seperti ini merupakan hasil penerapan sistem Demokrasi Kapitalisme. Sistem ini mengabaikan aturan agama dalam kehidupan. Sistem ini meniscayakan kebebasan perilaku, kebebasan berpendapat yang mana serba kebablasan. Politik yang seharusnya melayani rakyat, kini dikonotasikan negatif karena buah hasil sistem yang rusak ini. Semua tujuan dari sistem ini adalah materi belaka, alhasil kebijakan-kebijakan yang didapat dari rezim ini hanya menguntungkan sepihak yakni para penguasa modal(kapital) dan anteknya. Sedangkan melayani rakyat adalah hanya tipuan belaka.

Di sisi lain sistem demokrasi membentuk masyarakat memiliki kesadaran politik rendah. Karena masyarakat dibentuk agar merasa cukup hanya dengan mencoblos pemimpin dan wakil rakyat. Ditambah pendidikan dan kemiskinan yang saat ini membuat masyarakat berfikir pragmatis hingga mereka mudah dimanfaatkan dengan embel-embel uang atau bansos untuk kepentingan tertentu. 

Penerapan Islam Meminimalisir Segala Politisasi

Sangat ironis bahwa kemiskinan sudah menjadi problem kronis negara. Negara seharusnya mengentaskan kemiskinan dengan cara komprehensif dan dari akar persoalan yakni menjamin kesejahteraan ekonomi rakyat. Bukan hanya sekedar bantuan bansos berkurang ataupun meningkat menjelang pemilu.

Sangat berbeda ketika sebuah negara diatur syariat Islam dalam bingkai Khilafah Islam.  Khilafah hadir sebagai penjamin kesejahteraan rakyat secara individu per individu bukan kolektif seperti sistem demokrasi kapitalisme. Konsep dalam mengatur rakyat merupakan penerapan dari Alqur'an dan As Sunnah.

Rasulullah Saw bersabda, "Imam atau khalifah afalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya" (HR.Bukhari)

Rasulullah Saw bersabda,"Barang siapa pada pagi dalam kondisi aman jiwanya, sehat badannya, dan punya bahan makanan cukup pada hari itu. Seolah-olah dunia telah dikumpulkan untuknya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dalam kasus politisasi Bansos terjadi membuktikan bahwa kesejahteraan sangat erat dengan masalah ekonomi. Yakni terpenuhinya kebutuhan hidup secara layak. Agar kesejahteraan dapat dirasakan oleh rakyat, Islam menjamin kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar publik. Kedua kebutuhan ini berbeda.

Untuk kebutuhan pokok negara menjaminnya secara tidak langsung yaitu dengan cara menyediakan lapangan pekerjaan. Setiap laki-laki memiliki kesempatan kerja yang sama. Di sisi lain negara diwajibkan menjamin harga kebutuhan pokok di pasar dapat dijangkau oleh masyarakat, berupa sandang, pangan, dan papan dapat tercukupi secara layak. 

Pada kebutuhan dasar publik akan dijamin secara mutlak oleh Khilafah seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, infrastruktur, dan kebutuhan publik lainnya dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Anggaran pos kepemilikan umum dan pos kepemilikan negara berasal dari Baitul mal. 

Islam juga menentapkan kekuasaan adalah amanah yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dari Abu Dzar ra dia berkata, 
"Wahai Rasulullah tidakkah Engkau menjadikanku (seorang pemimpin) ? Lalu, Rasulullah memukulkan tangannya di bahuku dan bersabda, "Wahai Abu Dzar sesungguhnya engkau lemah dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan di hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya dengan (sebaik-baiknya)". (HR. Muslim)

Dalam Islam amanah kekuasaan digunakan untuk menerapkan hukum syariat, bukan hukum hasil kesepakatan dengan manusia seperti dalam sistem demokrasi. Karena itu dalam Islam penguasa akan mengurus rakyat sesuai dengan hukum syara' dan menjadi pribadi yang amanah serta jujur. 

Pemimpin yang paham tolak ukur demikian artinya berkepribadian Islam dimana pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) seseorang sesuai dengan Islam. Secara kolektif kepribadian Islam disuasanakan oleh masyarakat Islam dan dibentuk oleh sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh negara.

Negara juga akan mengedukasikan rakyat dengan nilai-nilai Islam termasuk dalam memilih pemimpin. Sehingga umat memiliki kesadaran akan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang muslim yang menjadi pemimpin jelas berkualitas, karena iman dan takwanya kepada Allah SWT serta memiliki kompetensi. Dengan demikian dia tidak akan perlu pencitraan agar disukai rakyat. 

Demikianlah Khilafah mengatur masalah mengurus rakyat dengan baik. Sepatutnya sistem yang rusak ini yakni demokrasi kapitalisme diganti lebih baik dengan sistem Islam yaitu Khilafah Islam. Wallahualam bissawab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: