Headlines
Loading...
Banjir di Berbagai Wilayah, Benarkah Sepenuhnya Karena Faktor Alam?

Banjir di Berbagai Wilayah, Benarkah Sepenuhnya Karena Faktor Alam?

Oleh. Dea Ariska

Di era musim penghujan ini, di mana sebagian wilayah masih merasakan suhu cuaca panas yang luar biasa, tetapi di wilayah lainnya justru mengalami banjir. Jika kita mengamati  berbagai wilayah yang mengalami banjir, ternyata faktor alam bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya banjir. Akan tetapi ulah tangan manusia juga.

Curah hujan yang tinggi hingga menyebabkan tanggul jebol dan sampah yang memenuhi sungai, selain itu juga alih fungsi lahan yang merupakan dampak dari kebijakan pembangunan menjadi penyebab terjadinya banjir. Di Jawa Tengah, akibat jebolnya tanggul Sungai Wulan dan Jratun, mengakibatkan empat desa di Kecamatan Karanganyar terdampak banjir. Seperti Desa Ketanjung, Desa Karanganyar, Desa Undaan Lor, dan Desa Ngemplik Wetan dengan jumlah rumah terdampak 1. 350-an rumah. (liputan6.com, 16/02/2024)

Masih banyak wilayah “langganan” banjir lain yang perlu penanganan dari segi drainase dan regulasi agar masyarakat benar-benar berhenti membuang sampah sembarangan terutama ke sungai. Hal itu belum selesai, kini justru bertambah lagi faktor penyebab banjir, yaitu karena alih fungsi lahan. 

Kepala Bidang Perumahan dan Pemukiman pada Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman (DPKP) Kota Cimahi, Sambas Subagja mengatakan, alih fungsi lahan di KBU berujung pada berkurangnya daerah resapan air. Ujung-ujungnya, air yang seharusnya imbang antara yang terserap ke tanah dan masuk saluran, semuanya justru masuk ke Daerah Aliran Sungai (DAS) dan drainase. Sementara kondisi saluran dan sungai di Cimahi, tak sanggup menampung run off air yang begitu tingginya. (detik.com, 16/02/2024)

Pembangunan kapitalistik sering mengabaikan dampak yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia dan keseimbangan alam. Pembuat kebijakan bukannya tidak mengetahui dan memperhitungkan hal tersebut, melainkan pertimbangan selalu condong pada keuntungan secara material.

Kita ingat kembali proses pengajuan sampai disahkannya Undang-undang Cipta Kerja yang cukup kontroversial waktu itu, yang rancangan undang-undangnya saja sudah dianggap bermasalah. Perkara utama terkait lingkungan terletak pada penyederhanaan dan penghapusan tehadap peraturan penting untuk perlindungan lingkungan. Lisensi dan izin usaha akan lebih mudah diberikan, sementara perlindungan bagi masyarakat secara umum dan masyarakat adat semakin tepinggirkan. Mengacu pada undang-undang tersebut, izin lingkungan akan dihapus, sementara analisis dampak lingkungan (AMDAL) akan “dilemahkan” atau dikurangi. Tanggung jawab ketat atas kebakaran hutan akan ditiadakan dan peraturan kepemilikan tanah pun akan menjadi lebih longgar. Partisipasi masyarakat juga semakin berkurang akan lingkungannya sendiri. (greenpeace.org, 17/02/2024)

Pengesahan regulasi tersebut akhirnya menjadi karpet merah untuk proyek strategis nasional. Tak peduli meski pasal-pasal lain di dalamnya pun didesain dengan sengaja untuk melemahkan upaya penegakan hukum dan justru memberi amnesti bagi perusahaan yang melanggar hukum. Akhirnya kerusakan lingkungan berkaitan erat dengan praktik korupsi karena hubungan yang kuat antara elit politik dengan perusahaan untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya tanpa memedulikan kelestarian dan keamanan lingkungan.

Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yang mengatur agar negara mengurus rakyatnya termasuk mencegah dari bencana yang dapat dikendalikan. Membuat kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan sehingga terjamin keamanan dan kenyamanan hidup. Dalam Islam, penguasa adalah gembala bagi rakyatnya. “Imam itu adalah laksana gembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)”. (HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad).

Islam juga memiliki mekanisme pengaturan kepemilikan lahan termasuk alih fungsi lahan, sehingga pengelolaannya tepat, membawa manfaat dan tak berdampak mendatangkan bencana kepada rakyat. Bahkan tentang perampasan tanah, Nabi saw. telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras. Beliau bersabda, “Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya”. (HR. Muttafaq’alayh) (muslimahnews.net, 17/02/2024)

Seperti yang dimuat dalam Ahkam Al-Bina, bangunan-bangunan penting penopang kehidupan kota menjadi sistem standar sistem tata kota Islam. Bangunan-bangunan tersebut di antaranya adalah masjid, ribath atau mushola, benteng, jembatan, terowongan air atau sering kita sebut kanal atau bendungan. Selain itu dianjurkan juga untuk dibangun menara adzan, pasar, serta kawasan pertokoan. Kemudian sisanya diserahkan kepada penduduk untuk membangun rumahnya. (sultanateinstitute.com, 17/02/2024)

Pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah, Khalifah Al-Mansur memulai masa pemerintahannya dengan membangun ibukota baru yang bernama Baghdad. Pembangunan yang dimulai tahun 762 M itu selesai pada tahun 765 M. Keistimewaan kota Baghdad adalah keberadaan sebuah cincin dinding yang melingkar sempurna, dengan diameter 1,6 km, tinggi 29,8 m, dan tebal 44 m. Dengan bentuk semacam itu, maka muncul sebutan Kota Budar. Dalam waktu 20 tahun, Baghdad menjadi kota tersibuk dan terbesar di dunia Islam. Air mengalir dari sungai Eufrat dan Tigris melalui jaringan saluran air. Pasar-pasar selalu ramai dengan kehadiran pedagang dari seluruh penjuru dunia. (republika.co.id/17/02/2024)

Begitulah Islam sangat memperhatikan tentang kepemilikan tanah serta pengaturan tata kota yang baik tanpa mengabaikan dampak yang disebabkan dari pembangunan, sehingga tidak mengundang bahaya di kemudian hari. 

Selain itu, saat peraturan Islam diterapkan dengan baik, maka akan melahirkan peradaban gemilang yang tentu membanggakan bagi umat Islam. Bahkan Allah akan menurunkan keberkahan bagi bumi yang menerapkan aturannya secara keseluruhan. Wallahu’alam. [My]

Baca juga:

0 Comments: