Headlines
Loading...
Oleh. Naini Mar Atus S.Psi

Pesta Demokrasi baru saja usai, tapi bukan seperti umumnya sebuah pesta, yang mana acara selesai digelar orang pasti bahagia, yang ini justru menimbulkan tekanan, keresahan, stress bahkan depresi hingga bunuh diri. Mereka para caleg beserta tim suksesnya yang gagal, tidak mampu menyembunyikan kekecewaannya. 

Seperti yang terjadi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dua orang timses mengalami tekanan hebat berujung dengan melakukan tindakan mengambil kembali amplop yang dibagikan kepada warga sebelumnya. Ada lagi, seorang oknum timses caleg di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat melakukan pelemparan terhadap rumah tim sukses caleg lawan (tvonenews.com).

Hal serupa terjadi di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jawa Timur, dimana salah satu caleg menarik kembali material paving blok dikarenakan ia kalah tidak mendapat dukungan suara dari masyarakat desa seperti yang dikehendaki (kompas.com, 19/02/2024).

Lebih parah depresi yang dialami oleh timses caleg di Desa Sidomukti, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau yang nekat gantung diri di pohon rambutan  karena caleg yang ia dukung gagal meraih kursi anggota dewan (media Indonesia.com, 19/02/2024).

Democrazy plesetan yang sering kita dengar, nyatanya memang benar. Dari fenomena tersebut terlihat gambaran lemahnya kondisi mental orang dalam sistem demokrasi kapitalis dari para caleg dan tim suksesnya yang gagal. Mereka hanya siap menang, tapi tak siap untuk kalah. Begitu kalah dalam kontestasi dimana dukungan suara yang didapat tak sesuai ekspektasi, mereka stress berat, tertekan, depresi sampai ada yang nekat bunuh diri.

Fenomena ini menunjukkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan untuk diperebutkan karena menjanjikan keuntungan besar yang akan didapatkan ketika telah menjabat, sehingga rela melakukan apa saja termasuk menyuap membeli suara rakyat. Berbekal modal yang besar dan dengan pamrih untuk menarik simpati dukungan suara rakyat.

Demokrasi, Mahal dan Berbiaya Tinggi

Fenomena ini menunjukkan kepada kita bahwa Demokrasi berpadu dengan  kapitalisme sebagai sistem aturan butuh biaya tinggi dan mahal untuk memperoleh kursi jabatan, entah pemilihan dari tingkat kepala negara, kepala daerah, legislatif sampai tingkat terbawah kepala desa beserta perangkatnya. 

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sogok menyogok, suap menyuap, jual beli suara, bagi-bagi amplop atau lebih dikenal dengan istilah "serangan fajar" turut mewarnai kebobrokan mental dan perilaku orang-orang yang haus kekuasaan dan jabatan.

Maka lumrah kita jumpai banyak orang yang berbondong-bondong ingin menjadi pejabat atau caleg dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Banyak diantara mereka yang sampai menjual atau menggadaikan harta bendanya seperti sawah, rumah, mobil dan tak jarang juga yang berani berhutang sekian ratus juta bahkan milyaran ke bank. 

Uang tersebut mereka gunakan untuk mencetak alat peraga kampanye, membiayai tim sukses dan dipergunakan untuk membeli suara rakyat berupa amplop serangan fajar, bantuan-bantuan fisik seperti bantuan sembako, perbaikan jalan dan lain sebagainya.

Maka wajar bila mereka gagal, hilang semua harta miliknya, yang ada hanya dikejar-kejar utang yang menumpuk. Stress, gila akhirnya bunuh diri. Sangat bisa dipastikan, mereka yang terpilih nantinya tidak akan lagi memikirkan kesusahan "wong cilik", melainkan hanya sibuk mengembalikan modal yang sudah ia buang saat berkampanye mencalonkan diri agar terpilih. Sedangkan yang gagal, stress dan depresi yang didapat.

Jabatan, Amanah Yang Dipertanggungjawabkan

Prinsip Islam berbeda dalam memandang suatu jabatan. Jabatan merupakan sebuah amanah yang nantinya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Orang yang memegang jabatan, ibarat sedang memikul amanah yang sungguh berat yang disesuaikan dengan syariat Allah Taala dalam pelaksanaannya.

Maka jabatan tidak bisa diserahkan kepada sembarang orang, hanya boleh diamanahkan kepada orang yang benar-benar bertakwa dan taat pada syariat Allah SWT saja. Itulah mengapa ketakwaan menjadi syarat mutlak bagi seorang pejabat dalam sistem Islam, yaitu Khilafah. Tidak ada tempat bagi orang zalim dan fasik untuk menduduki sebuah jabatan dalam Islam.

Cara-cara yang ditempuh Islam dalam menetapkan seorang pejabat harus sesuai dengan hukum syara. Dalam Islam, pemilu dijadikan sebagai uslub (cara) untuk mencari pemimpin atau majelis umat, dengan mekanisme yang sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi dan penuh kejujuran, tanpa tipuan ataupun janji-janji. 

Tak akan pernah ditemui praktik politik uang. Para calonpun memiliki kepribadian Islam, dan hanya mengharap rida Allah semata. Alhasil, pejabat yang terlahir dari sistem Islam adalah pejabat-pejabat yang amanah, mempedulikan kemaslahatan umat, melaksanakan hukum syara' dan pastinya takut kepada Allah swt. Pemimpin yang benar-benar diinginkan oleh umat untuk benar-benar mewujudkan kesejahteraan. Wallahualam bissawab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: