Headlines
Loading...
Remaja Pelaku Pembunuhan, Potret Buram Generasi

Remaja Pelaku Pembunuhan, Potret Buram Generasi

Oleh. Ariatul Fatimah, S.Pd

Berita pembunuhan di negeri ini hampir setiap hari terjadi, dengan berbagai motifnya mulai dari ekonomi, asmara, dendam, jabatan bahkan terkadang hal yang sebenarnya remeh misalnya tersinggung karena ucapan atau perilaku. Pelakunya pun semakin beragam mulai dari keluarga, tetangga, teman, atasan-bawahan, pun bisa jadi menjadi pembunuh bayaran. Usia pelaku ternyata juga tak hanya orang dewasa, mirisnya anak-anak ataupun remaja yang kadang masih berstatus sebagai pelajar pun menjadi pelaku pembunuhan. Sungguh sangat miris!

Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Penajam Paser Utara (PPU) Kalimantan Timur, telah terjadi kasus pembunuhan oleh seorang remaja berinisial J (16 tahun) terhadap satu keluarga berjumlah lima orang. Pelaku tercatat sebagai pelajar kelas 12 SMK tersebut melakukan pembunuhan dengan motif asmara dan dendam. Bahkan tidak hanya membunuh 5 orang, pelaku juga memperkosa jasad dua orang korban yaitu anak dan ibunya. Berdasarkan pengakuannya sebelum melakukan pembunuhan tersebut pelaku melakukan pesta minuman keras bersama teman-temannya (news.republika.co.id, 6/2/2024).

Kasus ini merupakan salah satu potret buram pendidikan Indonesia yang gagal mewujudkan peserta didik yang berkepribadian terpuji, sehingga mereka justru tega melakukan perbuatan sadis dan keji. Seharusnya kalangan terdidik termasuk para pelajar  mampu bersikap yang baik apalagi dengan 
teman atau tetangga. 

Kasus pembunuhan yang melibatkan pelajar ataupun remaja ini bukanlah pertama kali terjadi, menurut data yang  didapat dari e-MP Robinopsnal Bareskrim Polri yang diakses pada Kamis 10 November 2022. Data pada Januari sampai Oktober 2022 itu menunjukkan kepolisian menindak 472 terlapor terkait kasus pembunuhan dan kejahatan terhadap jiwa. Sebanyak 4,2 persen dari jumlah terlapor teridentifikasi sebagai pelajar dan mahasiswa (pusiknas.polri.go.id/)

Padahal fungsi dan tujuan pendidikan nasional terdapat dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Namun, fakta yang terjadi justru tidak terbentuk manusia yang beriman dan bertaqwa, sehingga seringkali para peserta didik terlibat dalam tindakan kriminal, tawuran, bullying, narkoba ataupun pergaulan bebas. Hal ini karena sistem pendidikan yang diterapkan adalah sistem pendidikan sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan. Kepungan budaya liberalis kapitalisme telah mengikis keimanan dan ketaqwaan di kalangan remaja. Alih-alih mereka menjadi generasi yang berkepribadian terpuji, berakhlak mulia, yang terjadi justru sebaliknya berani berbuat keji, kejam dan sadis.

Di sisi lain, minuman keras yang seringkali menjadi awal mula tindakan kriminal terjadi. Negara seharusnya juga melarang peredarannya di tengah masyarakat dan juga menutup semua pabrik yang memproduksinya. Namun faktanya, justru ada aturan tertentu terkait dengan keberadaan minuman keras. Sehingga wajar, jika masyarakat saat ini juga bisa mendapatkannya dengan mudah. 

Ini merupakan dampak ketika mengabaikan aturan Sang Khalik dan lebih tunduk pada aturan yang dibuat oleh manusia. Aturan yang dibuat oleh manusia untuk mengatur dirinya sendiri termasuk dalam lingkup Negara tentu akan memiliki kelemahan, karena manusia  merupakan makhluk yang memiliki kelemahan dan keterbatasan. 

Sehingga terkait dengan pembunuhan atau tindakan kriminal lainnya juga telah membuktikan sistem sanksi yang diterapkan di negeri ini tidak mampu memberikan efek jera. Dari tahun ke tahun angka kriminalitas termasuk pembunuhan semakin banyak. Bahkan seringkali pelakunya juga bukan baru pertama kali melakukan tapi berulang kali atau disebut dengan residivis. Hal tersebut menggambarkan ketika sistem sanksi pun juga hasil buatan manusia, tidak mampu untuk menyelesaikan masalah. 

Maka jika aturan yang dibuat oleh manusia terbukti gagal, apakah manusia harus masih menggunakannya sebagai aturan dalam kehidupannya? Atau berpikir secara sadar aturan mana yang akan mampu menyelesaikan seluruh problematika  manusia? Tentu pilihan yang terakhir yang menjadi pilihan, jika menginginkan adanya perubahan.

Ketika Allah swt menciptakan manusia maka Allah juga memberikan aturan dalam kehidupannya dalam seluruh aspeknya, mulai dari hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan diri nya sendiri dan hubungan manusia dengan manusia yang lainnya. Aturan inilah yang akan membawa pada kedamaian dan kesejahteraan bagi semua manusia.

Dalam hal sistem pendidikan Islam juga mengatur bagaimana di fase awal pendidikan, peserta didik dikuatkan secara aqidah, keterikatan terhadap syariah, sehingga ketika akan melakukan suatu perbuatan akan senantiasa mengkaitkan dengan hukum syara’. Sehingga tujuan untuk mewujudkan generasi yang beriman dan bertaqwa bukanlah sebatas angan, namun terwujud dalam kehidupan

Sistem sanksi yang berdasarkan syara’ pun akan mampu memberikan efek jera, selain juga menjadi penebus bagi pelakunya. Misalnya pada kasus pembunuhan maka akan diperlakukan hukum qishash yang sepadan dan ditunjukkan pada khalayak. Hal ini akan memberikan efek jera di masyarakat. Dalam  Islam, Negara tidak akan memberikan ruang bagi peredaran miras dan narkoba. 

Semua akan terealisasi jika seluruh aturan dalam kehidupan menggunakan aturan yang berasal dari Allah dan RasulNya, yaitu Negara yang menerapkan syariah secara kaffah. Maka insyaAllah Negari ini akan menjadi baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur akan terwujud.
Wallahua’lam bishawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: